Kepada siapa, aku harus meminta maaf. Sepatu ini terpaksa harus turun kembali dari tempat 'gantung' nya untuk kembali menapaki jalanan berdebu, jalan yang panjang, sendirian. Aku merasa ini adalah lebih baik, daripada harus ada orang lain yang ikut merasakan perasaan yang tak ingin aku rasakan. [Sebuah prolog perjalanan]
Gunung Andong. Sebuah gunung kecil, kami menyebutnya 'bukit belakang sekolah' seperti yang ada dalam Doraemon. Tempat indah yang mudah dijangkau siapa saja. Tempat yang menawarkan sebuah pilihan ketika seseorang harus menyendiri.
Kali pertama aku datang menaiki gunung ini, rame-rame. Merasakan serunya kebersamaan. Merasakan serunya berkemah, menikmati secangkir kopi panas dan mie instan di pagi hari yang dingin. Merasakan salat subuh yang syahdu di tepi jurang. Sesaat selepas matahari terbit berfoto ria, menjelang siang kabut mulai naik, dan kami pulang.
Kali ini aku sendiri. Perjalanan yang dulu harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 2 jam kali ini tepat 60 menit saja untuk naik dan 40 menit untuk turun. Tepat 100 menit perjalanan untuk merasakan TEK TOK di Gunung Andong ini. Kalau mereka yang fisiknya kuat harusnya lebih singkat lagi, durasi ini adalah durasi waktu yang sama yang digunakan ibu-ibu penjaga warung di atas puncak Andong.
Apa yang akan di dapatkan dari sebuah pendakian Andong di siang hari sendirian? Simak ulasan berikut.
Kenapa rata-rata orang naik gunung lebih memilih waktu sore atau malam hari? Karena menghindari terpapar terik matahari dalam waktu yang lama. Terpapar sengatan matahari dalam waktu lama akan menjadikan fisik sangat lelah, kepala pening, mata berkunang-kunang, dan rawan dehidrasi. Tapi kali ini aku memilih naik siang hari, bukan karena sok jagoan namun keinginan naik Andong ini muncul pagi hari. Maka hari itu juga aku berangkat ke sana, sendirian.
Bekal yang aku persiapkan hanya ringkas, P3K, roti, air minum, susu kotak dan jeruk. Itu saja. Peralatan standar, sepatu treking, kemeja lapangan, celana lapangan, senter, tali, pisau, jaket dan jas hujan. Ah iya, slayer serta kaca mata hitam. Terpapar sengatan matahari dan silau yang berlebih bisa merusak mata, untuk itu aku membawa kaca mata hitam. Otak akan terstimulus dengan rangsangan fisik, ketika mata melihat apa yang ada di sekeliling sangat panas dan menyengat maka otak akan meng-amini apa yang dilihat mata lalu memberikan respon negatif ke seluruh tubuh bahwa perjalanan ini sangat melelahkan, maka tubuh akan cepat lelah. Ketika yang dilihat mata adalah pemandangan yang lebih sejuk (efek kaca mata hitam) maka otak akan terstimulus memberikan respon yang lebih baik, sekalipun yang dirasakan kulit berbeda dengan yang dilihat mata. Karena itu lah, kaca mata hitam itu penting, bukan sebatas untuk 'biar keren' tapi menjaga fisik ketika harus bekerja ekstra di terik matahari.
Naik gunung di siang hari bukan pilihan yang menyenangkan, apa lagi sendirian, saya jamin. Ketika 90% pendaki turun gunung dan rata-rata mereka berlari, tentu saja mengepulkan debu yang tak terkira. Dan kamu, naik perlahan menutup kepala serta muka menahan debu mereka. Ini sungguh tidak indah, Kawan. Namun kalau ingin merasakan sesuatu yang berbeda maka cara ini layak dicoba. Di tempat yang terik dan terbuka, kamu akan melihat dengan mata kepala secara langsung tubuhmu menguap dengan dramatis. Ketika kamu meihat bayang-bayang tubuhmu maka di sana akan terlihat penguapan dalam bentuk seperti asap tipis. Itu mungkin saja fatamorgana, namun yang terjadi juga tidak berbeda, di panas terik tubuh akan kehilangan banyak sekali cairan.
30 menit berjalan saya mulai pusing.
Waktu itu, padahal kepala sudah tertutup dan sudah memakai kaca mata hitam. Mau berteduh sudah tak banyak tempat karena pepohonan yang tinggi sudah jarang. Maka kalau sudah seperti ini menepi di rerimbunan semak adalah lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bekal aku makan dan minum sepertiganya lalu istirahat sejenak meluruskan kaki. Waktu itu start naik bersama seorang ibu penjaga warung bersama anaknya yang masih berusia kisaran SD. Ibu tersebut jauh ada di belakang, namun kali ini sudah kelihatan lagi, artinya saya harus jalan lagi jangan sampai didahului oleh mereka.
Aku berharap nanti di atas masih ada sedikit tempat yang bisa digunakan untuk berteduh, walaupun dalam hati aku sendiri tak yakin karena seingatku di puncak tak ada tempat berteduh. Namun saat semangat mulai menurun kadang harapan kosong itu teramat indah, upss. Aku berharap sejenak bisa tiduran di bawah pohon besar yang rimbun di atas puncak sana (padahal aku tahu tidak ada).
Puncak yang sepi ketika tengah hari.
Dulu, ketika pertama naik Andong rame-rame, puncak penuh tenda. Kalu mau berjalan harus berjingkat di antara tali tenda yang terpancang kesana kemari. Tapi kali ini? Sepi. Aku hanya menemukan 2 tenda yang masih berdiri, itu pun yang satu sudah mulai berkemas hendak turun. Beberapa orang masih selfie, selebihnya dengan wajah-wajah kepanasan mereka menggendong carrier seukuran almari turun gunung. Raut wajah mereka mengatakan, "cepet sampai di bawah nanti mau makan bakso dan minum es buah." Sedangkan aku? kali ini mirip orang bodoh yang datang sendirian di tempat yang panas dan sudah tidak indah lagi seperti pagi tadi.
Di sini tak indah lagi. Puncak hanya ada plat bertuliskan "Andong Peak 1726 AMSL" dengan Sang Merah Putih tegak berkibar di atasnya. Sepi. Tak ada lagi keceriaan pagi. Tak ada lagi mereka yang cerewet di sana-sini. Ketika awan sedikit menutupi puncak dari sengatan matahari, aku duduk menghadap hamparan tanah kosong. Melihat beberapa pemilik warung menyapu dan membersihkan sampah di sekitar warung mereka. Mereka hanya pemilik warung. Mereka, mungkin tak pernah menonton traveling di televisi. Mereka tidak menggunakan kaos bertema petualang atau yang sejenisnya. Namun mereka lah yang menjaga kebersihan dari sampah yang dibawa para pendaki yang hanya ikut-ikutan tren. Mereka memungut semua sampah, bukan hanya sampah makanan dari warung mereka saja - karena itu memang sudah seharusnya. Namun ternyata mereka punya kepedulian yang lebih daripada yang sekadar naik gunung demi ajang pamer di sosial media tanpa mau merawat dan menjaga alam yang mereka datangi.
Siang makin panas dan berdebu di puncak. Sesekali muncul pusaran angin yang menerbangkan debu dalam ukuran yang cukup besar. Angin yang terus berputar menerbangkan debu dan sampah kemudian hilang di tepi jurang. Seperti itu kah kehidupan? aku bertanya dalam hati. Seheboh apa pun yang kita lakukan, yang kita alami, sebesar apa dan sekuat apa pun yang kita miliki di dunia ini, kelak pada akhirnya semua akan hilang. Benar-benar hilang tak bersisa. Sama seperti angin itu membawa debu pekat, membawa sampah beraneka rupa, pada akhirnya hilang dan semuanya akan ditinggalkan. Dunia dan segala isinya juga akan kita tinggalkan. Hanya amalan yang akan kita bawa. Hanya 'sesuatu' yang tak tampak di dunia ini sebenarnya bekal untuk kehidupan kekal kita di akhirat.
Aku lalu bertanya, kenapa aku harus ke sini? Seorang diri. Kenapa aku harus 'konyol' naik di siang hari yang terik? Aku tak bisa menjawabnya. Aku hanya sedang ingin sendiri, itu saja. Bukan aku lelah berdoa dan meminta. Bukan aku lari dari masalah (kalau pun lari, nanti aku harus menghadapi lagi bukan?). Aku hanya ingin sendiri. Aku percaya akan ada takdir indah suatu saat nanti. Bukan kah sesudah kesulitan pasti ada kemudahan? Bukan kah Allah tidak akan memberikan beban melebihi apa yang sanggup dipikul oleh hambaNya? Bukan kah seperti itu?
Sang Merah Putih masih tetap berkibar. Aku berdiri membenahi ranselku yang sudah usang ini lalu berjalan untuk turun gunung. Aku terus berjalan, sesekali berlari dan kemudian aku terus berlari hingga tiba di bawah. Empat puluh menit tepat tiba di basecamp. Selamat tinggal Andong. Semoga tak bosan menemaniku ketika aku sendirian lagi ke sini.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar