Rabu, 13 Mei 2015

ARKEOLOGI-PRASEJARAH (Kebudayaan Lapita)



Kebudayaan Lapita (Gerabah Lapita)
            Pada dasarnya, kebudayaan Lapita ditandai dengan kompleks atau seri gerabah (atau keramik) yang memiliki ciri yang unik, terutama pada bentuk dan ornamen yang terdapat di gerabah tersebut (Kirch, 1996: 58). Gerabah Lapita terbuat dari tanah dengan pembakaran yang tidak terlalu tinggi, mencakup teko, piring, mangkuk, serta semacam kendi-kendian. Dari jenis tersebut, kebanyakan tidak didekorasi, tetapi antara 5-15% nya didekorasi dengan motif –motif antropomorfis, bentuk geometris, serta transformasi wajah manusia. Teknik pendekorasianpun berbeda-beda, ada yang diukirkan dengan teknik dentate stamp atau berupa pita merah di leher kendi.
            Kebudayaan Lapita tidak hanya terdiri dari keramik saja, tetapi juga kompleks budaya budaya lain seperti pola pemukiman yang unik, strategi ekonomi, serta budaya material non-keramik seperti alat-alat scrapers, adzes yang terbuat dari batu dan kerang, pisau pengupas, serta alat memancing, bahkan ditemukan semacam ornamen yang diduga sebagai shell money (Kirch, 1996: 60).
            Secara geografis, kebudayaan Lapita terbentang dari Kepulauan Bismarck di barat, melalui pulau-pulau utama Melanesia (Solomon, Vanuatu, New Caledonia) ke Fiji, lalu mencapai Kepulauan Polinesia Tonga dan Samoa, menempuh jarak sekitar 4.000 km. Dari penggalian situs-situs di daerah tersebut diketahui bahwa pertanggalannya sekitar 1.500 sampai 500 tahun SM. Situs paling awal ditemukan di Kepulauan Bismarck, dengan pertanggalan sekitar 3.500 tahun lalu, dan situs di Samoa dan Tonga dating-nya sekitar 3.200 sampai 3.000 tahun yang lalu (Kirch, 1996: 61).
            Ciri-ciri gerabah Asia Tenggara yang tercermin dalam gerabah Lapita adalah aspek pembuatan, bentuk kendi, serta teknik dekorasi. Menurut Aoyagi yang dikutip Kirch (1996: 65), ada gerabah dari Filipina yang disebut kendi Magapit dan Kalumpang dari Sulawesi yang menggunakan teknik ornamen dentate stamp, serta kendi berpita merah yang ditemukan di Halmahera (Bellwood, dalam Kirch 1996: 65). Selain itu, situs-situs tersebut juga mengandung alat kerang, ornamen, serta adzes batu dan kerang yang mirip dengan yang ada di situs Lapita di Kepulauan Bismarck.
            Selain itu, data tentang kebudayaan Polinesia menunjukkan karakter linguistik yang terkait dengan pengguna bahasa Austronesia, yaitu bahwa bahasa di tiga daerah tersebut semuanya berasal dari bahasa Austronesia Proto-Central Pasifik. Karena kebudayaan Polinesia merupakan perkembangan dari kebudayaan Lapita yang berada di wilayah Fiji, Samoa, dan Tonga (Kirch, 1996: 64), maka ada kemungkinan bahwa kebudayaan Lapita terkait dengan orang yang berbicara bahasa Austronesia pula.
            Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Kebudayaan Lapita berasal dari wilayah Asia Tenggara. Kebudayaan Lapita ini diperkirakan meneruskan perkembangan kebudayaan Neolitik yang telah ada di wilyah ini pada masa-masa sebelumnya.
gambar1
Peta 1: Situs dan titik temu Lapita di Pasifik barat daya.
            Awalnya kebudayaan Lapita didefinisikan berdasarkan tembikar yang sangat khas, dihiasi oleh cetakan geligi (cap geligi). Dengan pengecualian pada tembikar Sepik-Ramu (Swadling, Araho dan Ivuyo 1991), itu adalah awal tradisi tembikar di Melanesia. Dekorasi-mirip-Lapita tidak ditemukan dalam kumpulan tembikar sebelumnya di Pulau Asia Tenggara (hal itu terjadi kemudian setelahnya Spriggs 1989a: 607), tetapi berbagai bentuk kapal dan penggunaan slip merah dekorasi dibagi antara kedua daerah.
            Sekarang ada tiga sub-gaya Lapita diakui (Anson 1983, 1986), yang memiliki arti  geografis dan kronologis (Spriggs 1990b).
  1. Lapita terbatas pada Kepulauan Bismarck dan penanggalan sekitar 1600-1200 SM (atau lebih dari itu). Sub-gaya ini telah menghasilkan bentuk kapal paling kompleks dan motif dekoratif yang paling rumit, sering memakai cap geligi yang sangat halus.
  2. Lapita Barat ditemukan setelah tahun 1200 SM di Bismarcks dan menunjukan awal dari tembikar Lapita di Solomon, Vanuatu dan Kaledonia Baru. Tembikar tersebut mempunyai dekorasi yang tidak rumit, beberapa bentuk bejana dan penggunaan cap yang lebih kasar. Sub-gaya berlangsung sampai kira-kira di masa sesudah masehi di beberapa daerah sementara di lain cap geligi sebagai teknik dekoratif telah berhenti oleh 500 SM. Sebuah contoh diberikan dalam Gambar 1.
  3. Lapita Barat di temukan di Fiji dan Polinesia Barat pada sekitar tahun 1000 SM. Motip yang ada lebih sederhana dan terdapat beberapa bentuk bejana. Sebuah cap geligi kasar sering digunakan. Di Tonga sub-gaya mungkin terus digunakan sampai sekitar 2000 tahun yang lalu, sementara di Samoa tampaknya telah terhenti lebih awal sekitar 800 SM. Sub-gaya ini berhubungan paling erat dengan sekumpulan gaya Barat Lapita Malo di Vanuatu utara.
http://wacananusantara.org/wp-content/uploads/2011/12/gambar24.png
Gambar 1: Bejana tembikar ber -cap geligi dari Pulau Malo, Vanuatu. Gambar paling dibawah adalah versi yang disederhanakan dari susunan cap geligi pada gambar diatas.

Migrasi Austronesia
            Penduduk Austronesia yang pertama dipercaya berasal dari daerah Cina selatan sebelum mereka berpindah dari daratan Asia untuk menetap disekitar Taiwan sekitar 5000-6000 tahun yang lalu. Dengan cepat mereka bergerak secara bertahap ke semua daerah busur kepulauan Filipina. Dari sana, satu kelompok bergerak kearah barat daya , melalui Borneo dan menyusul Sumatra dan Jawa, dan menembus Semenanjung Malaya, Vietnam bagian timur dan Kamboja. Dari sana, mereka dipercaya mengikuti dua jalur utama, salah satu melalui Sulawesi dan kedalam daerah Seram-Ambon dan Timur-timur, dan yang lain kearah Halmahera dan Irian Jaya. Dari sanalah penduduk Austronesia dipercaya telah bergerak kearah timur sepanjang pesisir utara Papua Nugini, berakhir di busur kepulauan Bismarck (Britania baru dan Irlandia baru). Catatan kepurbakalaan menjelaskan bahwa populasi dari Neolitik menempati keseluruhan wilayah dari Daratan Asia Tenggara, termasuk Semenanjung Malaysia, setidaknya pada tahun 2000 SM (Higham 1989; Bellwood 1993). Ekspansi Austronesia ke Semenanjung Malaysia terjadi lama setelah ekspansi dari petani Austronesia (awal Aslian penutur bahasa) ke arah selatan dari Thailand pada milenium ketiga SM.
            Seperti di daratan Asia Tenggara, Pulau Papua dan Melanisia barat, penduduk baru Austronesia juga menemukan sebuah perlawanan yang kuat secara biologis, budaya dan bahasa.

Rumpun Austronesia
            Rumpun bahasa Austronesia kemungkinan adalah rumpun bahasa terbesar di dunia, dengan 1.200 bahasa dan rata-rata 270 juta penutur. Berdasarkan pada studi terbaru (Tryon, ed. 1994) rumpun bahasa Austronesia terdiri dari bahasa yang memiliki puluhan juta penutur (Bahasa Melayu/ Indonesia, bahasa Jawa, dan Tagalog) secara mengejutkan, dengan sejumlah besar bahasa dengan hanya ratusan penutur. Hal ini belakangan menyebar di Oseania, yang mana penyebabnya diteliti lebih lanjut oleh Dutton. Lebih jauh ke timur, bahasa Austronesia dipakai hampir di seluruh Kepulauan Oseania dengan pengecualian pada daerah pedalaman dan kawasan pantai dari biduk Pulau Papua (Irian jaya dan Papua Nugini).
Peta 1 Batas geograpis dari rumpun Austronesia
Peta 2: Batas geograpis dari rumpun Austronesia
            Dapat digambarkan dengan singkat, beberapa perubahan utama yang di percaya bahwa masyarakat prasejarah Austronesia melalui Kepulauan Asia Tenggara sekitar tahun 4000 SM dan 1 M
  1. Tahun 4000-3500 SM; Ekspansi Austronesia yang pertama; tanaman biji-bijian dan pertanian akar umbi, pelayaran terbatas.
  2. Tahun 3000 SM; Ekspansi Austronesia Inti ke Filipina utara; kemajuan dari teknologi pelayaran, perubahan gaya dari corak tali menjadi polos atau tembikar bersarung merah.
  3. Akhir milenium ketiga dan milenium kedua SM; perpecahan Malayo-Polinesia Inti dari Filipina selatan ke Borneo, Sulawesi dan Maluku; pesona buah-buahan katulistiwa dan produksi akar umbi biji-bijian sebagai makanan, kecuali didaerah yang paling selatan dan pulau-pulau yang beriklim musiman seperti Jawa yang dimana padi adalah sumber makanan utama. Satu peningkatan dari ketertarikan yang besar mungkin terjadi pada saat ini bisa jadi adalah permulaan dari penyesuaian para pemburu terhadap hutan hujan di Borneo dan Sumatra.
  4. Milenia pertama/kedua? Dimulai dengan perubahan pergerakan bahari (penggembara laut inti?) disekitar Sulu dan Lautan Sulawesi (bandingkan Bellwood 1989 untuk ekonomi bahari dengan pertukaran jarak-jauh di Bungkit Tengkorak, Sabah sekitar tahun 1000 SM), dan kemungkinan ditempat yang lain. Hal ini, pada gilirannya kemungkinan telah memerintahkan beberapa dasar pelayarannya.
  5. Pertengahan dan akhir milenia ke dua SM; kolonisasi Lapita di Remote Oseania sampai sepanjang Tonga dan Samoa. Keterampilan berlayar dikembangkan pada masa ini untuk pulau-pulau tak berpenghuni, tetapi dengan sedikitnya peluang untuk menduduki pulau-pulau Melanisia barat yang besar (terutama Pulau Papua) yang telah ditempati para penutur bahasa Papua.
  6. Milenia kedua/pertama SM? Pendudukan Austronesia di Vietnam dan Malaya, di kedua wilayah ini bersaingan dengan petani (penduduk) yang telah ada.
  7. Tahun 500 SM dan sesudahnya. Pengenalan dari perunggu dan besi metalurgi kedalam Kepulauan Asia Tenggara. Gendang Dongson juga diperdangangkan dari Vietnam ke pulau-pulau Sunda meluas dari Sumatra ke Maluku selatan.



Daftar Pustaka
Angayomi, N. A. (2009), “Asal Kompleks Kebudayaan Lapita.”
http://queennefertiti.wordpress.com/2009/04/01/asal-kompleks-kebudayaan-lapita/ (diakses tanggal 28 April 2013)
SpriggsMatthew. (2010), “Budaya Lapita dan Prasejarah Austronesia di Oseania.”
            http://wacananusantara.org/budaya-lapita-dan-prasejarah-austronesia-di-oseania/
            (diakses tanggal 28 April 2013) Alih bahasa oleh Tim Wacana Nusantara 
Bellwood, Peter. (2010), “Pra sejarah Austronesia di Asia Tenggara: Tanah Air,
             Ekspansi danTransformasi.”http://wacananusantara.org/pra-sejarah-
             austronesia-di-asia-tenggara-tanah-air-ekspansi-dan-transformasi/
             (diakses tanggal 28 April 2013) Alih bahasa oleh Tim Wacana Nusantara 
Bellwood, Peter dkk. (2009), “Austronesia dalam Sejarah: Asal Usul dan Bermacam-Macam            Perubahan.”http://wacananusantara.org/austronesia-dalam-sejarah-asal
           -usul-dan-bermacam-macam-perubahan/ (diakses tanggal 28 April 2013)
            Alih bahasa oleh Tim Wacana Nusantara 
Tryon, Darrell. (2009), “Austronesia Kuno dan Subkelompok Utama Austronesia.”
            http://wacananusantara.org/austronesia-kuno-dan-subkelompok-utama-austronesia/
            (diakses tanggal 28 April 2013) 

Alih bahasa oleh Tim Wacana Nusantara 


Sumber:
http://archaeologyline.blogspot.com/2014/01/arkeologi-prasejarah-kebudayaan-lapita.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar