Daud Aris Tanudirjo
Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Pengantar
Merupakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa lebih dari 95 % penduduk Kepulauan Indonesia bertutur dan menggunakan bahasa-bahasa yang berada di dalam rumpun bahasa Austronesia. Sebenarnya, keberadaan rumpun bahasa Austronesia di negara kepulauan ini hanyalah sepenggal dari kenyataan yang lebih besar bahwa rumpun bahasa ini ternyata tersebar pada area yang begitu luas : dari Taiwan dan Mikronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan, serta dari Madagaskar di Barat hingga Pulau Paskah di Timur. Tidak mengherankan jika sebaran rumpun bahasa yang fenomenal ini segera menimbulkan tanda tanya besar yang mempertanyakan tentang bagaimana proses penyebaran itu terjadinya. Sebagian ahli memperkirakan rumpun bahasa tersebar luas karena difusi, namun ternyata lebih banyak ahli yang meyakini persebaran bahasa itu tidak mungkin terjadi tanpa ada migrasi para penuturnya (Bellowod, 2005). Itulah yang dikenal sebagai Diaspora Penutur Austronesia.
Rupanya tidak hanya proses persebarannya yang menjadi bahan perdebatan para ahli, ternyata tentang dimana tanah asalnya serta kapan sesungguhnya penutur Austronesia mulai terbentuk juga menimbulkan pertentangan pendapat di antara para pakar. Ada yang menganggap para penutur Austronesia berasal dari Kepulauan Asia Tenggara dan sudah terbentuk pada sekitar 10.000 tahun yang lalu (Out of Sundaland). Yang lain meyakini penutur Austronesia berasal dari Vietnam Utara, Yunnan, atau pantai selatan Cina. Ada pendapat yang menyatakan tanah asal penutur Austronesia adalah kepulauan sekitar Laut Zulu (Kalimantan Utara, Filipina Selatan, dan Sulawesi Utara). Namun, sebagian terbesar para pakar masih menganggap Taiwan (Formosa) dan pantai tenggara daratan Cina adalah tempat asalnya dan mereka mulai bermigrasi ke selatan dan utara mungkin sejak 5.000 atau 6.000 tahun lalu (Out of Taiwan).
Terlepas dari perdebatan di atas, dalam konteks ke-Indonesia-an kita di masa kini, tentu wajar apabila muncul pertanyaan : mungkinkah diaspora Austronesia layak dijadikan sebagai dasar terbentuknya kesatuan Nusantara ? Jawabnya tergantung pada bagaimana kita memaknai “kesatuan Nusantara” itu sendiri. Jika “nusantara” dimaknai sebagai “kepulauan yang berada di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, serta di antara Benua Asia dan Australia”, dan apabila “kesatuan” dimaknai kesatuan budaya, maka jawaban cukup jelas bahwa wilayah ini memiliki kesamaan budaya. Kawasan ini sering dilihat sebagai suatu wilayah budaya (cultural area) yang menjadi persilangan dari berbagai pengaruh budaya, sehingga memberikan ciri budaya khas (Lape, 2003).
Namun, apabila yang dimaksud “pembentukan kesatuan Nusantara” di sini adalah “terbentuknya kesatuan wilayah dan bangsa Indonesia”, tentu jawaban tidak begitu sederhana. Diperlukan penjelasan yang cukup kompleks untuk dapat memberi gambaran proses transformasi yang terjadi dari “Austronesia” menjadi “Indonesia”. Kompleksistas masalahnya terletak pada belum adanya kepahaman dalam memahami konsep-konsep yang ada di balik pernyataan tersebut di atas. Makalah ini mencoba memberikan tafsir yang barangkali dapat sedikit menjawab persoalan tadi.
Siapakah “Bangsa Indonesia” itu ?
Ada dua perspektif dalam melihat keberadaan bangsa Indonesia, yaitu “short history” dan “long history”. Pandangan “short history” menganggap keberadaan bangsa Indonesia itu belum lama. Pandangan ini menganut paham formalitas, yaitu melihat sejak kapan istilah itu digunakan dan sejak kapan ada kesadaran kebangsaan itu sendiri. Istilah “Indonesia” memang muncul pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada tahun 1850 dan dimuat dalam Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia volume IV. Dlam junrla tersebut terdapat dua tulisan, yaitu tulisan G.S.W. Earl yang menawar-kan untuk menggantikan Indian Archipelago dengan Indunesia (kepulauan India) atau Malayunesia (Kepulauan Melayu). Earl sendiri lebih suka menggunakan Malayunesia, karena Indunesia termasuk di dalamnya Srilanka dan Maladewa. Tulisan lain adalah karya J.R. Logan yang sepakat dengan Earl untuk mengganti istilah Indian Archipelago yang agak kepanjangan. Logan memilih menggantinya dengan Indonesia, karena secara hurufiah istilah ini terjemahan langsung dari Indian Archipelago. Istilah ini lalu populer di antara para ahli ilmu bangsa-bangsa (etnologi, antropologi), dan kemudian digunakan oleh A. Bastian sebagai judul karya etnografinya yang sangat komprehensif (lima jilid buku) pada tahun 1884. Istilah Indonesia pun semakin populer di kalangan yang lebih luas, termasuk para pemuda Indonesia yang belajar di Belanda. Ki Hajar Dewantara adalah orang Indonesia pertama yang menggunakan nama itu, ketika ia mendirikan Biro Pers Indonesia (1913). Kemudian Bung Hatta memakai nama itu untuk mengganti nama organisasinya dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia), sedangkan nama majalahnya Hindia Poetra diganti menjadi Indonesia Merdeka. Selanjutnya, Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club (1924), Perserikatan Komunis Hindia ikut diubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), dan tahun 1925 Jong Islamieten Bond menamai organisasi kepanduannya Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan 28 Oktober 1928, kata Indonesia sudah disepakati menjadi identitas bangsa ini.
Jika mengikuti sejarah istilah Indonesia, memang keberadaan bangsa Indonesia baru terhitung mulai akhir abad ke-19 atau bahkan awal abad ke-20 ketika para anak bangsa ini mulai menggunakan istilah tersebut. Terbawa oleh pandangan ini, Dr. Anhar Gonggong menyatakan bahwa Sejarah Indonesia baru dimulai pada awal abad ke-20, ketika muncul gerakan-gerakan kebangsaan. Jadi, yang “dijajah” oleh Belanda adalah kerajaan-kerajaan di Indonesia dan bukan Indonesia (Kompas, 6 Maret 2007).
Namun, pandangan “short history” itu dianggap terlalu formalist. Lagipula, pandangan mereka lebih melihat pada keberadaan identitas atau jati diri negara-bangsa Indonesia (nation-state identity). Pendekatan “identitas nasional” terlalu menekankan pada munculnya ‘kesadaran” rasa kebersamaan dalam konteks negara-bangsa. Sesungguhnya, eksistensi ”bangsa Indonesia” mestinya tidak dilihat secara dangkal seperti itu. Pendekatan “long history” lebih berpikir bahwa keberadaan suatu bangsa lebih direpresentasikan oleh jatidiri budaya (cultural identity). Menurut pakar antropologi J. Friedman (1994), jatidiri budaya ini dapat terwakili di antaranya dari kesamaan norma, gaya hidup, kedekatan darah (kinship), kepercayaan dan gagasan-gagasan. Para ahli yakin bahwa jatidiri ini suatu bangsa dapat dilacak jauh ke masa lampau bahkan hingga ke masa prasejarah. Dalam hal ini, kajian arkeologi akan dapat membantu menelusuri identitas budaya itu melalui kesinambungan benda-benda tinggalannya (Shennan, 1989), karena “archaeology as a long-term history” (Hodder, 1987).
Melacak Kesatuan Indonesia (Nusantara)
Lalu, bagaimana melacak jatidiri bangsa Indonesia itu hingga jauh ke masa lampau ? Tentu saja, awalnya tetap saja kita harus bertitik tolak pada kesadaran yang mengakui kesadaran bersama. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kesadaran akan “kesatuan” itu dinyatakan secara eksplisit dalam peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada intinya kesadaran itu meliputi tiga hal, yaitu kesatuan wilayah (tanah air), kesatuan bangsa (didalamnya terkandung budaya), dan kesatuan bahasa (bahasa persatuan Indonesia).
Barangkali upaya melacak “kesatuan Indonesia” (= Nusantara) dari diaspora Austronesia yang paling mudah adalah dalam hal kesatuan bahasa. Istilah Austronesia itu sendiri memang sejak semula diperuntukkan bagi bidang kebahasaan. W. Schmidt, ahli linguistik, menyarankan istilah ini pertama kalinya untuk menggantikan istilah yang sebelumnya telah digunakan H. Kern, yaitu rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Schmidt sendiri membayangkan bahasa ini asal-usulnya memang dari daratan Cina. Menurut rekonstruksi Schmidt, awalnya ada bahasa induk Austrik yang berkembang di daratan Cina. Karena migrasi penuturnya, bahasa ini lalu pecah menjadi dua rumpun besar : Austro-Asiatic yang berkembang di Daratan Cina Selatan dan Austronesia (Austro = selatan, nesia = kepulauan) yang berkembang di daerah kepulauan selatan daratan atau kepulauan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sebelum ada diaspora Autronesia, bahasa yang dipakai di wilayah ini bahasa non-Austronesia yang cukup beragam. Setelah diaspora Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu, dalam waktu yang sangat singkat, bahasa Austronesia menggantikan sebagai lingua-franca yang dituturkan hampir di seluruh Nusantara dan Pasifik. Hanya ada beberapa kantong bahasa lama yang bertahan. Dengan demikian, jelas bahwa dari sisi kebahasaan diaspora Austronesia menjadi dasar kesatuan Indonesia atau Nusantara. Pengakuan itu dibuktikan dengan disepakatinya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan (bukan “berbahasa satu” !) dalam Sumpah Pemuda 1928.
Bagaimana dengan kesatuan wilayah ? Apabila wilayah Indonesia yang ada saat ini dibandingkan dengan wilayah diaspora penutur Austronesia tentu sangatlah kecil. Luas wilayah amat tergantung pada pasang surut hegemoni politik suatu komunitas yang sedang menguasai, sehingga tentu akan meluas dan menyempit dari waktu ke waktu. Bagaimana pun juga harus diakui bahwa kesatuan wilayah Indonesia yang sekarang ini adalah warisan kolonial Belanda, karena wilayah yang ada tidak lain adalah bekas wilayah jajahan Belanda yang diserahkan kepada bangsa Indonesia.
Namun, setidaknya diaspora Austronesia meletakkan dasar-dasar kesatuan wilayah itu. Bukti-bukti sebaran sejumlah artefak dapat menunjukkan kesatuan wilayah yang dinamis. Hal ini antara lain disebabkan oleh pola migrasi dan jejaring yang dilakukan oleh para penutur Austronesia. Pola migrasi yang dilakukan dengan cara lompat katak, telah menghasilkan pola jejaring yang luas. Gerakan migrasi yang berlangsung cepat ini hanya mungkin dilakukan jika para pelaut Austronesia telah mengembangkan dan menguasai teknologi pelayaran yang canggih untuk ukuran jaman itu. Terbentuknya jejaring ini mendorong terjadinya pola-pola perdagangan atau pertukaran jarak jauh yang terbukti mempunyai jangkauan sangat jauh hingga ke Cina dan India (Tanudirjo, 2009, 2011).
Meningkatnya saling keterhubungan dan saling ketergantungan di kawasan sebaran para penutur Austronesia setidaknya tercermin dari ditemukannya unsur-unsur budaya atau himpunan artefak (assemblages) yang cenderung sama di Asia Tenggara kepulauan hingga ke Pasifik Barat daya, antara lain permukiman di kampung terbuka dengan rumah panggung, pemanfaatan arborikultura dan hortikultura, ternak hewan (babi, anjing, ayam), makan sirih, penggunaan beliung batu, perhiasan kerang, gerabah, dan penggunaan bahasa Malayo-Polynesia awal. Bahkan, rupanya batu obsidian, gerabah berhias, dan artefak kerang pernah dianggap sebagai ‘barang bermartabat’ (prestigous good) yang amat digemari pada saat itu dan dipertukarkan hingga jauh (Tanudirjo, 2004).
Batas-batas sebaran artefak logam dari Budaya Dongson yang dipertukarkan atau diperdagangkan paling tidak sejak 2.500 tahun yang lalu, tidak jauh berbeda dengan batas timur wilayah Indonesia sekarang. Demikian pula, persebaran budaya (khususnya gerabah) Lapita yang berkembang di Melanesia, terutama di sekitar Bismarck Island ternyata berhenti hingga sekitar batas Papua dengan Papua Nugini. Hal ini membuktikan “batas-batas” budaya tradisional itu terbawa hingga pada masa-masa yang jauh lebih modern. Meskipun demikian, sepanjang kurun waktu yang ribuan tahun tersebut, tentu mengalami pasang surut.
Pada masa-masa munculnya kerajaan-kerajaan, batas-batas wilayah politik memang berbeda dengan Masa Kolonial. Wilayah Sriwijaya atau Mataram Hindu, misalnya, meliputi juga Thailand Selatan dan Filipina, dengan batas sebelah timur hanya terbatas di Kalimantan. Namun, wilayah kerajaan Majapahit cukup meluas dari Thailand, Sumatera, Brunei, Sulawesi, Maluku hingga Papua, yang juga tidak berbeda jauh dengan keadaan sekarang. Dengan kedatangan kolonial Barat, wilayah-wilayah budaya yang terbentuk dan tidak dibatasi tegas secara politis kemudian ditentukan batas-batasnya oleh mereka. Kesatuan wilayah Nusantara dibagi-bagi di antara para penjajah dari Eropa, sehingga konfigurasinya berubah. Filipina berdiri sendiri, Borneo Utara dan Semanjung Malaka dalam perspektif negara bangsa berdiri sendiri menjadi Negara Malaysia. Brunei juga menjadi negara bangsa tersendiri. Meskipun demikian, sampai kini pun tidak bisa disangkal adanya kesamaan-kesamaan berciri Austronesia yang masih dapat ditemukan di antara negara bangsa tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwa diaspora Austronesia juga meletakkan dasar kesatuan wilayah (baca juga Tanudirjo, 2006)
Terkait dengan kesatuan bangsa, selain bukti-bukti kesatuan wilayah budaya dari sejumlah ciri budaya bendawi yang mirip dari satu daerah ke daerah lain, tentu juga kedekatan genetika dapat menjadi petunjuk “kesatuan bangsa”. Kajian genetika wilayah Nusantara memang amat kompleks. Tidak jarang, sejumlah ahli genetika saling memiliki pandangan yang berbeda. Namun, secara umum mayoritas penghuni wilayah Kepulauan Nusantara itu mempunyai ciri-ciri yang hampir sama, di antaranya ditandai dengan hilangnya 9 pasangan alleles (9 pair deletion), termasuk haplogroup M7c3c (Tumonggor et als, 2013). Gambaran kajian genetic secara umum menunjukkan bahwa masa diaspora Austronesia merupakan masa yang penting bagi pembentukan ragam manusia di wilayah Kepulauan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sebagaimana ahli genetika Cox (2013) nyatakan bahwa : Masa Neolitik (saat diaspora Austronesia) adalah masa yang paling menentukan dalam sejarah manusia di kepulauan Asia Tenggara (nusantara) dan Oceania. Masa ini merupakan masa konsolidasi pola genetika yang sudah diletakkan dasarnya pada Kala Plestosen. Pada masa inilah pola genetik di wilayah ini dikuatkan dengan genetik varian baru muncul di Asia Daratan. Pernyataan Cox meneguhkan bahwa diaspora Austronesia menjadi dasar proses pembentukan bangsa-bangsa yang ada di Nusantara atau kepulauan Indonesia.
Penutup
Bahasan yang dikemukakan pada bagian-bagian terdahulu menunjukkan bahwa diaspora Austronesia layak disebut sebagai dasar pembentukan kesatuan Nusantara atau kepulauan Indonesia. Baik dari perspektif bahasa, bangsa dan budaya, maupun kedekatan darah (genetika). Penjelasan di atas cenderung meneguhkan cara pandang “long history” dalam menentukan keberadaan dan jatidiri bangsa Indonesia. Hal ini pun sesuai dengan pandangan Presiden RI pertama Ir. Soekarno yang melihat Pancasila sebagai karakter bangsa digali dari budaya-budaya tradisional Indonesia. Dalam konteks ini, Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai panutan yang telah ada selama ribuan tahun sebelum negara bangsa Indonesia ada. Diaspora Austronesia memegang peran yang penting dalam meletakkan dasar-dasar kesatuan itu. Proses diaspora ini pula yang paling menentukan dalam membentuk keragaman budaya yang berinti satu, sebagaimana twercerminkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Daftar Pustaka
Bellwood, P. 2005. First Farmer. Blackwell.
Cox, M.P. 2013. Southe Asian Islands and Oceania : Human genetics, dalam Immanuel Ness (ed.), The Encyclopedia of Global Human Migration. Blackwell. Pp. 1- 9
Friedman, J. 1994. Cultural Identity and Global Process. Sage.
Hodder, I. 1987. Introduction, dalam Ian Hodder (ed.), Archaeology as a Long-term History. CUP Press.
Lape, P. 2003. A Highway and a crossroads : Island Southeast Asia and Culture contact archaeology, Archaeology in Oceania 38, pp 102 – 109.
Shennan, S. 1989. Introduction : Archaeological Approach to Cultural Identity, dalam Stephen Shennan (ed.). Archaeological Approach to Cultural Identity. Unwin Hyman.
Tanudirjo, D.A. 2004. The Structure of Austronesian Migration into Island Southeast Asia and Oceania (in Englsih), dalam Victor Paz(ed), Southeast Asian Archaeology, Wilhelm G. Solheim II Festschrift. The University of the Philippines Press, pp. 83-103
Tanudirjo, D.A. 2006. The Dispersal of Austronesian-speaking people and the Ethnogeneses of Indonesian people (in English), dalam T. Simanjuntak, I.H.E. Pojoh, and M. Hisyam (eds.),Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago. LIPI Press, pp. 83-98
Tanudirjo, D.A. 2009. Kapal Karam Abad ke-10 di Laut Jawa, Utara Cirebon, (penyumbang tulisan), edited by Bambang Budi Utomo. PANNAS BMKT, Department of the Sea and Fisheries.
Tanudirjo, D.A. 2010. “Perkembangan Budaya Bahari di Kepulauan Nusantara”, Sabda (Jurnal Kajian Kebudayaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro), Vol. 5, no. 2 Oktober 2010, hlm. 168 – 178
Tanudirjo, D.A. 2011. Penjelajahan Pelaut Austronesia pada Masa Prasejarah”, Varuna (Jurnal Arkeologi Bawah Air), vol. 5, 2011, hlm. 34 – 40
Tumonggor, M et als. 2013. The Indonesian archipelago : an ancient genetic highway linking Asia and Pacific. Journal of Human Genetic 58, pp. 165 -173.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar