Sabtu, 11 Oktober 2014

ADAM, ATLANTIS, DAN PIRAMIDA DI INDONESIA? ANTARA FAKTA ARKEOLOGI DAN GEGAR JATI DIRI

ADAM, ATLANTIS, DAN PIRAMIDA DI INDONESIA?
ANTARA FAKTA ARKEOLOGI DAN GEGAR JATI DIRI
Dr. Ali Akbar
1. Pendahuluan

Berbagai media massa baik cetak maupun elektronik mengangkat pemberitaan mengenai piramida hampir sepanjang tahun 2011, bahkan sampai saat makalah ini dibuat dan entah berlanjut sampai kapan. Tahun 2010 telah terbit buku mengenai Atlantis yang intinya menyatakan benua yang tenggelam itu ada di Indonesia. Dalam diskusi yang diadakan oleh masyarakat dari salah satu suku bangsa di Indonesia mencuat pernyataan bahwa lokasi turunnya Adam di dunia adalah di Cibinong. Suasana diskusi di tahun 2011 tersebut juga pernah penulis alami pada diskusi-diskusi pada tahun-tahun sebelumnya yang diadakan oleh suku-suku bangsa lainnya di Indonesia. Sebagian secara spesifik menyebut nama Adam, sementara sisanya menyatakan bahwa manusia pertama yang hadir di dunia adalah di daerah suku bangsa tersebut.
Sepanjang pembahasan mengenai Adam, Atlantis, dan Piramida akan disampaikan fakta-fakta arkeologi. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia masa lalu berdasarkan peninggalan-peninggalannya. Peninggalan arkeologi dapat berupa benda yang dapat dipindahkan (artefak), misalnya: keramik, alat batu, dan tombak. Peninggalan arkeologi juga dapat berupa bangunan atau struktur yang tidak dapat dipindahkan dari lokasinya tanpa merusak tempat kedudukannya, misalnya: benteng, menara, dan rumah. Sementara itu, lokasi peninggalan-peninggalan arkeologi baik di darat maupun di bawah air disebut situs.
Adam, Atlantis, dan Piramida sesungguhnya hanya merupakan contoh dari kegelisahan bangsa Indonesia dalam mencari tahu mengenai masa lalunya yang masih belum banyak terungkap. Harapan akan terungkapnya masa lalu—yang diharapkan gemilang—diperlukan untuk melangkah ke depan dengan penuh semangat, kebanggaan, dan kepala tegak. Jelaslah kiranya bahwa pengetahuan tentang masa lalu antara lain berguna untuk menjawab mengenai jati diri yang selanjutnya digunakan untuk melangkah ke masa depan. Oleh karena itu, pada bagian akhir tulisan ini akan menyorot persoalan jati diri bangsa Indonesia.

2. Adam

Adam bukan sekedar manusia biasa bahkan disebut sebagai manusia pertama dan juga menyandang predikat sebagai seorang nabi dari agama besar. Penelitian untuk mencari bukti-bukti mengenai manusia pertama tentu saja sangat sulit dilakukan mengingat semakin tua sesuatu, semakin sulit pula mencari buktinya. Hakikat data arkeologi yang terbatas secara kualitas dan kuantitas akan menyulitkan peneliti meskipun teknologi canggih terus berkembang. Kesulitan peneliti akan bertambah apabila resistensi muncul dari kalangan agama yang berpandangan menelusuri jejak manusia pertama dapat dibaca sebagai meragukan eksistensi ajaran agama.
Adam diakui keberadaannya oleh tiga agama besar di dunia, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Kisah tentang Adam antara lain terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Al-Qur’an. Terdapat beberapa ayat mengenai penciptaan dan ketika Adam hidup di surga. Namun, pada saat Adam diturunkan ke bumi, tidak secara jelas disebutkan lokasi pertama yang dipijaknya. Hal inilah yang menyebabkan mencuatnya beberapa lokasi yang ditengarai sebagai tempat pertama hadirnya manusia pertama di dunia.
Beberapa lokasi telah diajukan oleh berbagai pihak sebagai tempat turunnya Adam di dunia. Sebagai contoh, menurut penelusuran Al-Maghlouth (2008) sedikitnya terdapat dua pendapat mengenai lokasi pertama yang dipijak oleh Adam di bumi, yakni di bagian barat daya Asia atau di Jazirah Arab dan di India. Al-Maghlouth lebih meyakini bahwa tempat turunnya Adam di India atau tepatnya di puncak Gunung Everest yang menjadi bagian dari pegunungan Himalaya. Sementara itu, Abu Khalil mengajukan pendapat bahwa Adam turun di India, akan tetapi tepatnya di Srilanka (2010) (lihat Lampiran 1).
Ditinjau dari ilmu arkeologi, sejauh ini tidak terdapat bukti-bukti berupa peninggalan Adam termasuk juga lokasi tempatnya bermukim. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan nama-nama setelah Adam yang juga disebutkan di dalam kitab suci. Ibrahim, misalnya meninggalkan bukti arkeologi berupa bangunan Ka’bah (lihat Lampiran 2). Periode hadirnya Adam ke dunia yang cukup tua tentu menyulitkan ditemukannya buki-bukti arkeologi ketimbang Ibrahim yang periodenya lebih muda. Seperti telah disampaikan, dengan semakin berjalan dan bertambahnya waktu, semakin banyak pula peninggalan arkeologi yang rusak bahkan musnah tidak tersisa. Kondisi inilah yang yang membuka peluang berkembangnya beberapa pendapat yang menggunakan sumber non-arkeologi. Kendati demikian, adanya bukti arkeologi untuk nama-nama setelah Adam—seperti yang disebutkan di dalam kitab suci—membuka kemungkinan yang besar bahwa dikemudian hari akan ditemukan bukti arkeologi mengenai Adam. Hanya saja tidak dapat diketahui berapa lama yang dibutuhkan untuk menemukan bukti-bukti tersebut.
Kisah mengenai Adam khususnya dan kisah mengenai manusia pertama di dunia pada umumnya mungkin terdapat di berbagai belahan dunia dan Indonesia turut serta di dalamnya. Sebagai contoh adalah masyarakat Baduy di Banten dan masyarakat Kampung Kuta di Jawa Barat. Patut diperhatikan bahwa orang luar umumnya menyebut istilah Baduy, padahal masyarakat tersebut menamakan dirinya “Urang Kanekes” atau Orang Kanekes. Orang Kanekes tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten (Danasasmita dan Djatisunda, 1986). Orang Kanekes mengakui Yang Maha Kuasa dengan nama Batara Tunggal. Batara Tunggal menciptakan keturunan, salah satunya adalah Batara Cikal yang sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam. Adam dan keturunannya yakni Orang Kanekes mempunyai tugas bertapa untuk menjaga harmoni dunia. Sementara itu, masyarakat Kampung Kuta di Desa Karang Paninggal Kecamatan Tambak Sari Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat memiliki legenda tersendiri mengenai manusia pertama di bumi. Manusia pertama adalah Amurama Raksabima Kalijaga. Nama tersebut berarti “Ibu dan Bapak yang memelihara bumi sejagad” (Akbar, 2010).


3. Atlantis

Atlantis adalah sebuah kata yang menjadi magnet para peneliti masa silam dan para pencari harta karun. Para pencari harta karunlah yang terutama tidak berhenti menyibak misteri Atlantis, karena mencari bagaikan berjudi yakni bayangan pundi-pundi emas yang sangat memikat hati. Atlantis ditengarai sebagai suatu wilayah yang pernah jaya pada sekitar 11.600 tahun yang lalu. Peristiwa geologi pada sekitar periode tersebut cukup baik terekam dalam lapisan-lapisan tanah. Akan tetapi, fakta arkeologi dari periode tersebut masih sangat minim. Hal inilah yang membuat segalanya masih mungkin terjadi. Sampai sejauh ini ratusan bahkan mungkin ribuan lokasi di berbagai negara yang disebut-sebut sebagai Atlantis, misalnya di berbagai lokasi di Laut Tengah, Samudra Atlantis, Samudra Pasifik, dan Samudra Hindia. Arysio Santos, seorang ahli geologi dan fisikawan nuklir, melalui buku Atlantis: The Lost Continent Finally Found (2010) menyebut bahwa Atlantis berada di Indonesia.
“Pertama adalah Atlantis Lemuria yang sebenarnya (Ibu yang Perawan) yang terletak di Indonesia dan dihancurkan oleh bencana Toba pada 75 ribu tahun yang lalu. Kedua adalah Atlantis yang sebenarnya (Putra) dihancurkan oleh letusan Krakatau pada 11.600 tahun lalu di akhir Zaman Es Pleistosen (Santos, 2010: 99).
Sejak terbitnya buku itu, berbagai media massa di Indonesia turut mengangkat pemberitaan mengenai Atlantis. Plato, filsuf yang lahir tahun 427 Sebelum Masehi, menyebut Atlantis di dalam dua dialog, yakni Timaeus dan Critias. Ia menyatakan bahwa Atlantis mempunyai peradaban yang tinggi dan masyarakatnya kaya raya, namun mengalami bencana dan akhirnya tenggelam. Karya Plato inilah yang kemudian mendorong banyak orang untuk berlomba-lomba mencari ‘benua yang hilang’, ‘peradaban yang terpendam’, dan ‘emas Atlantis’. Sampai pada tahap ini sebenarnya patut dipertanyakan apakah dialog Plato tersebut adalah terutama pada bagian yang menyebut Atlantis adalah fiksi atau atau nonfiksi. Ketidakjelasan status literatur tentu saja akan membuat penelitian menjadi tidak jelas alasan dan berpotensi besar untuk tidak mencapai sasaran. Santos juga menyadari hal tersebut, namun tetap mengunakan karya Plato tersebut.
“Sebenarnya pakar-pakar di bidang ini belum bersepakat apakah Atlantis pernah ada atau tak lebih dari khayalan Plato belaka: dongeng moral yang dibuat Plato sebagai latar belakang etis bagi republik khayalan yang ideal, yang ia kemukakan dalam karya-karya lainnya, khususnya yang berjudul Republik.” (Santos, 2010: 10).
Santos mencoba memberikan pernyataan-pernyataan untuk meyakinkan pembaca bahwa pernyataan Plato mengenai Atlantis adalah benar-benar ada. Santos menyebut telah menggunakan data-data dari berbagai disiplin ilmu.
“Ini berarti Plato tahu persis apa yang ia bicarakan dan ia memang tidak mengarang-ngarang cerita. Belum lama ini, kenyataan tentang bencana-bencana klimatis dan geologis berdampak global tersebut telah diakui para pakar di bidang ini dan disiplin-disiplin terkait, seperti: arkeologi, antropologi, paleoantropologi, paleontology, evolusi, klimatologi, dan sebagainya” (Santos, 2010: 14).
Buku ini dari sudut pandang arkeologi mengandung cukup banyak kelemahan, meski penulisnya menyebut kata arkeologi berulang-ulang kali. Sebagai contoh adalah sebagai berikut.
“Kami sendiri terang-terangan telah menemukan beberapa artefak arkeologis di laut-laut dangkal di wilayah Indonesia. Beberapa temuan itu difoto dari luar angkasa oleh satelit pengintai NASA dan NOAA. Beberapa lainnya diamati dari permukaan air dengan peralatan-peralatan lokal.” (Santos, 2010: 51).
Pernyataan Santos tersebut di atas, tidak dijabarkan lebih lanjut di dalam buku ini dan tidak dilengkapi dengan foto atau gambar artefak arkeologis yang dimaksud. Oleh karena itu, pembaca tidak dapat mengetahui artefak apa yang dimaksud, termasuk juga tidak dapat diketahui sejauh mana pengetahuan Santos mengenai artefak arkeologis.
Contoh lain yang menyebut kata arkeologi di dalam buku karya Santos adalah kalimat-kalimat berikut ini.
Berdasarkan temuan berupa artefak yang sangat kuno, seperti padi-padian dan perkakas, para arkeolog Cina dan peneliti lainnya menunjukkan bahwa bertanam padi telah berlangsung di Timur Jauh sejak 15 ribu tahun lalu seperti di Korea dan sebagainya, mungkin lebih awal dari masa itu, dan itu berarti berlangsung pada Zaman Es Peleistosen juga. Kita akan membicarakan masalah penting ini lebih lanjut dalam tulisan panjang lebar berikutnya.” (Santos, 2010: 57)
Pernyataan Santos tersebut di atas, sama sekali tidak menyebutkan sumber bacaan. Teknik penulisan tanpa menyebut sumber atau literatur membuat buku ini sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tulisan panjang lebar yang diketengahkan Santos juga ternyata tidak membahas hal tersebut dan sampai akhir buku ini tidak diketahui sumber atau literatur yang digunakan Santos.
Pada bagian Bibliografi dari buku karya Santos dicantumkan beberapa buku atau sumber tertulis yang oleh Santos dikategorikan sebagai “Arkeologi dan Egyptology” dan “Arkeoastronomi” Berdasarkan judul-judul dan nama penulisnya, terlihat tidak terkait dengan arkeologi Indonesia. Selain itu, buku ini tidak satu pun menggunakan sumber-sumber hasil penelitian para ahli arkeologi khususnya prasejarah Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang telah diakui reputasinya secara internasional. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Santos mengutip pendapat yang tidak jelas sumbernya dan tidak jelas kapasitas penulisnya.
Meskipun menurut pengakuan Santos, buku ini berdasarkan hasil riset selama 30 tahun, namun terdapat kalimat-kalimat yang sangat melemahkan pendapat-pendapatnya. Pertama adalah pada bagian Pengantar Penerbit yang diberi judul Pusat Peradaban Atlantis yang Hilang itu Ternyata Indonesia, pada halaman 5 tertulis:
“Keinginan terbesar Prof. Santos adalah mengunjungi Indonesia. Namun hal itu tidak pernah kesampaian hingga akhir wafatnya. Ia wafat tak lama setelah ia menyelesaikan bukunya ini.”
Secara ilmiah, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa peneliti belum ke lokasi penelitiannya, sehingga Santos di buku ini tidak dapat menyampaikan kenyataan atau fakta arkeologi di Indonesia. Berikut ini pernyataan Santos yang menunjukkan bahwa ia tidak mempunyai fakta arkeologi, meskipun ia yakin akan menemukan kelak di kemudian hari.
“Tinggalan-penelitian ini begitu jelas terlihat sehingga kami sekarang tengah mengatur sebuah ekspedisi kelautan menuju tempat temuan-temuan ini berada agar kami dapat mengamati mereka lebih dekat.” (Santos: 2010: 51)
Seperti telah disebutkan, Santos tidak menjelaskan tinggalan atau temuan-temuan yang dimaksud, sehingga pembaca hanya diajak percaya pada pernyataan Santos namun tidak ada fakta arkeologinya. Ekspedisi kelautan yang Santos sebutkan juga tidak disebutkan hasilnya. Berdasarkan uraian di buku ini, tampaknya ekspedisi tersebut belum dilakukan, namun harapan Santos adalah sebagai berikut:
“Kedalaman temuan-temuan arkeologis ini juga harus benar dan semestinya terletak di kedalaman sekitar 50 meter, kedalaman yang cocok untuk penanggalan yang benar yang diperlihatkan dengan kenaikan permukaan laut.” (Santos, 2010: 53).
Perlu ditegaskan bahwa berita-berita mengenai Atlantis di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia sejauh ini belum didukung oleh fakta arkeologi. Oleh karena itu, buku karya Santos lebih tepat disebut sebagai sebuah proposal ketimbang sebagai laporan hasil penelitian. Sebagian kalangan boleh sependapat dengan proposal tersebut, sebagian lain dapat menyatakan bahwa proposal tersebut tidak sesuai dengan kaidah ilmiah dan tidak layak untuk diteruskan menjadi sebuah penelitian. Kalangan yang setuju dengan proposal setebal 677 halaman ini tentu saja harus melakukan penelitian dan menuliskannya agar dapat diuji oleh kalangan ilmuwan dan dapat dibaca oleh masyarakat umum.

4. Piramida

Beberapa gunung di Jawa Barat yang selama ini disebut sebagai gunung, satu tahun belakangan ini ditengarai oleh beberapa pihak ternyata merupakan piramida dan umurnya lebih tua daripada piramida di Mesir. Gunung-gunung yang disebut piramida tersebut antara lain adalah Gunung Sadahurip, Gunung Haruman, Gunung Kaledong dan Gunung Lalakon. Sedikitnya terdapat dua pihak yang melansir berita mengenai piramida dan sesuatu yang diduga buatan manusia di dalam gunung-gunung tersebut, yakni Tim Turangga Seta dan Tim Katastropik Purba yang diinisiasi Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana. Tim Turangga Seta menyatakan didukung oleh ahli geologi dan di berbagai media online seperti detiknews menyatakan menggunakan menyan dan mendapat bantuan dari alam gaib untuk menemukan piramida di dalam Gunung Lalakon. Tim Katastropik Purba juga didukung oleh para ahli geologi yang menggunakan geolistrik dan georadar dan hasilnya terdapat kemungkinan buatan manusia (manmade) di Gunung Sadahurip (lihat Lampiran 3). 
Pada kesempatan ini akan dibahas secara khusus mengenai Gunung Sadahurip atau yang di media massa disebut sebagai Piramida Garut yang terletak di Desa Sukahurip Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut Jawa Barat. Berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan di Gunung Sadahurip, gunung tersebut mempunyai bentuk yang cukup mirip dengan bentuk piramida (lihat Lampiran 4). Namun demikian, jika dicermati secara seksama dari berbagai arah, bentuk tersebut tidak simetris. Oleh karena itu, bentuk gunung itu sendiri tidak dapat dikatakan sebagai bentuk piramida. Sementara itu, hasil kajian literatur terhadap karya para arkeolog pada masa penjajahan Belanda dan arkeolog setelah Indonesia merdeka tidak menyebutkan adanya piramida atau bangunan karya manusia masa lalu di Gunung Sadahurip Garut. Vademekum Benda Cagar Budaya yang diterbitkan oleh Direktorat Peninggalan Purbakala tidak memuat peristilahan piramida. Buku peristilahan tersebut memuat nama-nama benda cagar budaya yang telah ditemukan di Indonesia (2009). Sementara itu, peninggalan berupa bangunan atau struktur yang cukup banyak ditemukan di Indonesia adalah bangunan berundak atau punden berundak dan candi, misalnya Punden Berundak Gunung Padang dan Candi Borobudur. Pengamatan awal yang penulis lakukan di lapangan yakni di Gunung Sadahurip juga tidak memperlihatkan bukti-bukti arkeologi atau tidak ada peninggalan manusia dari periode ratusan atau ribuan tahun lalu.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan karya manusia masa lalu berupa piramida tidak terdapat di Gunung Sadahurip. Sampai sejauh ini tidak ada fakta arkeologi yang berujung pada kesimpulan bahwa Gunung Sadahurip adalah bangunan piramida. Kesimpulan tersebut dapat berubah jika dilakukan penelitian arkeologi lebih lanjut. Penelitian yang dimaksud adalah survey permukaan yang seksama dan sistematis. Jika hasil survey menemukan beberapa bukti awal, maka dapat dilanjutkan dengan penggalian atau ekskavasi arkeologi untuk menggali gunung tersebut.
Piramida adalah salah satu pilihan bentuk bangunan atau struktur buatan manusia. Hal ini mempertegas bahwa tidak semua bangsa harus memiliki bangunan berbentuk piramida. Bentuk lain dapat pula dibangun oleh suatu bangsa, misalnya bentuk memanjang seperti Tembok Besar Cina atau bentuk elips seperti Colloseum Italia. Ada atau tidaknya bentuk piramida bukanlah persoalan utama. Persoalan yang patut diangkat adalah mengapa tidak ada peradaban yang signifikan di nusantara pada sekitar tahun 20.000 Sebelum Masehi sampai dengan awal Masehi. Pernyataan tersebut dapat berarti tidak ada peradaban—sistem pengetahuan, teknologi, dan organisasi sosial—yang spektakuler di nusantara. Pernyataan tersebut juga dapat berarti peradaban yang spektakuler masih belum tersingkap dari dalam tanah dan air Indonesia. Periode itulah yang penulis sebut sebagai masa gelap atau ruang kosong dalam sejarah kebudayaan Indonesia yang perlu segera diisi dengan berbagai penelitian dari berbagai disiplin ilmu.
Peradaban yang spektakuler masih sangat mungkin pernah terdapat di Indonesia mengingat di Indonesia pernah terdapat manusia purba dari periode sekitar 2 juta tahun lalu. Periode tersebut kurang lebih sama dengan manusia purba yang terdapat di Cina. Selanjutnya Cina memiliki peradaban besar yang salah satunya adalah Tembok Besar Cina. Sementara itu, pada periode yang sama dengan pembuatan Tembok Besar Cina, di Indonesia sejauh ini belum ditemukan peradaban berupa bangunan yang monumental. Manusia purba sejauh ini tidak pernah ditemukan di Mesir dan Yunani. Namun demikian, di kedua lokasi tersebut telah ditemukan peradaban-peradaban spektakuler. Sementara itu, pada periode yang sama dengan pembuatan piramida Giza dan kuil Parthenon, di Indonesia belum ditemukan peradaban yang kurang lebih setara dengan kedua bangunan megah tersebut.
Sejarah penghunian manusia di Indonesia tergolong lebih tua dibandingkan yang lainnya. Akan tetapi, masih banyak rentang waktu yang belum terungkap di Indonesia. Dengan kata lain, kiprah manusia Indonesia yang tergolong lebih awal hadir di dunia masih banyak yang belum diketahui sampai saat ini. Perlu ditegaskan sekali lagi, kurun waktu yang relatif belum banyak terungkap adalah periode sekitar 20.000 sampai 1600 tahun yang lalu atau lazim disebut Masa Prasejarah. Pada periode tersebut telah terdapat penelitian misalnya mengenai Austronesia dan Proto Sejarah, namun rekonstruksi kebudayaan yang telah disusun masih banyak menyisakan tanda tanya. Kurun waktu yang relatif telah banyak diketahui adalah sejarah penghunian manusia pada sekitar 1600 tahun yang lalu atau sekitar tahun 400 Masehi sampai dengan sekarang ini atau Masa Sejarah yakni masa ketika manusia telah mengenal huruf/tulisan (lihat Lampiran 5).
5. Gegar Jati Diri

Mencuat dan berkembangnya hal-hal terkait Adam, Atlantis, dan Piramida di Indonesia serta mungkin beberapa hal lainnya, patut pula ditilik sebagai suatu fenomena budaya bangsa Indonesia. Istilah yang cocok untuk menjelaskan fenomena tersebut mungkin adalah krisis identitas atau menurut istilah penulis adalah gegar jati diri. Gegar jati diri terjadi dalam berbagai sendi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, gegar berarti guncang atau goyang dan jati diri berarti identitas. Gegar jati diri berikut inilah yang menyebabkan geger yang berarti riuh ramai tidak karuan, gempar, heboh, atau ribut. Geger akan bertambah apabila bersentuhan dengan kekuasaan yang cenderung rentan menjadi politik identitas.
Gegar dapat terjadi karena kenyataan saat ini Indonesia adalah negara dengan salah satu penduduk dan luas wilayah terbesar di dunia. Namun demikian, saat ini dapat dikatakan Indonesia belum menjadi negara terpandang di dunia, sehingga julukan negara berkembang melekat sedemikian erat dan terkesan lebih nyaman disematkan dibandingkan predikat sebagai negara tidak maju. Catatan hitam dijajah oleh bangsa lain selama ratusan tahun tidak dapat dipungkiri lagi dan menjadi salah satu sebab manusia Indonesia menjadi rendah diri. Fakta arkeologi menunjukkan bahwa sebelum dijajah oleh bangsa lain, kebudayaan Indonesia telah maju dan bahkan lebih maju dibandingkan bangsa yang kemudian menjadi penjajah Indonesia (Akbar, 2010a; Akbar, 2011: 148). Namun, tampaknya fakta tersebut dirasakan belum cukup oleh sebagian pihak, sehingga kalangan ini terus berusaha menelusuri masa silam untuk mencari kejayaan Indonesia di masa lalu. Salah satu harapannya adalah bangsa Indonesia tidak merasa rendah diri lagi dan punya semangat untuk menjadi bangsa yang maju.
Gegar dapat terjadi karena hasil riset puluhan tahun dari para ilmuwan dan peneliti umumnya tidak sampai ke masyarakat luas. Hal ini dapat pula dibaca sebagai kurangnya sosialisasi hasil penelitian yang sebenarnya juga merupakan tanggung jawab ilmuwan dan peneliti serta institusinya. Seringkali terjadi hasil penelitian menumpuk di institusi dan pada saat suatu kasus mencuat, masyarakat ‘dipersalahkan’ karena tidak mengetahui bahwa kasus tersebut telah dipecahkan bertahun-tahun sebelumnya oleh para ilmuwan dan peneliti. Seakan-akan ‘kesalahan’ justru ada di tangan masyarakat yang tidak berusaha mencari hasil riset para ilmuwan dan peneliti.
Gegar dapat terjadi karena sebagian ilmuwan dan peneliti menganggap berita media massa baik cetak maupun elektronik terutama melalui internet kurang ilmiah. Sistem penilaian hasil karya penelitian yang disampaikan dalam bentuk berita populer juga mendapat nilai yang rendah dibandingkan penulisan buku dan jurnal dengan bahasa ilmiah. Akibatnya ruang-ruang pemberitaan di media justru diisi oleh berbagai pihak yang kapasitas dan otoritasnya berbeda, sementara ilmuwan dan peneliti justru sibuk berkutat di instansinya masing-masing. Pada saat instansi resmi atau yang sesuai bidangnya dengan hati-hati dan seksama membuat laporan ilmiah yang cukup memakan waktu, sepanjang waktu itu pula masyarakat telah dibanjiri informasi dari pihak-pihak lain yang secara luwes dan cepat melakukan update status dan menyampaikan opini dengan segera.
Gegar dapat terjadi karena sebagian peneliti masih menganggap ilmunya paling relevan untuk menyelesaikan suatu masalah. Sementara itu, masalah-masalah umumnya merupakan masalah multidimensional yang harus diselesaikan bersama-sama oleh banyak pihak. Perkembangan riset interdisipliner dan multidisipliner patut disambut gembira, meskipun sebagian kalangan mungkin mengkategorikannya sebagai riset yang tidak sesuai disiplin atau menurut istilah penulis adalah riset indisipliner. Namun, patut juga diwaspadai pengaruh posmodernisme yang berlebihan dalam memaknai objektivitas ilmu pengetahuan. Saat ini cukup banyak penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan ilmuwan yang tidak sesuai dengan bidang dan kapasitasnya. Dengan banyaknya sumber bacaan yang mudah diakses, memudahkan pula para peneliti mengambil data, metode, dan teori dari ilmu lain kemudian menggunakannya secara longgar dan dalam tempo yang cepat untuk penelitiannya. Patut diingat bahwa data, metode, dan teori dari suatu ilmu diajarkan, dilatih, dan dipraktekkan dalam jangka waktu tertentu yang umumnya tidak singkat, diawasi dengan seksama oleh seperangkat parameter, dan dijaga serta dievaluasi oleh instansi dan pihak-pihak yang berpengalaman pada bidang ilmu tersebut. Atmosfir ilmiah itulah yang hendaknya tidak diterabas secara serampangan. Suasana saling menghargai antar-berbagai pihak perlu dibangun dan kerja sama lintas ilmu serta lintas sektor perlu dijalin.
Gegar dapat terjadi karena ilmuwan dan peneliti tergolong lambat mengambil tindakan terhadap berita yang berkembang di masyarakat. Keengganan akan semakin bertambah apabila pihak-pihak yang tidak berkompeten atau di luar institusi resmi yang mengangkat berita tersebut terlebih dahulu. Berita akhirnya terkadang dikategorikan sebagai fiksi. Sementara itu, berita yang memuat berbagai hal mengenai pengetahuan dikategorikan sebagai ilmu semu (pseudo science) yakni metodenya dianggap tidak lazim sehingga hasilnya tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan. Contoh pseudo science misalnya peristiwa banjir besar yang secara tiba-tiba menenggelamkan peradaban Indonesia di masa lalu dan letusan sebuah gunung yang daya rusaknya meliputi seluruh Indonesia. Pada dasarnya Pseudo science jika dipandang sisi positifnya, maka akan menjadi cikal-bakal ilmu pengetahuan (proto science). Ilmu pengetahuan akan terus berkembang jika ilmuwan terus ‘gelisah’ dan selalu mencari tahu dan proses ini dapat saja diawali oleh berbagai pikiran aneh dan ide liar diikuti dengan asumsi, dugaan, dan hipotesa. Asumsi, dugaan, dan hipotesa yang ditindaklanjuti dengan penelitian yang seksama dan mendalam dapat mengubah ilmu pengetahuan yang ada saat ini atau dapat menimbulkan revolusi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus membuka diri terhadap berbagai kemungkinan, namun selama proses penelitian masih berlangsung, tetap harus dibedakan antara dugaan dan kenyataan.

6. Penutup
Proses penghunian manusia di muka bumi telah berlangsung cukup lama. Para ilmuwan dan peneliti telah mencoba mencatat sejarah penghunian manusia berikut pencapaian-pencapaiannya. Catatan-catatan tersebut masih jauh dari lengkap dan masih terbuka kemungkinan untuk direvisi sesuai dengan hasil-hasil penelitian terbaru. Bukti-bukti peninggalan masa lalu masih banyak yang terpendam di dalam tanah atau berada di bawah air dan sebagian yang telah terangkat masih belum tuntas dikaji. Penelitian arkeologi di berbagai belahan dunia masih sangat mungkin menemukan hal-hal baru yang spektakuler dan monumental, termasuk pula di Indonesia.
Kendala penelitian arkeologi di Indonesia tergolong cukup besar. Pertama adalah belum banyaknya penelitian dibandingkan luasnya wilayah Indonesia. Kedua adalah arkeologi dan ilmu-ilmu tentang masa lalu masih dipandang kurang penting untuk membangun bangsa dan menjawab persoalan-persoalan negara. Bahkan budaya riset secara umum belum terbangun dengan baik di Indonesia. Ketiga adalah lokasi Indonesia yang rawan bencana alam (catastrophe), sehingga bukti-bukti arkeologi lebih mudah hancur dan sulit untuk dilacak lagi keberadaannya. Terdapat kemungkinan bahwa bukti-bukti peradaban masa lalu di Indonesia selain karena faktor manusia, sebagian besar telah hancur akibat faktor alam, misalnya kondisi lingkungan tropis dan karena terletak di zona cincin api.  
Kendala di atas hendaknya dapat ditanggapi sebagai tantangan. Tantangan pertama adalah meningkatkan penelitian di Indonesia yang salah satunya adalah dengan memandang secara positif gegar jati diri dan secara khusus media massa harus dilibatkan secara intensif sebagai wadah sosialisasi. Tantangan kedua adalah meminta arkeologi dan ilmu-ilmu tentang masa lalu untuk menunjukkan pentingnya pengetahuan masa lalu untuk kehidupan masa kini dan masa nanti. Tantangan ketiga adalah semua pihak dan semua disiplin ilmu bekerja bersama-sama melakukan penelitian lebih cepat karena berkejaran dengan bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi dan memusnahkan bukti-bukti peradaban masa silam di Indonesia, termasuk juga dapat memusnahkan kehidupan masa kini yang tengah kita jalani.
Makalah disampaikan pada “The 4th International Conference on Indonesian Studies.” Bali, 9-11 Februari 2012

Lampiran 1. Kemungkinan Lokasi Turunnya Adam di Dunia (Sumber: Abu Khalil, 2010)

Lampiran 2. Bangunan Ka’bah (Sumber: Al-Maghlouth, 2011: 13)
Lampiran 3.
Plot 3D Data IFSAR resolusi 5m Gunung Putri Sadahurip (Sumber: Laporan Tim Katastropik Purba)
Lampiran 4. Gunung Sadahurip Garut (Foto: Ali Akbar)
Lampiran 5. Sumber: Akbar, 2010b
Daftar Pustaka

   Abu Khalil, Syauqi. (2010). Atlas Al-Qur’an: Mengungkap Misteri Kebenaran Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Almahira
  Akbar, Ali (2010) Kearifan Lokal dalam Menjaga Kelestarian Hutan: Kajian Awal pada Masyarakat Banten dan Jawa Barat. Jurnal Etika. Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia. Jakarta
   Akbar, Ali (2010a). Indonesian Culture prior to the Influences of Indian Culture. Makalah dipresentasikan di Seminar Internasional Cultural and Historical Links between India and South East Asia. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
   Akbar, Ali (2010b). “Museum sebagai Pelestari Tradisi Lisan untuk Mengembangkan Masyarakat Masa Kini.” Makalah dipresentasikan di Seminar Internasional Tradisi Lisan VII. Bangka: Asosiasi Tradisi Lisan
   Akbar, Ali (2011). 9 Ciri Negatif Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Penaku
   Al-Maghlouth, Sami bin Abdullah, 2008, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Menggali Nilai-Nilai Kehidupan Para Utusan Allah. Jakarta: Penerbit Almahira
   Al-Maghlouth, Sami bin Abdullah (2011). Atlas Agama-Agama. Jakarta: Penerbit Almahira
  Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda (1986). Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung:  Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan kebudayaan
   Direktorat Peninggalan Purbakala. (2009). Vademekum Benda Cagar Budaya. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
   Santos, Arysio (2010) Atlantis: The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilizations). Jakarta: Ufuk Press
   Tim Katastropik Purba (Belum Diterbitkan). Laporan Studi Staf Khusus Presiden bidang  Bantuan Sosial dan Bencana: Katastropik Purba. Jakarta.

Sumber:
http://mariarkeologi.org/index.php/artikel/66-adam-atlantis-dan-piramida-di-indonesia-antara-fakta-arkeologi-dan-gegar-jati-diri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar