Sabtu, 29 Agustus 2015

ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula





SEGERA TERBIT!

Buku berjudul: "ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula"  ini akan segera terbit dalam dua - tiga minggu mendatang. Buku tersebut memaparkan dengan lebih jelas lagi mengenal asal-usul dan jatidiri dari yang disebut Orang Toba. Kemudian, dalam mitos Sianjur Mulamula diungkapkan hubungan penghuni awal Sianjur Mulamula dengan etnik Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing, serta berbagai etnik lainnya di Sumatera bagian Utara. Buku yang akan terbit ini disusun sedemikian singkat dengan ukuran tidak begitu lebar, sehingga memudahkan berbagai kalangan luas untuk membacanya tanpa penguraian yang bertele-tele, tetapi jelas dan singkat. Pemesanan dapat dilakukan melalui blog ini atau melalui PIN 20F729E7. Horas ... :)




_________________________________________________________________________________

Cover Depan:

ORANG  TOBA

Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula





Oleh:
Edward Simanungkalit




SIDIKALANG 2015


_____________________________________________________


Cover Belakang:









_________________________________________________________________________________








Minggu, 23 Agustus 2015

Tek Tok Gunung Andong



Kepada siapa, aku harus meminta maaf. Sepatu ini terpaksa harus turun kembali dari tempat 'gantung' nya untuk kembali menapaki jalanan berdebu, jalan yang panjang, sendirian. Aku merasa ini adalah lebih baik, daripada harus ada orang lain yang ikut merasakan perasaan yang tak ingin aku rasakan. [Sebuah prolog perjalanan]

Gunung Andong. Sebuah gunung kecil, kami menyebutnya 'bukit belakang sekolah' seperti yang ada dalam Doraemon. Tempat indah yang mudah dijangkau siapa saja. Tempat yang menawarkan sebuah pilihan ketika seseorang harus menyendiri.

Kali pertama aku datang menaiki gunung ini, rame-rame. Merasakan serunya kebersamaan. Merasakan serunya berkemah, menikmati secangkir kopi panas dan mie instan di pagi hari yang dingin. Merasakan salat subuh yang syahdu di tepi jurang. Sesaat selepas matahari terbit berfoto ria, menjelang siang kabut mulai naik, dan kami pulang.

Kali ini aku sendiri. Perjalanan yang dulu harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 2 jam kali ini tepat 60 menit saja untuk naik dan 40 menit untuk turun. Tepat 100 menit perjalanan untuk merasakan TEK TOK di Gunung Andong ini. Kalau mereka yang fisiknya kuat harusnya lebih singkat lagi, durasi ini adalah durasi waktu yang sama yang digunakan ibu-ibu penjaga warung di atas puncak Andong.

Apa yang akan di dapatkan dari sebuah pendakian Andong di siang hari sendirian? Simak ulasan berikut.
Kenapa rata-rata orang naik gunung lebih memilih waktu sore atau malam hari? Karena menghindari terpapar terik matahari dalam waktu yang lama. Terpapar sengatan matahari dalam waktu lama akan menjadikan fisik sangat lelah, kepala pening, mata berkunang-kunang, dan rawan dehidrasi. Tapi kali ini aku memilih naik siang hari, bukan karena sok jagoan namun keinginan naik Andong ini muncul pagi hari. Maka hari itu juga aku berangkat ke sana, sendirian.





Bekal yang aku persiapkan hanya ringkas, P3K, roti, air minum, susu kotak dan jeruk. Itu saja. Peralatan standar, sepatu treking, kemeja lapangan, celana lapangan, senter, tali, pisau, jaket dan jas hujan. Ah iya, slayer serta kaca mata hitam. Terpapar sengatan matahari dan silau yang berlebih bisa merusak mata, untuk itu aku membawa kaca mata hitam. Otak akan terstimulus dengan rangsangan fisik, ketika mata melihat apa yang ada di sekeliling sangat panas dan menyengat maka otak akan meng-amini apa yang dilihat mata lalu memberikan respon negatif ke seluruh tubuh bahwa perjalanan ini sangat melelahkan, maka tubuh akan cepat lelah. Ketika yang dilihat mata adalah pemandangan yang lebih sejuk (efek kaca mata hitam) maka otak akan terstimulus memberikan respon yang lebih baik, sekalipun yang dirasakan kulit berbeda dengan yang dilihat mata. Karena itu lah, kaca mata hitam itu penting, bukan sebatas untuk 'biar keren' tapi menjaga fisik ketika harus bekerja ekstra di terik matahari.

Naik gunung di siang hari bukan pilihan yang menyenangkan, apa lagi sendirian, saya jamin. Ketika 90% pendaki turun gunung dan rata-rata mereka berlari, tentu saja mengepulkan debu yang tak terkira. Dan kamu, naik perlahan menutup kepala serta muka menahan debu mereka. Ini sungguh tidak indah, Kawan. Namun kalau ingin merasakan sesuatu yang berbeda maka cara ini layak dicoba. Di tempat yang terik dan terbuka, kamu akan melihat dengan mata kepala secara langsung tubuhmu menguap dengan dramatis. Ketika kamu meihat bayang-bayang tubuhmu maka di sana akan terlihat penguapan dalam bentuk seperti asap tipis. Itu mungkin saja fatamorgana, namun yang terjadi juga tidak berbeda, di panas terik tubuh akan kehilangan banyak sekali cairan.

30 menit berjalan saya mulai pusing.
Waktu itu, padahal kepala sudah tertutup dan sudah memakai kaca mata hitam. Mau berteduh sudah tak banyak tempat karena pepohonan yang tinggi sudah jarang. Maka kalau sudah seperti ini menepi di rerimbunan semak adalah lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bekal aku makan dan minum sepertiganya lalu istirahat sejenak meluruskan kaki. Waktu itu start naik bersama seorang ibu penjaga warung bersama anaknya yang masih berusia kisaran SD. Ibu tersebut jauh ada di belakang, namun kali ini sudah kelihatan lagi, artinya saya harus jalan lagi jangan sampai didahului oleh mereka.

Aku berharap nanti di atas masih ada sedikit tempat yang bisa digunakan untuk berteduh, walaupun dalam hati aku sendiri tak yakin karena seingatku di puncak tak ada tempat berteduh. Namun saat semangat mulai menurun kadang harapan kosong itu teramat indah, upss. Aku berharap sejenak bisa tiduran di bawah pohon besar yang rimbun di atas puncak sana (padahal aku tahu tidak ada).

Puncak yang sepi ketika tengah hari.
Dulu, ketika pertama naik Andong rame-rame, puncak penuh tenda. Kalu mau berjalan harus berjingkat di antara tali tenda yang terpancang kesana kemari. Tapi kali ini? Sepi. Aku hanya menemukan 2 tenda yang masih berdiri, itu pun yang satu sudah mulai berkemas hendak turun. Beberapa orang masih selfie, selebihnya dengan wajah-wajah kepanasan mereka menggendong carrier seukuran almari turun gunung. Raut wajah mereka mengatakan, "cepet sampai di bawah nanti mau makan bakso dan minum es buah." Sedangkan aku? kali ini mirip orang bodoh yang datang sendirian di tempat yang panas dan sudah tidak indah lagi seperti pagi tadi. 



Di sini tak indah lagi. Puncak hanya ada plat bertuliskan "Andong Peak 1726 AMSL" dengan Sang Merah Putih tegak berkibar di atasnya. Sepi. Tak ada lagi keceriaan pagi. Tak ada lagi mereka yang cerewet di sana-sini. Ketika awan sedikit menutupi puncak dari sengatan matahari, aku duduk menghadap hamparan tanah kosong. Melihat beberapa pemilik warung menyapu dan membersihkan sampah di sekitar warung mereka. Mereka hanya pemilik warung. Mereka, mungkin tak pernah menonton traveling di televisi. Mereka tidak menggunakan kaos bertema petualang atau yang sejenisnya. Namun mereka lah yang menjaga kebersihan dari sampah yang dibawa para pendaki yang hanya ikut-ikutan tren. Mereka memungut semua sampah, bukan hanya sampah makanan dari warung mereka saja - karena itu memang sudah seharusnya. Namun ternyata mereka punya kepedulian yang lebih daripada yang sekadar naik gunung demi ajang pamer di sosial media tanpa mau merawat dan menjaga alam yang mereka datangi.

Siang makin panas dan berdebu di puncak. Sesekali muncul pusaran angin yang menerbangkan debu dalam ukuran yang cukup besar. Angin yang terus berputar menerbangkan debu dan sampah kemudian hilang di tepi jurang. Seperti itu kah kehidupan? aku bertanya dalam hati. Seheboh apa pun yang kita lakukan, yang kita alami, sebesar apa dan sekuat apa pun yang kita miliki di dunia ini, kelak pada akhirnya semua akan hilang. Benar-benar hilang tak bersisa. Sama seperti angin itu membawa debu pekat, membawa sampah beraneka rupa, pada akhirnya hilang dan semuanya akan ditinggalkan. Dunia dan segala isinya juga akan kita tinggalkan. Hanya amalan yang akan kita bawa. Hanya 'sesuatu' yang tak tampak di dunia ini sebenarnya bekal untuk kehidupan kekal kita di akhirat.



Aku lalu bertanya, kenapa aku harus ke sini? Seorang diri. Kenapa aku harus 'konyol' naik di siang hari yang terik? Aku tak bisa menjawabnya. Aku hanya sedang ingin sendiri, itu saja. Bukan aku lelah berdoa dan meminta. Bukan aku lari dari masalah (kalau pun lari, nanti aku harus menghadapi lagi bukan?). Aku hanya ingin sendiri. Aku percaya akan ada takdir indah suatu saat nanti. Bukan kah sesudah kesulitan pasti ada kemudahan? Bukan kah Allah tidak akan memberikan beban melebihi apa yang sanggup dipikul oleh hambaNya? Bukan kah seperti itu?

Sang Merah Putih masih tetap berkibar. Aku berdiri membenahi ranselku yang sudah usang ini lalu berjalan untuk turun gunung. Aku terus berjalan, sesekali berlari dan kemudian aku terus berlari hingga tiba di bawah. Empat puluh menit tepat tiba di basecamp. Selamat tinggal Andong. Semoga tak bosan menemaniku ketika aku sendirian lagi ke sini.[]

Kamis, 20 Agustus 2015

SUNGGUH, ORANG TOBA BUKAN ISRAEL YANG HILANG

SUNGGUH, ORANG TOBA BUKAN ISRAEL YANG HILANG
Oleh: Edward Simanungkalit


          Pada tahun 2007 untuk pertama kalinya saya mendengar isu tentang Orang Toba adalah Israel yang hilang. Setelah membaca pemaparan yang disampaikan di dalam tulisan tersebut, penulis merasa tidak ada sesuatu yang mendasar di sana. Itu makanya ketika penulis menjadi host dari group FKB (Forum Komunikasi Batak) di Facebook pada tahun 2010-2011 tidak pernah menyuguhkan isu Israel yang hilang tersebut. Ketika seorang teman penulis serumah pada tahun 1978-1980 dipinjamkan oleh pihak Universitas Leiden untuk meneliti sastra Toba di bawah bimbingan Prof. Dr. Robson, maka buku-buku tersebut dibawanya ke rumah dan penulis berkesempatan membacanya. Salah satu buku tersebut ada yang memaparkan tentang beberapa tradisi Israel yang diadopsi oleh Orang Toba. Hal tersebut dimungkinkan oleh masuknya agama Kristen di Barus sejak dahulu kala karena agama Kristen sudah ada di Barus sejak abad ke-7 Masehi. Kemudian hari penulis juga memperoleh kesempatan mengikuti kuliah di bidang teologi beberapa tahun, sehingga pemaparan isu soal Orang Toba adalah Israel yang hilang hanyalah sesuatu yang berlalu begitu saja tanpa bekas. Ada yang harus dipahami mengenai Bangsa Israel yaitu sejarah, budaya, tradisi, dan kepercayaan Israel terkait perjanjian Allah dengan bangsa Israel ketika Allah membuat perjanjian dengan Abraham, Ishak, dan Yakub.
          Belakangan ini, entah kenapa, isu tersebut muncul lagi ketika penulis menulis tentang Orang Toba dalam kaitannya dengan DNA/genetika. Berdasarkan DNA Orang Toba, maka penghuni awal Sianjur Mula-mula merupakan penutur Austronesia yang berasal dari suku Amis dan suku Atayal dari suku asli Taiwan, yang merupakan keturunan suku H’Tin dari Thailand (Austroasiatik). Isu tersebut gencar beredar di media sosial. Isu tersebut dapat beredar gencar, karena disebarkan kesana - kemari dengan melupakan bahwa Orang Jahudi itu sangat cerdas. Rupanya lupa kalau orang Jahudi itu sangat cerdas, maka isu isapan jempol tersebut ditelan begitu saja. Kalau orang Jahudi itu dipandang cerdas, bahkan sangat cerdas, maka isu tersebut hanya hilang begitu saja tak berbekas. Jika menganggap Jahudi itu sangat cerdas, maka tentulah orang Jahudi tidak akan membiarkan info dan data seperti yang dipaparkan di dalam tulisan tersebut. Kemudian, jangan dikira hanya Orang Toba yang mengaku-ngaku Israel yang hilang, tetapi di Indonesia ini orang Maluku dan orang Alor juga mengklaim seperti itu. Komunitas-komunitas Jahudi juga ada berusaha mencari Israel yang hilang dengan membuka banyak website, sehingga informasi tentulah banyak mereka peroleh.
          HUGO (Human Genome Organization) merupakan organisasi dunia yang memiliki bank data DNA manusia di dunia ini. Negara-negara di dunia memiliki lembaga biologi molekuler yang meneliti dan mengumpulkan DNA dari suku-suku di negaranya yang kemudian bergabung di dalam HUGO tadi. Di Indonesia, lembaga yang bertugas untuk meneliti DNA Orang Indonesia adalah Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang dipimpin oleh Prof. Dr. Sangkot Marzuki. HUGO memiliki bank data DNA manusia dari negara-negara anggotanya dan kemudian memetakan DNA tersebut, sehingga terbentuklah DNA Family Tree yang disusun mirip tarombo (silsilah). DNA Orang Toba sudah ada masuk di bank bank data DNA tersebut, karena DNA Orang Toba sudah diteliti di samping DNA Orang Karo. Sedang DNA Orang Mandailing, Orang Pakpak, dan Orang Simalungun belum masuk di bank data DNA tersebut, karena DNA ketiganya belum diteliti oleh Lembaga Eijkman tadi. Hanya DNA dari kelompok suku yang belum masuk ke bank data tersebut yang masih harus dicari data DNA-nya, terutama suku-suku terasing atau kelompok kecil yang masih belum sempat diteliti. Masing-masing rumpun disebut Haplogroup dan Orang Toba masuk ke dalam Haplogroup O, yang mana Orang Toba merupakan penutur bahasa Austronesia.
          Untuk melihat Family Tree dari DNA di dunia hingga sampai pada Haplogroup O, yang merupakan DNA Orang Toba sebagai berikut:

Y-Chromosome berawal dari seorang laki-laki yang disebut Y-Chromosome Adam. Haplogroup O, sebagai DNA Orang Toba, menempati urutan yang sudah demikian panjang dari Y-Chromosome Adam. Dengan demikian, Orang Toba jelas data DNAnya di bank data HUGO, sehingga semua pihak dapat melihat dan menelitinya lebih dalam lagi. Oleh karena itu, apabila Orang Jahudi merasa ada kedekatan dengan Orang Toba, maka pastilah mereka akan menelitinya lebih dalam lagi tanpa jauh-jauh datang lagi, karena datanya sudah tersedia. Kita tahu bahwa Orang Jahudi sangat cerdas dan mereka memang sedang mencari 10 suku Israel yang hilang itu.
          DNA Orang Jahudi jelas juga bagi dunia ini dan banyak dipublisir, sehingga setiap orang dapat melihat dan dapat membandingkannya dengan DNA-nya sendiri. Adapun DNA Orang Jahudi dapat dilihat salah satunya di “Genetics studies of Jewish origins”, dalam Wikipedia. Kemudian ada lagi “Jews with Haplogroup G”, dalam Wikipedia. Grafik DNA Orang Jahudi dapat dilihat dalam “Jewish DNA Project – Y-DNA Classic Chart” (www.familytreedna.com). Setelah melihatnya, maka jelas terlihat bahwa DNA Orang Jahudi tidak ada memiliki Haplogroup O, maka sekilas lintas saja telah diketahui bahwa DNA Orang Toba dengan Haplogroup O tidak ada hubungannya dengan DNA Jahudi tersebut. Untuk itu penulis sarankan juga membaca tulisan Ellen Levy-Coffman berikut berjudul: “A MOSAIC OF PEOPLE:  THE JEWISH STORY AND A REASSESSMENT OF THE DNA EVIDENCE” (http://www.jogg.info/11/coffman.htm). Masih ada lagi hasil riset terhadap Israel dalam diaspora yang dilakukan oleh Theodore G. Schurr, Ph.D., University of Pennsylvania Department of Anthropology, berjudul: ”What DNA Research Tells Us About The Jewish Diaspora” (http://www.jgsgp.org/Documents/Dr%20Schurr-DNA-%2012-04-2011.pdf). Ini merupakan dua contoh saja hasil penelitian DNA Israel meskipun masih banyak yang lainnya, tetapi sudah membuktikan tidak ada kesamaan dengan DNA Orang Toba, sehingga tidak ada hubungan Orang Israel dengan Orang Toba.


             Orang Israel bukan tidak tahu keberadaan Orang Toba. Mereka tahu baik melalui bank data DNA maupun melalui sumber informasi lainnya apalagi dunia tahu bagaimana hebatnya mereka mencari data dan informasi. Kemudian ada Orang Toba sudah memberitahukan data sukunya di website mereka seperti:http://www.israelnationalnews.com/News/News.aspx/185259#.Vc9s4bKqqko. Bahkan ada Orang Toba yang mengaku dirinya Israel yang hilang di website Israel begini: “We Tribe "BATAK TOBA" in Indonesia was longing to return to our ancestral lands of Judea, we believe that if the tribe "BATAK TOBA" in Indonesia, is one of the 10 lost tribes of Israel. Tribe "BATAK TOBA" Having the same cultural tribe "Bani Manasseh" in the northeast of India, which is already recognized Israel as one of the 10 lost tribes, and go back to Israel, Batak have a culture that is rooted in Israel. "SHALOOM ISRAEL" di http://www.israelnationalnews.com/News/News.aspx/185259#.Vc9wbLKqqko. Selanjutnya dapat ditemukan lagi pembicaraan lainnya tentang disebut-sebutnya Israel yang hilang di:http://claudemariottini.com/2005/09/19/found-a-lost-tribe-of-israel/. Jadi, jangan dikatakan Israel tidak tahu akan keberadaan Orang Toba di Sumatera Utara, Indonesia ini. Mereka tentunya melakukan test DNA dulu untuk memastikan apakah benar Orang Toba itu keturunan suku Israel yang hilang. 
 
        Akhirnya, adanya kesamaan-kesamaan budaya seperti yang dikemukakan dalam tulisan tentang Orang Toba adalah bangsa Israel yang hilang bukan berarti memiliki hubungan genealogis, tetapi oleh karena persinggungan kebudayaan. Orang Jahudi selalu mencari bangsa Israel yang hilang itu dan mereka ada menemukannya di beberapa tempat seperti: di China, Afrika, Siberia, dan Mizoram setelah dilakukan test DNA untuk memastikannya. Mereka ini bukan suku yang mudah dikenali, karena mereka berada bersama suku-suku lainnya di tempat-tempat tersebut sementara Orang Toba jelas dan besar populasinya, sehingga mudah diketahui informasinya. Apalagi DNA Orang Toba sudah ada di bank data DNA yang dikumpulkan oleh HUGO, sehingga kalau memang Orang Toba adalah Israel yang hilang, maka Orang Jahudi sudah cepat menghubungi Orang Toba dan memanggilnya kembali ke Tanah Israel. Mereka aktif sekali mencari suku bangsa Israel yang hilang itu, tetapi tidak ada pernyataan mereka sampai sekarang kepada Orang Toba. Akan tetapi, oleh karena  tidak ada kedekatan anatara DNA Israel dengan DNA Orang Toba, sehingga tidak ada hubungan Orang Israel dengan Orang Toba. Mungkin masih ada Orang Toba yang merasa penasaran soal DNA ini, maka boleh mencoba test DNA ke sebuah lembaga terpercaya di Amerika Serikat yaitu www.23andme.com dengan membayar tarif sebesar $ 99 per-orang, sehingga test DNA ini akan mengungkap leluhur anda siapa dan darimana hingga jelas. Sungguh, Orang Toba bukanlah keturunan Israel yang hilang. ***




Selasa, 18 Agustus 2015

ORANG MANDAILING: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?

ORANG MANDAILING
Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?
Oleh: Edward Simanungkalit

Orang Mandailing Berdasarkan Migrasi Leluhur
          Orang Mandailing (harus dibedakan dari Orang Angkola) berada di wilayah Sumatera bagian Utara dan untuk dapat mengenal Orang Mandailing lebih jauh, maka perlu mengetahui asal migrasi leluhurnya. Arkeolog senior, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama ini di Indonesia. Peneliti dan Direktur Center for Prehistoric Austronesian Studies ini memaparkan bahwa pada masa Pleistosen yang terentang mulai dari 2 juta tahun lalu hingga 11.500 tahun lalu, bumi begitu dinamis. Banyak pergerakan lempeng bumi, aktifnya gunung api, dan peng-es-an (glasiasi), sehingga diduga pada masa itulah banyak manusia dan hewan bermigrasi. Di Indonesia, pertanggalan tertua berasal dari situs Song terus, Pacitan, sekitar 45.000 tahun lalu. Lalu, berlanjut dengan berakhirnya zaman es awal Holosen yang menyebabkan kenaikan air laut, sehingga memicu diaspora pada 10.000 – 5.000 SM, kedatangan penutur Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu hingga zaman fajar sejarah alias protosejarah beberapa abad menjelang Masehi (Majalah Arkeologi Indonesia, 16/03-2014).
Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak memaparkan, bahwa berdasarkan data arkeologi, etnologi, dan paleontologi, terdeteksi adanya arus migrasi, selain penutur Austronesia dan Papua, yang masuk dari sisi barat melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Mereka adalah penutur Austroasiatik. Penutur Austroasiatik ini tiba di Indonesia pada 4.300-4.100 tahun lalu yang kemudian baru disusul penutur Austronesia pada kisaran 4.000 tahun lalu. Austroasiatik dan Austronesia sebenarnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah. Bahasa Austrik awalnya dimanfaatkan masyarakat Yunan, Cina Selatan. Bahasa ini kemudian pecah menjadi dua, yaitu Austroasiatik dan Austronesia, yang kemudian menjadi penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa. Pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar-tembikar berhias tali yang bentuknya sama dengan tembikar di selatan Tiongkok hingga Taiwan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014).
           Kembali Prof. Harry Truman Simanjuntak menegaskan, bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya dua arus migrasi besar ke Indonesia yang menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, penutur Austroasiatik yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan, kedua, penutur Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu. Arus migrasi terjadi setelah pertanian di sekitar Cina Selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat hingga terjadi ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil  mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Orang Negrito (dari ras Australomelanesoid seperti Papua), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.
            Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini berasal dari ras Mongoloid yang berasal dari Cina Selatan, sedang Orang Negrito berasal dari ras Australomelanesoid (campuran ras Australoid dan ras Melanesoid). Orang Negrito ini datang lebih awal ke Sumatera setelah Sundaland tenggelam yang datang dari Hoabinh, Teluk Tonkin, Vietnam. Di pesisir Sumatera bagian Utara, migrasi Orang Negrito ditandai dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe. Penelitian arkeologi yang dilakukan oleh H.M.E. Schurmann di dekat Binjai (1927), Van Stein Callenfels di dekat Medan, Deli Serdang, Kupper di Langsa, Aceh Timur (1930), MacKinnon di DAS Wampu, Prof. Truman Simanjuntak dan Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan (Balarmed) di Aceh Tamiang (2011) menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah datang pada masa Mesolitik, 10.000-6.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:19-21). Belakangan ditambah dengan hasil penelitian Balarmed di Bener Meriah di Aceh (2012)  (Wiradnyana, 2011:127). Temuan fosil tertua dari Loyang Mandale, Aceh Tengah berusia 8.430 tahun (Lintas Gayo, 11/07-2014).
           Sumatera bagian Utara terbukti sudah didatangi para pendukung budaya Hoabinh, yaitu Orang Negrito pada masa Mesolitik (10.000-6.000 tahun lalu). Mengingat bukit kerang ditemukan juga di Deli Serdang dan Langkat yang telah dilakukan penelitian arkeologi, maka sangat mungkin Orang Negrito datang juga ke Tanah Mandailing. Apalagi di Humbang, Negeri Toba telah ditemukan keberadaan Orang Negrito dan DNA Minangkabau juga ditemukan ada unsur Negrito ini di samping Austroasiatik dan Austronesia. Bahkan suku Lubu yang bertetangga dengan Orang Mandailing di perbatasan Sumatera Utara dan Sumatera Barat diperkirakan mereka ini merupakan turunan langsung orang Negrito seperti orang Basemah di Sumatera Selatan. Kemudian, seperti dikemukakan Prof. Harry Truman Simanjuntak sebelumnya, bahwa penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang juga ke Sumatera bagian Utara, sehingga bahasa Mandailing  dimenangkan oleh penutur Austronesia. Oleh karena itu, bahasa Mandailing termasuk rumpun bahasa Austronesia  (Adelaar, 1981:55), seperti bahasa Simalungun, Toba, Karo, dan Pakpak juga termasuk rumpun bahasa Austronesia.
Selain itu, ada juga jejak Tamil dari India Selatan di dalam masyarakat Mandailing. Candi Simangambat merupakan temuan arkeologis di Simangambat yang berasal dari abad ke-9.  Situs-situs lain terdapat di Desa Pidoli Lombang (Saba Biaro), Desa Huta Siantar (Padang Mardia), Desa Sibanggor Julu  dan lain-lain. Keberadaan candi ini membuktikan sudah ada masyarakat dengan populasi besar dan teratur di sana. Sedang Candi Portibi di Padang Lawas berasal dari abad ke-11. Pada tahun 1025, Rajendra Chola dari  India Selatan memindahkan pusat pemerintahannya di Mandailing ke daerah Hang Chola (Angkola). Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli. Sebagai tambahan bahwa Mandailing sudah disebutkan Gajah Mada dalam Sumpah Palapanya dalam Kitab Negarakertagama sekitar tahun 1365.
Jadi, dari migrasi yang datang ke Tanah Mandailing terlihat yaitu: Orang Negrito, penutur Austroasiatik, penutur Austronesia, dan Orang Tamil dari India Selatan. Berdasarkan migrasi leluhur tadi, maka Orang Mandailing diperkirakan  terutama merupakan campuran dari 4 (empat) penutur bahasa, yaitu:
1.    Orang Negrito (Masa Mesolitik: 10.000 - 6.000 tahun lalu).
2.    Penutur Austroasiatik (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
3.    Penutur Austronesia (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
4. Orang Tamil dari India Selatan (Masa periode tahun masehi).
Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula
Pada Juli 2013, Balai Arkeologi Medan melakukan penelitian "Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir" dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survei arkeologi. Tinggalan megalitik yang mereka temukan di Samosir, yaitu: sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, kubur pahat batu, tambak batu, batu dakon, menhir, patung-patung batu seperti patung pangulu balang, lesung batu, palungan batu, bottean, sakkal, gajah dari batu paha, parik (pagar batu), dan punden berundak. Tempayan batu seperti disebutkan tadi ada ditemukan di Sumatera Selatan yang berasal dari millenium kedua masehi. Rumah adat memiliki pola arsitektur rumah panggung  melengkung yang merupakan ciri budaya Dong Son. Pola hias di rumah adat dalam bentuk berbagai macam binatang dan sulur-suluran yang dibuat dengan hiasan rumbai-rumbai seperti bulu-bulu yang panjang baik itu pada pahatan flora ataupun pahatan fauna mengingatkan akan hiasan model yang serupa pada benda-benda perunggu yang berasal dari Dong Son. Gambar cecak sebagai lambang kejujuran dan atau kebenaran bagi para pemimpin yang memimpin. Pada tradisi paleometalik Dong Son sangat umum dikenal motif-motif antara lain sulur-suluran, spiral atau pilin berganda, geometris berupa segi empat, bulatan, tumpal maupun belah ketupat dan motif-motif itu masih selalu hadir pada berbagai aspek tinggalan budaya Toba (Wiradnyana & Setiawan, Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir, 2013).
          Berdasarkan penelitian arkeologi di atas, disimpulkan bahwa pendukung budaya Dong Son yang merupakan penutur bahasa Austronesia telah datang dari Cina Selatan setelah melalui Taiwan terus berakhir di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu (Wiradnyana, 2015). Hal ini sesuai dengan Teori Out of Taiwan yang sangat terkenal itu. Mark Lipson (Juni 2014) ---  dengan menggunakan data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome Diversity Panel (HGDP), yang data awalnya dipasok oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman --- melakukan analisa statistikal atas DNA penutur Austronesia. Analisa atas DNA penutur Austronesia itu termasuk DNA Orang Toba (Mark Lipson,  New statistical genetic methods for elucidating the history and evolution of human populations2014:85-90) dapat disimpulkan bahwa Orang Taiwan yang datang ke Sianjur Mula-mula berasal dari suku Amis dan suku Atayal, yang kedua-duanya merupakan suku asli Taiwan. Khusus suku Amis dan suku Atayal merupakan keturunan dari suku H’Tin dari Thailand (Austroasiatik) yang sudah bercampur dengan penutur Austronesia, sehingga kedua suku ini memiliki DNA: Austronesia + Austroasiatik. Diperkirakan percampuran itu terjadi di Cina Selatan dan oleh karena ledakan penduduk, mereka pun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Amis dan suku Atayal tadi. Jadi, DNA penghuni awal Sianjur Mula-mula terdiri dari Austronesia dan Austroasitik.
Antara Fakta atau Mitos
              Menurut penuturan W.M. Hutagalung, dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: TAROMBO DOHOT TURITURIAN NI BANGSO BATAK” (1926), bahwa Si Raja Batak adalah keturunan dari Raja Ihat Manisia sebagai hasil perkawinan dari Si Borudeak Parujar dengan Raja Odapodap. Mereka berdua adalah penghuni langit ketujuh yang turun ke bumi dan mendiami Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Puhit. Mereka berdua turun-naik melalui puncak Pusuk Buhit ke Sianjur Mula-mula dan Sianjur Mula-mula dipandang sebagai kampung awal persebaran manusia. Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia. Dalam tarombo dan turiturian itu diceritakan bahwa keturunan Si Raja Batak ada sebagian ke tanah Pakpak membentuk Batak Pakpak, ke tanah Karo membentuk Batak Karo, ke tanah Simalungun membentuk Batak Simalungun, dan ke tanah Mandailing membentuk Batak Mandailing. Begitulah ringkasan penuturan W.M. Hutagalung dalam bukunya yang laris manis itu.

           Apabila melihat kepada Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula, maka jelas bahwa Si Raja Batak adalah Orang Taiwan yang memiliki DNA Austronesia dan Austroasiatik. Sementara Orang Mandailing merupakan keturunan dari campuran Orang Negrito yang datang pada masa Mesolitik, penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia yang datang pada masa Neolitik, serta Orang Tamil. Maka, jelas berbeda kedatangannya yang jauh lebih dulu  kedatangan dari Orang Negrito, penutur Austroasiatik, dan penutur Austronesia dibanding Si Raja Batak yang diperkirakan datang sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu. Kemudian dari campuran tadi jelas bahwa Orang Mandailing berbeda secara genetik dengan Si Raja Batak yang Orang Taiwan tadi. Sehingga, pernyataan bahwa Orang Mandailing adalah keturunan Si Raja Batak bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
           Sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di Negeri Toba, dalam bukunya: “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia” (2000:339), Peter Belwood menulis bahwa  Orang Negrito sudah datang ke Humbang di Negeri Toba pada sekitar 6.500 tahun lalu. Peter Belwood merujuk pada hasil penelitian paleontologi yang dilakukan Bernard K. Maloney di Pea Simsim, Pea Sijajap, Pea Bullock, dan Tao Sipinggan daerah Humbang. Penelitian Maloney ini dan penelitian Balai Arkeologi Medan di Samosir yang sudah disebutkan tadi dikonfirmasi oleh hasil analisa DNA Orang Toba oleh Mark Lipson (2014:87) dengan menyimpulkan bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Maka, jelas bahwa Orang Toba bukan hanya Orang Taiwan (Austronesia+Austroasitik), tetapi campuran Orang Taiwan dan Orang Negrito. Orang Negrito sudah ada mendiami  Humbang sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit, Negeri Toba, sehingga pernyataan bahwa Sianjur Mula-mula merupakan awal persebaran manusia bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
Kesimpulan
           Orang Mandailing bukanlah Orang Taiwan seperti Si Raja Batak yang Orang Taiwan, melainkan campuran Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Orang Mandailing bukanlah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Orang Mandailing lebih dulu sampai di Tanah Mandailing yang sudah datang pada masa prasejarah daripada Si Raja Batak yang sampai di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sehingga migrasi Orang Toba ke Tanah Mandailing  tidak menjadikan Orang Mandailing menjadi keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Jelas bahwa tidak ada hubungan genealogis Si Raja Batak dengan Orang Mandailing, sementara bahasa Toba dan bahasa Mandailing termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Akhirnya, pernyataan bahwa Orang Mandailing adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos!  ***

Catatan Kaki:
*** ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; SI RAJA BATAK ATAU SI RAJA TOBA?; ORANG SIMALUNGUN KETURUNAN SI RAJA BATAK DARI SIANJUR MULAMULA – PUSUK BUHIT; FAKTA ATAU MITOS? ORANG KARO: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos? ORANG PAKPAK: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos? ORANG SIMALUNGUN: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos? oleh: Edward Simanungkalit dalam Blog SOPO PANISIOAN di http://sopopanisioan.blogspot.com









(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban



ORANG SIMALUNGUN: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?

ORANG SIMALUNGUN
Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?
Oleh: Edward Simanungkalit *

Orang Simalungun Berdasarkan Migrasi Leluhur
          Orang Simalungun berada di wilayah Sumatera bagian Utara dan untuk dapat mengenal Orang Simalungun lebih jauh, maka perlu mengetahui asal migrasi leluhurnya. Arkeolog senior, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama ini di Indonesia. Peneliti dan Direktur Center for Prehistoric Austronesian Studies ini memaparkan bahwa pada masa Pleistosen yang terentang mulai dari 2 juta tahun lalu hingga 11.500 tahun lalu, bumi begitu dinamis. Banyak pergerakan lempeng bumi, aktifnya gunung api, dan peng-es-an (glasiasi), sehingga diduga pada masa itulah banyak manusia dan hewan bermigrasi. Di Indonesia, pertanggalan tertua berasal dari situs Song terus, Pacitan, sekitar 45.000 tahun lalu. Lalu, berlanjut dengan berakhirnya zaman es awal Holosen yang menyebabkan kenaikan air laut, sehingga memicu diaspora pada 10.000 – 5.000 SM, kedatangan penutur Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu hingga zaman fajar sejarah alias protosejarah beberapa abad menjelang Masehi (Majalah Arkeologi Indonesia, 16/03-2014).
Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak memaparkan, bahwa berdasarkan data arkeologi, etnologi, dan paleontologi, terdeteksi adanya arus migrasi, selain penutur Austronesia dan Papua, yang masuk dari sisi barat melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Mereka adalah penutur Austroasiatik. Penutur Austroasiatik ini tiba di Indonesia pada 4.300-4.100 tahun lalu yang kemudian baru disusul penutur Austronesia pada kisaran 4.000 tahun lalu. Austroasiatik dan Austronesia sebenarnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah. Bahasa Austrik awalnya dimanfaatkan masyarakat Yunan, Cina Selatan. Bahasa ini kemudian pecah menjadi dua, yaitu Austroasiatik dan Austronesia, yang kemudian menjadi penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa. Pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar-tembikar berhias tali yang bentuknya sama dengan tembikar di selatan Tiongkok hingga Taiwan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014).
           Kembali Prof. Harry Truman Simanjuntak menegaskan, bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya dua arus migrasi besar ke Indonesia yang menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, penutur Austroasiatik yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan, kedua, penutur Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu. Arus migrasi terjadi setelah pertanian di sekitar Cina Selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat hingga terjadi ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil  mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Orang Negrito (dari ras Australomelanesoid seperti Papua), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia. 
           Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini berasal dari ras Mongoloid yang berasal dari Cina Selatan, sedang Orang Negrito berasal dari ras Australomelanesoid (campuran ras Australoid dan ras Melanesoid). Orang Negrito ini datang lebih awal ke Sumatera setelah Sundaland tenggelam yang datang dari Hoabinh, Teluk Tonkin, Vietnam. Di pesisir Sumatera bagian Utara, migrasi Orang Negrito ditandai dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe. Penelitian arkeologi yang dilakukan oleh H.M.E. Schurmann di dekat Binjai (1927), Van Stein Callenfels di dekat Medan, Deli Serdang, Kupper di Langsa, Aceh Timur (1930), MacKinnon di DAS Wampu, Prof. Truman Simanjuntak dan Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan (Balarmed) di Aceh Tamiang (2011) menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah datang pada masa Mesolitik, 10.000-6.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:19-21). Belakangan ditambah dengan hasil penelitian Balarmed di Bener Meriah di Aceh (2012)  (Wiradnyana, 2011:127). Temuan fosil tertua dari Loyang Mandale, Aceh Tengah berusia 8.430 tahun (Lintas Gayo, 11/07-2014).
           Sumatera bagian Utara terbukti sudah didatangi para pendukung budaya Hoabinh, yaitu Orang Negrito, pada masa Mesolitik (10.000-6.000 tahun lalu). Mengingat bukit kerang ditemukan juga di Deli Serdang dan Langkat yang telah dilakukan penelitian arkeologi, maka sangat mungkin Orang Negrito ada di Tanah Simalungun pada masa lalu. Kemudian, seperti dikemukakan Harry Truman Simanjuntak sebelumnya, bahwa penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang juga ke Sumatera bagian Utara, sehingga bahasa Simalungun dimenangkan oleh penutur Austronesia. Oleh karena itu, bahasa Simalungun  termasuk rumpun bahasa Austronesia  (Adelaar, 1981:55), seperti bahasa Karo, Toba, Pakpak, dan Mandailing juga termasuk rumpun bahasa Austronesia.
          Sebagaimana dikemukakan dalam buku: “SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN” (Agustono & Tim, 2012:-24-47), bahwa Orang Simalungun cikal-bakalnya dari Kerajaan Nagur yang sudah berdiri sejak abad ke-6 sebagaimana menurut catatan Dinasti Sui dari Tiongkok. Kerajaan Nagur, cikal-bakal masyarakat Simalungun ini, didirikan oleh Datu Parmanik-manik, yang selanjutnya berubah menjadi Damanik. Pada dasarnya Kerajaan Nagur ini tetap berkelanjutan hingga masa Raja Maropat (1400-1907) dengan Raja bermarga Damanik di Kerajaan Siantar terus berlanjut lagi pada masa Raja Marpitu (1907-1946). Raja Nagur, Datu Parmanik-manik itu, berasal dari India. Raja Maropat (1400-1907) dibentuk menurut nama panglima Kerajaan Nagur, yang menjadi 4 kelompok marga di Simalungun, yaitu: Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba, yang disingkatSiSaDaPur. Marga yang empat inilah marga Simalungun asli yang menjadi marga pemilik tanah di Simalungun sejak zaman dulu.
           Apa yang dikemukakan Prof. Harry Truman Simanjuntak tadi sebelumnya  mengkonfirmasi hasil penelitian P. Voorhoeve (1937) yang menyatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan bagian rumpun bahasa Austronesia (Bahasa Simalungun, dalam Wikipedia). Oleh karena itu, Orang Simalungun merupakan penutur bahasa Austronesia. Apabila menggunakan pendapat tadi, maka diperkirakan ketiga penutur bahasa ini sudah datang sebelum kedatangan Raja Nagur ke Simalungun.
           Berdasarkan migrasi leluhur tadi, maka Orang Simalungun diperkirakan terutama merupakan campuran dari 4 (empat) penutur bahasa, yaitu:
1.    Orang Negrito (Masa Mesolitik: 10.000 - 6.000 tahun lalu).
2.    Penutur Austroasiatik (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
3.    Penutur Austronesia (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
4.  Orang India (Masa periode tahun masehi).
Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula
Pada Juli 2013, Balai Arkeologi Medan melakukan penelitian "Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir" dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survei arkeologi. Tinggalan megalitik yang mereka temukan di Samosir, yaitu: sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, kubur pahat batu, tambak batu, batu dakon, menhir, patung-patung batu seperti patung pangulu balang, lesung batu, palungan batu, bottean, sakkal, gajah dari batu paha, parik (pagar batu), dan punden berundak. Tempayan batu seperti disebutkan tadi ada ditemukan di Sumatera Selatan yang berasal dari millenium kedua masehi. Rumah adat memiliki pola arsitektur rumah panggung  melengkung yang merupakan ciri budaya Dong Son. Pola hias di rumah adat dalam bentuk berbagai macam binatang dan sulur-suluran yang dibuat dengan hiasan rumbai-rumbai seperti bulu-bulu yang panjang baik itu pada pahatan flora ataupun pahatan fauna mengingatkan akan hiasan model yang serupa pada benda-benda perunggu yang berasal dari Dong Son. Gambar cecak sebagai lambang kejujuran dan atau kebenaran bagi para pemimpin yang memimpin. Pada tradisi paleometalik Dong Son sangat umum dikenal motif-motif antara lain sulur-suluran, spiral atau pilin berganda, geometris berupa segi empat, bulatan, tumpal maupun belah ketupat dan motif-motif itu masih selalu hadir pada berbagai aspek tinggalan budaya Toba (Wiradnyana & Setiawan, Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir, 2013).
          Berdasarkan penelitian arkeologi di atas, disimpulkan bahwa pendukung budaya Dong Son yang merupakan penutur bahasa Austronesia telah datang dari Cina Selatan setelah melalui Taiwan terus berakhir di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu (Wiradnyana, 2015). Hal ini sesuai dengan Teori Out of Taiwan yang sangat terkenal itu. Mark Lipson (Juni 2014) ---  dengan menggunakan data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome Diversity Panel (HGDP), yang data awalnya dipasok oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman --- melakukan analisa statistikal atas DNA penutur Austronesia. Analisa atas DNA penutur Austronesia itu termasuk DNA Orang Toba (Mark Lipson,  New statistical genetic methods for elucidating the history and evolution of human populations2014:85-90) dapat disimpulkan bahwa Orang Taiwan yang datang ke Sianjur Mula-mula berasal dari suku Amis dan suku Atayal, yang kedua-duanya merupakan suku asli Taiwan. Khusus suku Amis dan suku Atayal merupakan keturunan dari suku H’Tin dari Thailand (Austroasiatik) yang sudah bercampur dengan penutur Austronesia, sehingga kedua suku ini memiliki DNA: Austronesia + Austroasiatik. Diperkirakan percampuran itu terjadi di Cina Selatan dan oleh karena ledakan penduduk, mereka pun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Amis dan suku Atayal tadi. Jadi, DNA penghuni awal Sianjur Mula-mula terdiri dari Austronesia dan Austroasitik.
Antara Fakta atau Mitos
              Menurut penuturan W.M. Hutagalung, dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: TAROMBO DOHOT TURITURIAN NI BANGSO BATAK” (1926), bahwa Si Raja Batak adalah keturunan dari Raja Ihat Manisia sebagai hasil perkawinan dari Si Borudeak Parujar dengan Raja Odapodap. Mereka berdua adalah penghuni langit ketujuh yang turun ke bumi dan mendiami Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Puhit. Mereka berdua turun-naik melalui puncak Pusuk Buhit ke Sianjur Mula-mula dan Sianjur Mula-mula dipandang sebagai kampung awal persebaran manusia. Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia. Dalam tarombo dan turiturian itu diceritakan bahwa keturunan Si Raja Batak ada sebagian ke tanah Pakpak membentuk Batak Pakpak, ke tanah Karo membentuk Batak Karo, ke tanah Simalungun membentuk Batak Simalungun, dan ke tanah Mandailing membentuk Batak Mandailing. Begitulah ringkasan penuturan W.M. Hutagalung dalam bukunya yang laris manis itu.
           Apabila melihat kepada Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula, maka jelas bahwa Si Raja Batak adalah Orang Taiwan yang memiliki DNA Austronesia dan Austroasiatik. Sementara Orang Simalungun merupakan keturunan dari campuran Orang Negrito yang datang pada masa Mesolitik, penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia yang datang pada masa Neolitik, serta Orang India. Maka, jelas berbeda kedatangannya yang jauh lebih dulu  kedatangan dari Orang Negrito, penutur Austroasiatik, dan penutur Austronesia dibanding Si Raja Batak yang diperkirakan datang sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu. Kemudian dari campuran tadi jelas bahwa Orang Simalungun berbeda secara genetik dengan Si Raja Batak yang Orang Taiwan tadi. Sehingga, pernyataan bahwa Orang Simalungun adalah keturunan Si Raja Batak bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
           Sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di Negeri Toba, dalam bukunya: “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia” (2000:339), Peter Belwood menulis bahwa  Orang Negrito sudah datang ke Humbang di Negeri Toba pada sekitar 6.500 tahun lalu. Peter Belwood merujuk pada hasil penelitian paleontologi yang dilakukan Bernard K. Maloney di Pea Simsim, Pea Sijajap, Pea Bullock, dan Tao Sipinggan daerah Humbang. Penelitian Maloney ini dan penelitian Balai Arkeologi Medan di Samosir yang sudah disebutkan tadi dikonfirmasi oleh hasil analisa DNA Orang Toba oleh Mark Lipson (2014:87) dengan menyimpulkan bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Maka, jelas bahwa Orang Toba bukan hanya Orang Taiwan (Austronesia+Austroasitik), tetapi campuran Orang Taiwan dan Orang Negrito. Orang Negrito sudah ada mendiami  Humbang sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit, Negeri Toba, sehingga pernyataan bahwa Sianjur Mula-mula merupakan awal persebaran manusia bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
Kesimpulan
           Orang Simalungun bukanlah Orang Taiwan seperti Si Raja Batak yang Orang Taiwan, melainkan campuran Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan India. Keberadaan Kerajaan Nagur yang sudah eksis sejak abad ke-6 di Tanah Simalungun lebih menegaskan keberadaan Orang Simalungun. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Orang Simalungun bukanlah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Orang Simalungun lebih dulu sampai di Tanah Simalungun yang sudah datang pada masa prasejarah daripada Si Raja Batak yang sampai di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sehingga migrasi Orang Toba ke Tanah Simalungun tidak menjadikan Orang Simalungun menjadi keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Jelas bahwa tidak ada hubungan genealogis Si Raja Batak dengan Orang Simalungun, sementara bahasa Toba dan bahasa Simalungun termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Akhirnya, pernyataan bahwa Orang Sumalungun adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos!  ***

Catatan Kaki:
*** ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; ORANG TOBA DAN SIANJUR MULA-MULA; ORANG TOBA DENGAN TAROMBO SIANJUR MULAMULA; SI RAJA BATAK ATAU SI RAJA TOBA? ORANG KARO: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?; ORANG PAKPAK: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?; ORANG SIMALUNGUN KETURUNAN SI RAJA BATAK DARI SIANJUR MULAMULA – PUSUK BUHIT; FAKTA ATAU MITOS?; ORANG MANDAILING: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos? oleh: Edward Simanungkalit dalam Blog SOPO PANISIOAN di http://sopopanisioan.blogspot.com









(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban