Sabtu, 11 Oktober 2014

Kajian Tentang Gambar Telapak Tangan Prasejarah

Kajian Tentang Gambar Telapak Tangan Prasejarah

Created on Kamis, 31 Januari 2013Written by Dr. R. Cecep Eka Permana

LATAR BELAKANG
 Gambar telapak tangan  merupakan salah satu tinggalan arkeologi yang sering ditemukan pada dinding gua atau ceruk dari tradisi gambar gua masa prasejarah. Gambar gua  itu dapat dikatakan bersifat universal, karena terdapat hampir di seluruh dunia, seperti Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan Asia.  Karena itu pula, penelitian tentang gambar gua telah dilakukan di berbagai kawasan tersebut. Penelitian gambar gua di Eropa terutama dilakukan di Eropa Barat, khususnya di Prancis pada gua Lascaux dan di Spanyol pada gua Altamira(Grand, 1967:14–47; Howell,1980: 148–151).  Penelitian gambar gua di Afrika dilakukandi Afrika Utara yang dikaitkan dengan budaya Caspia di Gurun Sahara(Oakley, 1972: 64-70), serta di Afrika Selatan dalam kaitannya dengan suku Bushmen(Fagan, 1978: 142-143) dan Suaka Alam Kamberg(Willcox, 1984:189-203). Penelitian gambar gua di Australia berkaitan dengan suku Aborigin dengan lokasi tersebar luas baik di wilayah New South Wales, Australia Selatan, Australia Utara, Kepulauan Dampier, Teluk Carpentaria, maupun Pulau Tasmania (Mc Carthy, 1979:7–9).  Sementara itu, penelitian gambar gua di Kawasan Asiadilakukan di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Penelitian gambar gua di Asia Selatan (India) dilakukan di wilayah negara bagian Rajasthan, Uttar Pradesh, Bihar, Madhya Pradesh, Orissa, dan Karnataka(Neumayer, 1983), sedangkan di Asia Tenggara dilakukan di Thailand, Malaysia, Filipina dan Indonesia(Harrison, 1958;Peralta et.al., 1985; Arifin, 1992; Kosasih, 1995).
Peta Sebaran  Temuan Gambar telapak tangan pada Situs Gua Prasejarah di Indonesia
Peta Sebaran  Temuan Gambar telapak tangan pada Situs Gua Prasejarah di Indonesia
Di Indonesia gambar gua ditemukan pada gua-gua prasejarah di Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua. Karina Arifin dalam penelitiannya menyatakan bahwa Irian Jaya/Papua merupakan daerah pertama di Indonesia yang mendapat perhatian tentang gambar gua.  Orang yang dianggap pertama kali mencatat temuan gambar gua di Irian Jaya adalah Johannes Keyts (seorang pedagang) dalam perjalanannya dari Banda ke pantai New Guinea pada tahun 1678. Dalam perjalanannya itu, ia melewati sebuah tebing karang di tepi Teluk Speelman yang dipenuhi oleh tengkorak-tengkorak, sebuah patung manusia, dan berbagai tanda pada dinding karang tersebut dengan warna merah.  Kemudian pada masa berikutnya hingga akhir abad ke-19 adanya gambar-gambar gua di Irian Jaya dilaporkan oleh Th. B. Leon (pedagang) di Teluk Berau,  D.F van Braam Morris (residen) di sebelah timur Pulau Arguni, dan A.G. Ellis (komandan kapal) di daerah Bedewaana dekat Pulau Arguni (Arifin, 1992:21-23). 
Memasuki abad ke-20 terdapat laporan ilmiah pertama tentang gambar gua di Papua yang dibuat oleh J. Röder berdasarkan hasil ekspedisi Leo Frobenius tahun 1937 di sekitar Teluk MacCluer (Teluk Berau) antara Kokas dan Goras.  Röder membuat laporannya dengan rinci antara lain membagi gambar-gambar tersebut ke dalam  empat gaya, yaitu Tabulinetin, Manga, Arguni, dan Ota.  Selain itu Röder juga membahas asal-usul, makna, dan fungsi gambar-gambar gua dengan menggunakan cerita rakyat dan membandingkannya dengan simbol atau lambang lain yang dikenal masyarakat di daerah sekitar tempat gambar ditemukan atau dari daerah lain.   Tulisan Röder tersebut juga dilengkapi dengan gambar dan foto yang dibuat oleh A. Han (Arifin,1992:19–21).
Namun, perhatian yang mulai serius pada gambar-gambar gua di Indonesia baru dimulai tahun 1950 oleh C.H.M. Heeren-Palm di gua PattaE.  Di gua ini ditemukan gambar-gambar telapak  tangan dengan latar belakang cat merah.  Di gua ini juga ditemukan gambar seekor babi-rusa dengan garis-garis warna merah sedang melompat.  Dalam penyelidikan di leang Burung oleh van Heekeren dan di leang JariE oleh C.J.H Franssen ditemukan pula banyak gambar telapak tangan (Heekeren, 1952:22-35, 1972:106-120; Arifin, 1992:8-9; Kosasih, 1995:16). 
Gambar-gambar telapak tangan yang dijumpai di Sulawesi Selatan itu berasal dari 1.000—3.000 tahun yang lalu.  Hal ini diketahui dari penelitian bersama Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional dengan Departemen Prasejarah Australian National University yang dipimpin oleh D.J. Mulvaney dan R.P Soejono tahun 1969.  Berdasarkan analisis C-14 sampel arang dari gua-gua tersebut diketahui berasal dari 1030+275 Masehi (ANU-392) (gua Batu Ejaya), serta 870+210 Masehi (ANU-391), dan 1470+400 SM (ANU-390) (gua Burung) (Arifin, 1992: 8-9; Kosasih, 1995:16).
Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai peristilahan yang sering dan lazim digunakan berkenaan dengan gambar tangan khususnya dan gambar gua pada umumnya.  Selain itu, juga akan dibahas mengenai riwayat kajian gambar tangan di Indonesia, disamping teknik buat, bentuk gambar, dan pengukuran gambar tangan, serta satu kajian terbaru tentang gambar tangan gua prasejarah.
PEMBAHASAN
  1. a.    Peristilahan
Istilah ‘gambar gua’  sering disebut denganrock art [1]Rosenfeld (1988:1-2) mendefinisikan rock art sebagai lukisan atau pahatan yang dibuat pada batu alamiah yang masih melekat pada batuan induknya. Lukisan atau pahatan ini dapat dibuat pada dinding-dinding batu,  baik di dalam gua maupun di tempat-tempat terbuka, atau dibuat pada bongkahan batu maupun pada lempengan batu yang terbentuk secara alamiah. Pengertian yang mirip juga diungkapkan oleh Taçon dan Christopher (1998:5), dan Whitley (2005:3) bahwa rock art  mengacu pada gambar-gambar, motif-motif, dan disain-disain  sesuatu yang dibuat pada permukaan batuan alamiah tak bergerak, seperti permukaan tebing, dinding gua, dan bongkahan batu besar.  Yang termasuk dalam rock art adalah yang dibuat baik dengan cara melukis dan menggambar (pictographs), seperti lukisan (paintings), gambar (drawings), pelumuran (daubings), dan cetakan(stencillings/printings), maupun dengan cara menggoresatau menoreh (petroglyps), seperti  ukiran (engravings), goresan (incisings), patukan (peckings), dan cungkilan (gougings).
Selain rock art, istilah yang sering juga dipergunakan adalah cave art [2] atau rock painting [3]. Kedua istilah ini biasanya mengacu pada uraian yang menekankan pada aspek seni. Menurut Taçon dan Christopher (1998:5), bagi sebagian ahli yang keberatan menganggap fenomena budaya tersebut sebagai seni, maka digunakan istilah rock image, rock picture, rock marking, rock trace, dan  rock glyph.
Tulisan ini secara khususmembicarakan tentang fenomena budaya berupa gambar pada dinding gua yang bentuknya seperti tangan manusia mulai dari telapak dengan jari-jarinya hingga pergelangan dan lengan. Dalam penelitian gua di Indonesia, istilah yang biasa digunakan untuk hal tersebut adalah ‘cap tangan‘, ‘gambar cap tangan’, ‘lukisan cap tangan’, ‘gambar telapak tangan’, ‘lukisan telapak tangan’, ‘siluet tangan’, dan ‘lukisan siluet tangan’.  Istilah-istilah itu dirasakan kurang tepat dan tidak berlaku umum. Istilah ‘telapak tangan’ kurang tepat digunakan, karena pengertiannya sangat terbatas, yakni  bagian tangan yang biasa digunakan untuk menerima (KBBI, 1990: 902). Untuk pengertian yang lebih umum, sebaikna digunakannistilah ‘tangan’ saja, karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah ‘tangan’ mengacu pada  anggota badan dari siku sampai ke ujung jari, atau dari pergelangan sampai ke ujung jari (KBBI, 1990: 897). Hal ini sesuai pula dengan kenyataan di lapangan bahwa umumnya dijumpai tidak hanya berupa  gambar telapak tangan, tetapi juga telapak tangan hingga pergelangan, dan telapak tangan hingga lengan.
Dalam tulisan ini juga tidak digunakan istilah ‘cap’ atau ‘siluet’. Istilah ‘cap’ mengandung pengertian (1) alat untuk membuat rekaman tanda (gambar, tanda tangan, dan sebagainya); stempel; tera; (2) rekaman (tanda gambar, tanda tangan, dan sebagainya) yang dibuat dengan cap (KBBI, 1990:151). Sementara istilah ‘siluet’ berarti gambar bentuk menyeluruh secara blok, biasanya berwarna gelap (KBBI, 1990:840). Kedua istilah tersebut mungkin dapat digunakan untukpossitive hand stencil atauhand print, dan sama sekali tidak cocok untuk negative hand stencil atau hand stencil. Oleh karena itu, untuk pengertian khusus yang berkenaan dengan topik inidigunakan istilah ‘gambar telapak tangan’.
Istilah ‘gambar telapak tangan’ tersebut biasa juga disebut dengan ‘hand stencil’, yaknigambar yang dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan pada permukaan dinding gua, kemudian ditaburi atau di’semprot’ dengan ‘cat’. Bahan taburan atau semprotan cat akan mewarnai sekitar tangan, sementara bagian yang tertutup  tangan tidak terwarnai, dan  membentuk cetakan  tangan. Teknik membuat gambar telapak tangan tersebut biasanya disebut sebagai gambar telapak tangan bersifat negatif (negative hand stencil), atau hand stencil saja.  Selain itu terdapat pula gambar telapak tangan yang bersifat positif (possitive hand stencil), yakni gambar telapak tangan yang dibuat dengan teknik membubuhkan cat pada tangan yang kemudian ‘dicapkan’ pada permukaan dinding gua atau pada permukaan media lainnya. Teknik terakhir ini sering pula disebut hand print (Maynard, 1977: 391-401; Clegg,1983: 94–95; Lewis-Williams, 2002:216–218).Gambar telapak tangan dengan menggunakan kedua teknik ini menghasilkan bentuk dan ukuran tangan yang sama dengan tangan sesungguhnya. Gambar telapak tangan berupanegatif hand stencil  merupakan tinggalan umum yang ditemukan di seluruh dunia.
  1. a.    Sedikit Riwayat
Walaupun gambar telapak tangan merupakan objek gambar gua yang dominan dan temuannya tersebar luas, namun kajian khusus mengenai gambar telapak tangan di Indonesia belum banyak dilakukan.  Kajian mengenai gambar telapak tangan selama ini masih bersifat umum atau hanya menampilkan salah satu bagian saja dari pembicaraan gambar gua. Padahal dari segi jumlahnya gambar telapak tangan jauh  lebih banyak dibandingkan dengan gambar lain.  Sering terjadi pula gambar telapak tangan yang banyak itu dibahas hanya sedikit.
Kajian awal mengenai gambar telapak tangan  di Indonesia antara lain diperoleh dalam tulisan Röder berjudul “Die Felsbilder in Flussgebiet des Tala (Sud West Ceram)”,  yang dimuat dalam Paideuma I(1938:19–28).  Pada bagian yang tidak terlalu banyak dari tulisannya itu,  Röder melaporkan memperoleh informasi dari penduduk setempat mengenai gambar telapak tangan (disebutnya sebagai “lukisan siluet”).  Menurut cerita rakyat itu gambar telapak tangan tersebut berkaitan dengan asal-usul mereka. Dikatakan bahwa dahulu pernah terjadi perang besar antara orang Sawai dan orang Hatue di daerah Teluk Seleman (Pulau Seram).  Seorang pendekar dari Sawai telah menebas beberapa kepala orang Hatue dan darah korban membasahi tangannya.  Untuk menghilangkan darah tersebut ia menapakkan tangannya pada batu karang.  Begitulah gambar  tangan itu terbentuk, sedangkan gambar telapak tangan yang lain dibuat oleh setan.
Dalam buku yang sama, Röder juga menulis artikel berjudul “Felsbildforschung auf west Neuguinea” (1938:75–88), dan menyinggung sedikit mengenai gambar telapak tangan di Papua.  Uraian mengenai gambar telapak tangan yang dibahas Röder merupakan bagian dari pembicaraan pembagian gaya gambar di Papua yang terdiri atas gambar warna merah dan warna hitam.  Gambar telapak tangan termasuk dalam kategori gaya gambar berwarna merah.  Menurut Röder warna merah lebih tua dari warna hitam dan juga mempunyai makna yang berbeda.  Pembicaraan tentang gambar telapak tangan juga terdapat dalam pembahasan gaya gambar berdasarkan daerah.  Dari empat gaya gambar gua Irian Jaya, kecuali gaya Ota, gaya Tabulinetin, Manga, dan Arguni memiliki gambar telapak tangan (terbanyak pada gaya Tabulinetin).  Disebutkan pula kelompok usia pemilik tangan (dewasa/anak) dan ada/tidaknya jari yang terpotong, di samping tentang warna gambar.  Röder juga mengajukan pendapat mengenai makna gambar telapak tangan tersebut, yakni sebagai lambang kepemilikan atau penolakan bala.  Makna tersebut diberikan berdasarkan analogi yang masih ada pada kebiasaan untuk menjejakkan tangan di dalam semen basah di pinggir pintu rumah di Italia dengan maksud menjauhkan mara bahaya.  Sementara itu, di tempat lain, pemahatan tangan dibuat sebagai tanda pengenal para tukang batu yang membangun gereja-gereja pada abad pertengahan.
Seperti halnya Röder, dari tulisan hasil penelitian K.G. Heider berjudul “The Dugum Dani: a Papuan Culture in the Highland of Wes New Guinea”, 1970, juga sedikit membicarakan mengenai gambar telapak tangan, khususnya berkaitan dengan teknik buatnya.  Heider menyebutkan bahwa gambar telapak tangan positif dan negatif merupakan motif yang paling umum.  Gambar telapak tangan positif biasanya dibuat dengan melumuri tangan dengan cat merah lalu menempelkannya ke permukaan batu,  sedangkan gambar telapak tangan negatif dibuat dengan menyemprotkan tangan berwarna merah ke atas tangan yang ditempelkan di atas dinding.  Selain itu, diuraikan pula gambar telapak tangan yang dibuat dengan cara melukis sehingga berbentuk tangan, dan gambar telapak tangan dengan cara membuat garis di sekitar atau mengikuti sisi jari-jari tangan.  Disebutkan pula bahwa semua gambar telapak tangan yang ditelitinya berasal dari orang dewasa, baik tangan kanan maupun tangan kiri.  Di sini tidak ditemukan jari-jari yang terpotong, meskipun masyarakat Dani pada masa lalu melakukan mutilasi jari-jari tangan, terutama bagi kaum wanitanya sebagai tanda duka cita.
Pembahasan mengenai gambar telapak tangan lainnya di Papua diungkapkan oleh W.J. Gruyter dan G.L. Tichelman dalam bukunya Nieuw-Guinea Oerkunst, 1944:19–20. Pembicaraan tentang gambar telapak tangan juga hanya sedikit dan terbatas pada kaitannya dengan mitos.  Disebutkan bahwa berdasarkan tuturan masyarakat setempat bahwa pada jaman dahulu ada seorang laki-laki dan dua orang wanita (berkulit hitam dan berkulit putih) datang dari arah matahari terbit.  Mereka semuanya buta dan mencari jalannya dengan meraba-raba dinding karang yang mereka lalui. Mereka berjalan ke arah matahari terbenam.  Semakin dekat ke matahari terbenam, mata mereka semakin terbuka, dan akhirnya mereka dapat melihat.  Pada suatu hari terjadi perselisihan yang menyebabkan perpisahan di antara kedua wanita tersebut.  Wanita berkulit hitam tetap tinggal di tempat itu dan menjadi nenek moyang orang Papua, sedangkan yang berkulit putih (Omimin namanya) meneruskan perjalanannya ke tempat matahari terbenam dan menjadi leluhur orang-orang kulit putih di sana.  Jejak-jejak tangan dan kaki mereka inilah yang tertera pada dinding-dinding gua/ceruk dan menjadi tanda kepemilikan nenek moyang yang datang pertama kali ke daerah tersebut.
C. Ballard dalam artikelnya “Dudumahan: A Rock art site on Kai Kecil, Southeast Moluccas” dalam IPPA Bulletin 8, 1988:139–161, juga kurang memperhatikan temuan gambar telapak tangan, walaupun dengan cukup terperinci membahas bermacam-macam motif desain figuratif.  Dari lebih 300 desain yang ditelitinya, 84% berupa teknik tangan, dan hanya 16% dengan teknik stensil. Gambar telapak tangan merupakan satu-satunya gambar yang dibuat dengan teknik stensil.  Selain itu, dari gambar telapak tangan yang diamati, tidak ada yang memperlihatkan jari-jari yang terpotong, dan semuanya berasal dari orang dewasa baik tangan kanan maupun kiri.
Berbeda dengan tulisan-tulisan di atas, tulisan H.R. van Heekeren berjudul The Stone Age of Indonesia, 1957, khusus mengenai gambar telapak tangan terlihat lebih rinci dan lengkap, walaupun uraian tentang ini sendiri tidak banyak. Heekeren membahas mengenai hasil penelitian gambar telapak tangan dari gua Pattae di Maros, Sulawesi Selatan.  Di sini ia meneliti tujuh gambar telapak tangan yang terdapat pada langit-langit setinggi kira-kira 2 meter dari permukaan lantai gua.  Selanjutnya disebutkan bahwa gambar-gambar telapak tangan tersebut tidak begitu jelas sebab sebagian warnanya sudah mengelupas.  Gambar telapak tangan tersebut termasuk langsing dengan bentuk jari-jari yang baik dan berukuran normal.  Semua gambar telapak tangan berasal dari tangan kiri, kecuali satu yang berupa tangan kanan.  Disebutkan pula bahwa gambar telapak tangan tersebut dibuat dengan meletakkan tangan pada dinding gua dan kemudian menyemprotkan bahan merah.  Gambar telapak tangan tersebut dibuat satu persatu, karena semprotan dari tangan yang satu terlihat pada tangan yang lain.  Uraian gambar telapak tangan tersebut juga disertai dengan gambar, foto, dan keletakannnya.
  1. b.   Teknik Buat Gambar Telapak Tangan
Gambar telapak tangan dibuat dengan berbagai teknik, seperti stencilimprint, printing, painting, dandrawing.  Gambar telapak tangan teknik stencil dibuat dengan cara meletakkan  tangan pada permukaan dinding gua, lalu cairan warna disemprotkan di sekitar tangan tersebut.  Setelah pewarnaan selesai, maka tangan diangkat dan akan terlihat  ‘cetakan’  berupa bentuk tangan dari bagian yang tidak terwarnai.  Gambar telapak tangan yang dihasilkan dari teknik pembuatan seperti itu sering pula disebut dengan negative hand stencil. Adapun gambar telapak tangan teknik imprint dibuat dengan cara membasahi atau melumuri tangan dengan cairan warna, kemudian menempelkan tangan tersebut ke permukaan dinding gua.  Penempelan atau peneraan tangan tersebut akan menghasilkan ‘cap’ berbentuk tangan.  Gambar telapak tangan yang dihasilkan dari teknik pembuatan seperti ini sering pula disebut dengan positive hand stencilatau hand print (Maynard, 1977:391–401; Clegg, 1983:94–95). Baik teknik stencil maupun imprint, dihasilkan gambar telapak tangan sesuai dengan bentuk dan ukuran tangan si pembuatnya.
Di lain pihak, gambar telapak tangan teknik  painting dan drawing dibuat dengan cara melukis atau menggambar bentuk tangan dengan menggunakan alat atau bahan warna tertentu.  Untuk teknik painting dilakukan dengan cara melukis bentuk tangan  pada permukaan dinding gua menggunakan kuas atau sejenisnya dan bahan warna yang bersifat cair. Adapun untuk teknik drawing dibuat dengan cara menggambar bentuk tangan pada permukaan dinding gua menggunakan pewarna yang bersifat kering seperti arang, batuan, atau bahan warna kering lainnya (Maynard, 1977:391–401; Clegg, 1983:90, 94–95).  Baik teknik painting maupun drawing, dihasilkan gambar telapak tangan yang bentuk dan ukuran  tidak sama persis dengan tangan sesungguhnya.
Pada beberapa gambar telapak tangan, ada dijumpai gabungan teknik antara stencil dan painting. Pada mulanya gambar telapak tangan dibuat dengan teknik stencil, kemudian hasil cetakannya diisi dengan hiasan garis, titik, atau lainnya.  Gambar telapak tangan dengan teknik gabungan ini disebut  decorated hand stencil (Clegg, 1983:94–95).  Diduga, hand stencil pada awalnya sebagai tandatangan atau tanda kenal diri seseorang pembuat gambar gua.  Ketika pemilik gambar telapak tangan tersebut meninggal, maka diberi gambar tambahan berupa garis-garis atau titik-titik pada bagian tengah ‘cetakan’ gambar telapak tangan tersebut.  Adapun tujuan pemberian gambar tambahan tersebut untuk ‘menghidupkan’ dan memberikan kekuatan kepada roh menjalani kehidupan di dunia barunya (McCarthy, 1979:80-82).
Selain itu, decorated hand stencil ditemukan pula di situs Tewet dan Ilas Kenceng, Kalimantan Timur, tidak diketahui pasti alasan dan arti gambar telapak tangan seperti itu.  Namun, dari data etnografi berkenaan dengan pembuatan tato di telapak tangan suku Dayak, dapat berarti sebagai tanda kelompok suku, tanda seorang pemburu ulung, atau seseorang yang gagah berani atas keberhasilan dalam pengayauan (Rosa, 2002:178-186).  Mungkin pembuatan tato tersebut merupakan bagian dari tradisi yang masih berlanjut berkenaan dengan hiasan tangan.
Mengenai bentuk-bentuk gambar telapak tangan yang dihasilkan dari berbagai teknik yang sudah dijelaskan di atas, dapat dilihat pada foto atau gambar berikut:
Teknik Pembuatan Gambar telapak tangan
Temuan gambar telapak tangan yang terdapat di Indonesia umumnya dibuat menggunakan teknik stencil. Hingga saat ini  tidak ditemukan gambar telapak tangan berupa imprint, painting, drawing, maupun gabungan teknik tersebut. Namun demikian, hasil cetakan stensil tersebut terdapat dalam beberapa bentuk seperti terlihat pada contoh gambar telapak tangan di bawah ini.
 
Bentuk Cetakan Gambar telapak tangan di Sulawesi Selatan
Foto kiri menunjukkan bentuk gambar telapak tangan dengan jari-jari yang kurus dan berujung runcing, serta pewarnaan yang tipis. Gambar telapak tangan dengan bentuk tersebut tidak banyak dijumpai. Tidak diketahui persis bagaimana bentuk gambar telapak tangan seperti ini dihasilkan. Pada foto kanan menunjukkan bentuk ‘normal’ gambar telapak tangan yang banyak dijumpai pada berbagai situs gua. Bentuk cetakan gambar telapak tangan tersebut sangat mirip dengan tangan manusia pada umumnya, meskipun penggambarannya ada berupa telapak hingga lengan, telapak hingga pergelangan, hanya telapak, dan bahkan hanya jari-jemarinya.  Gambar-gambar cetakan tangan tersebut jika diperhatikan secara saksama tidak ada bentuk yang sama persis.  Hal itu menunjukkan bahwa gambar-gambar telapak tangan tersebut tidak menggunakan mal atau model, melainkan tangan manusia pembuat atau pendukung budaya itu secara langsung.
  1. a.    Bentuk Gambar Telapak Tangan
Khusus berkaitan dengan gambar telapak tangan, berdasarkan kajian yang telah saya lakukan (Permana, 2008) terbanyak  ditemukan dalam bentuk “jari-jari dan bagian telapaknya”. Selain itu, bentuk gambar lain ditemukan, namun tidak terlalu banyak adalah dalam bentuk “jari-jari, bagian telapak hingga pergelangan”, serta  paling sedikit dalam bentuk “jari-jari, bagian telapak, pergelangan hingga lengan” (lihat gambar di bawah).
Bagian Tangan
Dari segi jumlahnya, kebanyakan ditemukan berupa lima jari, meskipun ada pula yang tidak lengkap, yakni berjumlah empat bahkan hanya tiga jari. Gambar telapak tangan dengan jari yang tidak lengkap tersebut disebabkan karena beberapa alasan.  Berdasarkan kasus gambar telapak tangan yang tidak lengkap di berbagai situs di dunia diketahui bahwa: (1)  gambar telapak tangan tersebut dibuat dalam kaitan tradisi pemotongan (mutilasi) jari sebagai bagian dari upacara ritual, (2) gambar telapak tangan tersebut dibuat oleh seseorang yang jarinya sudah terpotong karena penyakit,  (3) tidak dipotong, tetapi sengaja disembunyikan/dilipat ketika proses pembuatan gambar telapak tangan tersebut, dan (4) tidak sengaja disembunyikan/dilipat, melainkan akibat teknis tertentu, misalnya posisi tangan yang kebetulan menahan beban badan sehingga bentuk jarinya tidak dalam bentuk semestinya (Leroi-Gourhan, 1981:57; Ucko dan Rosenfeld, 1967:99; Willcox, 1984:245).  Contoh bentuk gambar telapak tangan, serta telapak tangan dengan jari yang tidak lengkap dapat dilihat pada foto di bawah ini.
Lukisan Gua
Dalam kajian gambar telapak tanganjuga dapat diidentifikasi tangan kanan atau tangan kiri. Gambar tangan kanan dapat dikenali dari posisi ibu jari (jempol) berada di sebelah kiri atau jari kelingking di sebelah kanan, sedangkan tangan kiri diketahui dari posisi jempol di sebelah kanan atau kelingking berada di sebelah kiri. Pada setiap situs tidak sama dalam hal penggambaran tangan kanan dan tangan kiri.  Menurut Ucko dan Rosenfeld berdasarkan kajiannya di Eropa, khususnya di gua Gargas dan El Castilo diketahui bahwa gambar telapak tangan kiri lebih sering muncul daripada gambar telapak tangan kanan (Ucko dan Rosenfeld, 1967:99). Sementara itu, penelitian di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa jumlah tangan kanan dan kiri relatif sama atau berimbang (Permana, 2008).
Tangan kiri (sebelah kiri) dan Tangan kanan (sebelah kanan)
Tangan kiri (sebelah kiri) dan Tangan kanan (sebelah kanan)
Secara teknis, jika seseorang ingin membuat gambar telapak tangan kiri, maka penyemprotan warna dilakukan dengan menggunakan bantuan tangan kanan.  Sebaliknya, untuk gambar telapak tangan kanan  berarti pemberian warna dilakukan dengan menggunakan bantuan tangan kiri.  Gambar telapak tangan kanan atau kiri mungkin dapat menunjukkan  kebiasaan tangan yang ‘tidak aktif’.  Jika tergambarkan tangan kiri, berarti tangan yang aktif dan biasa melakukan aktivitas adalah tangan kanan, demikian pula sebaliknya.
Dari segi ukuran, gambar telapak tangandapat pula diduga merupakan milik atau dibuat oleh  orang dewasa atau anak-anak. Ukuran gambar yang besar (panjang sekitar 18-22 cm dan lebar 10-12 cm) umumnya tangan orang dewasa, sedangkan anak-anak berukuran kecil (panjang sekitar 10-12 cm dan lebar 6-8). Secara umum dalam penggambaran telapak tangan pada gua prasejarah terdapat dalam ukuran orang dewasa.  Dari berbagai kajian, tidak ditemukan gambar telapak tangan anak-anak dengan jumlah jari yang tidak lengkap (kurang dari lima jari).  Kenyataan ini juga berarti tidak ada tradisi pemotongan jari ketika masih kecil atau untuk anak-anak. Kendati demikian, mengingat adanya gambar telapak tangan anak-anak ini diduga penggambaran tangan anak-anak juga memiliki arti dan tujuan tertentu. Menurut Röder berdasarkan temuannya di gua-gua Teluk Berau (Papua), adanya gambar telapak tangan anak-anak  adalah sesuai dengan tradisi setempat yang mengatakan bahwa para leluhur datang bersama dengan anak-anak mereka.   Selain itu,  Röder juga menyimpulkan lebih jauh bahwa adanya gambar telapak tangan besar dan kecil menjelaskan “prinsip hubungan antara pendahulu dan para keturunan” yang sudah ditetapkan oleh nenek moyang mereka sejak dahulu kala (Röder, 1938b:79).
  1. a.    Pengukuran Gambar Telapak Tangan
Di atas telah disinggung tentang ukuran gambar telapak tangan, lalu bagaimana teknis pengukurannya? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur gambar telapak tangan pada gua prasejarah, yakni dengan menggunakan penggaris/rolmeter, kalifer, skala batang, dangrid.  Pengukuran dengan penggaris atau rolmeter paling mudah digunakan dan didapat, serta murah harganya. Penggunaannya seperti cara mengukur benda apapun, dengan meletakkan penggaris pada bidang gambar yang akan diukur: panjang dan lebar telapak tangan, serta panjang jari-jari. Pengukuran menggunakan kalifer sesungguhnya mudah juga dilakukan dengan merentangkan batas pengukurnya pada objek yang diukur.  Kedua cara pengukuran di atas akan diperoleh langsung ukuran yang akurat dengan membaca angka pada penggaris/rolmeter atau kalifer. Data ukuran gambar telapak tangan dicatat dalam tabel pengukuran yang dilakukan satu per satu.
Selain itu, ada cara lain yang dapat digunakan untuk mengukur gambar telapak tangan pada gua prasejarah, yakni dengan skala batang dan kisi-kisi (grid). Perolehan data ukuran gambar telapak tangan dilakukan cara memotret gambar telapak tangan yang disertai dengan skala batang berukuran panjang 10 cm, atau pada kisi-kisi berukuran 2 atau 5 cm tiap kisinya. Kedua cara ini biasanya digunakan jika waktu penelitian terbatas.  Keuntungan dari pengukuran cara ini adalah dapat dilakukan dengan cepat, namun kerugiannya adalah tidak diperoleh data ukuran yang akurat. Ukuran dalam angka yang lebih spesifik pada cara pertamadiperoleh dengan menghitung perbandingan ukuran gambar dan skala batang.
Untuk cara kedua, hampir sama dengan cara pertama dengan menghitung perbandingan ukuran gambar dan kisi-kisi.
  1. a.    Kajian Gambar Telapak Tangan Terbaru

Selain seperti yang telah dibahas di atas, terdapat pula kajian tentang gambar telapak tangan gua prasejarah terbaru yang lahir dari disiplin ilmu psikologi.  Ide dasarnya bahwa ukuran telapak tangan berbeda-beda setiap orang dan setiap jenis kelamin, khususnya ukuran jari telunjuk dan jari manis. Kajian ini sering disebut dengan digit ratio 2D:4D. Kajian ini kemudian diaplikasikan untuk mengidentifikasi tangan laki-laki atau perempuan dalam gambar gua prasejarah itu.
Kajian digit ratio 2D:4D pada gambar telapak tangan gua prasejarah itu mulai dibincangkan dalam konferensi International Federation Rock Art Organization (IFRAO) Desember 2004. Pengkajian hal tersebut didasarkan atas ide-ide dari penelitian J.T Manning, D. Schutt, J. Wilson, dan D.I Lewis-Jones (1998) dan J.T Manning (2002) tentang “digit ratio 2D:4D”. Rasio antara dua jari tangan, yakni jari telunjuk/jari ke-2 atau 2D (forefinger) dan jari manis/jari ke-4atau 4D (ringfinger) dapat mengungkapkan identitas jenis kelamin.  Dijelaskan bahwa pada setiap orang dalam bulan-bulan pertama dari sebuah kehidupan janin, terdapat kontribusi dari beberapa hormon yang mempengaruhi perkembangan jari. Hormon estrogen berperan dalam pertumbuhan jari telunjuk, dan hormon testosteron berperan pada pertumbuhan jari manis.  Akibat dari hal tersebut, rasio antara jari kedua/telunjuk dan jari keempat/manis akan berbeda-beda menurut jenis kelamin.
Untuk mengukur rasio panjang jari telunjuk (2D) dan jari manis (4D) terdapat dua cara.  Cara pertama (konvensional) dengan mengukur panjang 2D dan 4D dari ujung jari (finger tip) hingga garis batas jari dan telapak (proximal crease). Sementara itu, cara kedua dengan membuat garis tepi sekitar telapak/jari (hand outlines). Panjang jari telunjuk dan jari manis diukur dari ujung jari (finger tip) hingga ujung celah jari (web space).  Rasio 2D:4D diperoleh dari pengukuran panjang jari telunjuk (2D) dibagi dengan panjang jari manis (4D), misalnya panjang 2D=73,27 dan panjang 4D=77,12, maka rasionya adalah 0,95.
Dari studi statistik menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin tersebut bervariasi berdasarkan kelompok manusia.  Rasio antara jari telunjuk dan jari manis (2D:4D) perempuan umumnya lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Pada Orang Polandia sekarang, perempuan  memiliki rasio rata-rata 1 dan laki-laki  memiliki rasio rata-rata 0,99.  Rasio 2D:4D pada Orang Inggris menunjukkan perempuan dengan rasio 0,99 dan laki-laki memiliki rasio 0,98.  Orang Hongaria Gypsy memiliki rasio 0,96 (perempuan) dan rasio 0,95 (laki-laki), dan Orang Jamaika perempuan memiliki rasio 0.94 dan laki-lakinya berasio 0,93. Kelompok manusia yang tinggal lebih dekat ke katulistiwa, memiliki kecenderungan rasio yang lebih kecil, tetapi dalam perbedaan rata-rata yang sama antara laki-laki dan perempuan (Nelson, Manning, dan Sinclair, 2006:3).
Berdasarkan atas kajian tersebut, kemudian ada dua peneliti yang mencoba menerapkannya dalam kajian gambar telapak tangan prasejarah, yakni Dean R. Snow (2006) serta J.M Chazine dan A. Noury (2006).  Snow meneliti enam sampel gambar telapak tangan di beberapa gua di Prancis dengan hasil empat perempuan dewasa, dua laki-laki dewasa dan remaja.  Sementara itu, Chazine dan Noury  di gua Masri II (Kalimantan Timur) meneliti 34 gambar telapak tangan dengan hasil 16 laki-laki, 15 perempuan, dan tiga tidak teridentifikasi.
Tulisan Chazine dan Noury yang dimuat di International/Newsletter on Rock Art (INORA) 2006/44:21-26  berjudul “Sexual determination of hand stencils on the main panel of the Gua Masri II cave (East-Kalimantan/Borneo-Indonesia”, ditanggapi oleh J.M Manning bersama Emma C Nelson dan Anthony GM Sinclair,  dalam Jurnal Before Farming (2006/1 article 6:1-7) berjudul “Using the length of the 2nd to 4th digit ratio (2D:4D) to sex cave art hand stencils: factors to consider”.  Manning dan kawan-kawan memuji upaya Chazine dan Noury menerapkan metode digit ratio 2D:4D pada kasus gambar telapak tangan pada gua prasejarah, khususnya di gua Masri II Kalimantan Timur.  Namun, Manning menyayangkan bahwa penelitian itu menggunakan acuan rasio tangan populasi Eropa (0,96 untuk laki-laki dan 1,0 untuk perempuan), sehingga hasilnya kurang tepat.  Untuk menghasilkan pengukuran yang lebih valid seharusnya mengambil rasio dari populasi penduduk asli (Kalimantan) sendiri (Nelson, Manning, dan Sinclair, 2006:4).  Hingga kini kajian ini terus dikembangkan dan disempurnakan di berbagai belahan dunia untuk kepentingan arkeologi.
PENUTUP
Gambar telapak tangan pada gambar gua prasejarah sering “kalah pamor” dengan gambar gua lain, seperti gambar-gambar binatang (bison, mammoth, kuda, babi, rusa, dan lain-lain) atau bentuk-bentuk gambar lain (geometris, manusia, dan benda tata surya).  Oleh karena itu, sering pula gambar telapak tangan tersebut agak terabaikan dalam kajian gambar gua prasejarah.  Padahal, gambar telapak tangan sering dan banyak ditemukan pada gua-gua prasejarah yang sudah mengenai tradisi menggambar dinding-dinding guanya.  Bahkan, diduga gambar telapak tangan merupakan obyek gambar gua yang tertua dan tersebar luas hampir di seluruh muka bumi dengan bentuk dan teknik yang serupa.
Melalui berbagai kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti, sesungguhnya gambar telapak tangan memiliki berbagai aspek yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Dari aspek bentuk dan teknik buat, fungsi dan makna,  hingga metode perekaman, seperti yang sudah disinggung di atas, terbukti bahwa gambar telapak tangan tidak kering untuk terus dikaji.  Bahkan kajian dari luar disiplin arkeologi pun terbuka untuk menambah wawasan kajian yang lebih maju lagi.
Dengan demikian, kajian terhadap gambar telapak tangan yang semula sering diabaikan, lambat laun menjadi sebuah kajian yang menarik dan menantang.  Masih banyak teka-teki dan rahasia dibalik gambar telapak tangan manusia gua prasejarah itu. Semoga di masa mendatang akan banyak melahirkan kajian gambar telapak tangan yang lebih menarik lagi.


[1] Ahli yang menggunakan istilah rock artantara lain oleh F.D McCarthy, 1958, 1967; J.D Lewis-William, 1981, 1982; N.J Walker, 1987; Robert Layton, 1991; Anthony Forge, 1991, A. Rosenfeld, 1986, 1988; R.G Bednarik, 1985, 1988; L. Maynard, 1976, 1977; M.J Marwood, 1987, 1988, dan Whitley, 2005.
[2] Ahli yang menggunakan istilah cave art antara lain Peter J. Ucko dan Andree Rosenfeld, 1967; R. Gonzales Garcia, 1987; M. Jochim, 1983; J. Parkington, 1969; dan A. Stevens, 1975.
[3] Ahli yang menggunakan istilah rock painting antara lain H.R. van Heekeren, 1952;  V.S Wakankar, 1984, 1985; P. Tacon, 1989; dan J. Roder, 1959.
Dr. R. Cecep Eka Permana adalah Tenaga Kependidikan Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Artikel bisa didownload dalam bentuk PDF di :http://www.4shared.com/office/kKjfnt7b/Kajian_Tentang_Gambar_Telapak_.html

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Karina. Lukisan Batu Karang di Indonesia: Suatu Evaluasi Hasil Penelitian. Laporan Penelitian DPP UI. Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. 1992.
Ballard, C. “Dudumahan: a rock art  site on Kay Kecil, Southeast Molluccas”, BIPPA 8:139-161. 1988.
Chazine, Jean-Michel. New Archaeological Perspective for Borneo and Especially Kalimantan Provinces, makalah pada The 15th IPPA Congress, Chiang Mai. 1994.
 ----------    “Decoding the Hands”, dalam National Geographic Vol.208 no. 2, August, hlm. 44-45. 2005.
Chazine, Jean-Michel & Noury, Arnaud. "Sexual Determination of Hand Stencil on the Main Panel of the Gua Masri II Cave (East-Kalimantan/Borneo-Indonesia”, International  Newsletter On Rock Art (INORA) 44:21-26. 2006.
Clegg, John. “Recording Prehistoric Art”, dalam Graham Connah (ed.) Australian Field Archaeology a Guide to Techniques. Canberra: Australian Institute of Aboriginal Studies. 1983.
Conkey, Margaret W. “The Structural Analysis of Paleolithic art”, dalam Lamberg-Karlovsky, C.C. (ed.). Archaeological Thought in America. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 135-154. 1989.
Cox, Barry. Prehistoric Life.  The MacMillan Colour Library. 1978.
Fagan, Brian M. ArchaeologyAn Brief Introduction. Boston-Toronto: Little, Brown and Company. 1978.
Forge, Anthony. “Handstencils: Rock Art or Not Art”, dalam Paul Bahn dan Andrée Rosenfeld (ed.), Rock Art and Prehistory. Oxford: Oxbow Book, Park and Place, hlm. 39-44. 1991.
Grand, M.P. Prehistoric Art: Palaeolithic Painting and Sculpture. New York Graphic Society, Greenwich-Connecticut. 1967.
Harrison, Tom.  “The Cave of Niah: A History of Prehistory”, The Sarawak Museum Journal, vol. VIII, no. 12 (New Series)/no. 27 (old Series): 549-595. 1958.
Heekeren, H.R. van. “Rock-Paintings and Other Prehistoric Discoveries Near Maros (South West Celebes)”, dalam Laporan Tahunan 1950 Dinas Purbakala Republik Indonesia: Archaeological Service of Indonesia. Djakarta, hlm. 22-35. 1958.
Heekeren, H.R. van. “The Stone Age of Indonesia, dalam Verhandelingen van Het Koninklijk voor Taal Land en Volkenkunde: 61, The Hague-Martinus Nijhoff. 1972.
Heider, K.G. The Dugum Dani: A Papuan Culture in the Highlands of West New Guinea. Chicago: Adline Publishing Company. 1970.
Howell, F. Clark et.al. Manusia Purba.  (Pustaka Alam Life). Jakarta: Tira Pustaka. 1982.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka. 1990.
Kosasih, E.A. “Sumbangan data seni lukis bagi perkembangan arkeologi di kawasan Asia Tenggara (Suatu studi analisis persebaran)”, PIA V. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, hlm. 29-53. 1989.
   ----------        Lukisan gua di Sulawesi Bagian Selatan: Refleksi Kehidupan Masyarakat Pendukungnya. Tesis program studi arkeologi program pascasarjana Universitas Indonesia. 1995.
   -----------        “Notes on Rock Paintings in Indonesia”, dalam Aspek-Aspek Arkeologi Indonesia. No.23. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1999,
Lewis-William, David. The Mind in the Cave: Consciousness and the Origins of Art.  London: Thames & Hudson Ltd. 2002.
Manning, J.T., Schutt, D., Wilson, J., & Lewis-Jones, D.I.  “The ratio of 2nd and 4th digit length: a predictor of sperm number and   concentrations of testosterone, luteinizing hormone and oestrogen” dalam Human Reproduction, 13: 3000-3004. 1998.
Maynard, L.  “Classification and terminology in Australian rock art”, dalam P.J. Ucko (ed.) Form in Indigeneous Art: Schematisation in the art of Aboriginal Australia and Prehistoric Europe. Canberra: Australian Institute of Aboriginal Studies. 1977.
Mc Carthy, Frederick D. Australian Aboriginal Rock Art. Sydney: The Australian Museum. 1979.
Nelson, Emma C., Manning, John T., Sinclair, Anthony GM. “Using the length of the 2nd to 4th digit ratio (2D:4D) to sex cave art hand stencils:  factors to consider” dalam Before Farming 1 article 6: 1-7. 2006.
Newmayer, Erwin. Prehistoric Indian Rock Paintings. Oxford, New Delhi: Oxford University Press. 1983.
Oakley, Kenneth P. Man the Tool-maker.  Chicago: The University of Chicago Press. 1972.
Pelras, Christian. Manusia Bugis. Jakarta: Forum Jakarta-Paris dan EFEO. 2006.
Peralta, Jesus T. et al. Petroglyphs and Petrographs of the Philippines.  Spafa Personnel Exchange Programme on Rock Arts.  The Philippines Spafa Subcentre, hlm. 1-13. 1985.
Permana, R. Cecep Eka, Pola Gambar telapak tangan Pada Gua-Gua Prasejarah di Wilayah Pangkep-Maros Sulawesi Selatan. Disertasi Universitas Indonesia. 2008.
Renfrew, Colin  dan Bahn, Paul.  Archaeology: Theories, Methods, and Praktis. London. Thames and Hudson Ltd. 1991.
Röder, Josef.  “Felsbider auf Ceram”, dalam Paideuma 1:19-28. 1938a.
    ---------     “Felsbildforschuung auf west Neuguinea”,   dalam Paideuma 1:75-88. 1938b.
   ---------        “The Rock-paintings of the Mao Cluer Bay, Western New Guinea”, dalam The Antiquity and Survival, I (5), hlm. 387–400. 1956.
Rosenfeld, Andrée. Rock Art in Wester Oceania”, dalam IPPA Bulletin 8:119-138. 1988.
Snow, Dean R.  “Sexual dimorphism in Upper Palaeolithic hand stencils” dalam Antiquity, June, 308: 390-404. 2006.
Soejono, R.P. “Penelitian Bersama Kepurbakalaan Indonesia-Australia di Sulawesi Selatan”, dalam Indonesia Magazine, 5: 83-94. 1970
  ----------        “Prehistoric Indonesia”, dalam Prehistoric Indonesia: A Reader. Foris Publication, hlm. 55–59. 1984.
Taçon, Paul S.C. dan Christopher Chippindale. “Introduction: An Archaeology of Rock-art Through Informed methods and formal methods” dalam  Christopher Chippindale dan Paul S.C. Taçon (ed.), The Archaeology of Rock Art. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 1–10. 1998.
Whitley, David S. Introduction to Rock art Research. Walnut Creek, California: Left Coast Press, Inc. 2005.
Wilcox, A.R. The Rock Art of Africa. London & Canberra: Croom Helm. 1984.

Sumber:
http://www.mariarkeologi.org/index.php/artikel/165-kajian-tentang-gambar-telapak-tangan-prasejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar