Jelajah Pangkep (2): Menjaga Warisan Nenek Moyang di Gua Prasejarah
Republika/Aditya Pradana Putra
REPUBLIKA.CO.ID, Memiliki luas sekitar 40.000 hektare, kawasan Karst Maros Pangkep dikaruniai ratusan gua di dalamnya, 268 di antaranya telah terdata.
Ketergantungan manusia setempat terhadap kawasan karst tersebut sudah terjadi sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Hal tersebut dikuatkan dengan ditemukannya peninggalan purbakala di sejumlah gua yang ada di kawasan tersebut, seperti cap-cap tangan, gambar hewan buruan, sisa-sisa dapur, dan peralatan purbakala.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), dulu Badan Pengelola Peninggalan Purbakala (BP3), mencatat kawasan Karst Maros Pangkep menyimpan 64 gua prasejarah di wilayah Maros dan 38 gua prasejarah di wilayah Pangkep.
Setelah puas menikmati Gua Kallibong Aloa dengan ornamen-ornamennya yang masih tumbuh, hari ketiga saya manfaatkan untuk menelusuri jejak manusia prasejarah di gua-gua yang ada di kawasan tersebut.
Sebagai penunjuk jalan dan untuk mendapatkan informasi terperinci, seorang juru pelihara gua dari Badan Pemelihara Cagar Budaya (BPCB), Rahim (53) menemani saya dalam penelusuran tersebut.
Dari sekitar 50 gua prasejarah yang ada, saya memilih Gua Kasapao sebagai tujuan pertama saya menyaksikan peninggalan nenek moyang masyarakat setempat. Menurut Rahim, Gua Kasapao termasuk gua dengan banyak lukisan-lukisan purbakala.
Tidak seperti Gua Kallibong Aloa yang memiliki medan "perawan", jalan menuju Gua Kasapao terasa lebih mudah. Untuk menuju saya ke sana saya melewati pematang-pematang sawah dan menaik ratusan anak tangga.
Jaraknya lumayan jauh, sekitar dua kilometer dari jalan raya. Sesekali monyet-monyet muncul dari balik pohon mencuri perhatian saya saat berjalan menuju mulut gua. "Gua Kasapao ini sudah mati dan tidak tumbuh lagi seperti Gua Kallibong Aloa," kata Rahim yang sehari-hari bertugas merawat dan membersihkan gua-gua prasejarah di lokasi tersebut.
Di gua ini kita tidak bisa menemui stalagtit dan stalagmit yang masih tumbuh dan berwarna putih, yang banyak terlihat adalah pilar-pilar besar yang sudah berwarna coklat tua dan sebagian berlumut. Sedikit memasuki ke dalam mulut gua, kita dengan mudah menemukan lukisan cap-cap tangan dan gambar babi rusa di langit-langit gua setinggi antara satu hingga 1,5 meter.
Selain berwarna merah dan hitam, ukuran-ukuran telapak tangan pada lukisan-lukisan itu hampir sama dengan telapak tangan milik orang dewasa saat ini. "Lukisan-lukisan itu tidak bisa luntur meski terkena air. Manusia purba dulu membuatnya dengan ramuan khusus dari tanah dan getah," kata Rahim.
Selain Gua Kasapao, penelusuran jejak manusia prasejarah juga saya lakukan ke Gua Bulo Ribba. Berbeda dengan Gua Kasapao, lukisan-lukisan purbakala yang ada di Gua Bulo Ribba berada di langit-langit gua yang cukup tinggi antara dua hingga tiga meter. Melihat letak lukisan di titik seperti itu, saya belum bisa membayangkan cara manusia purba melukisnya.
"Hingga saat ini belum diketahui bagaiamana cara manusia purba mencapai titik tersebut untuk membuat cap-cap tangan itu," kata Rahim.
Selain dua gua pra sejarah yang saya jelajahi tersebut, di Desa Belae sendiri masih terdapat gua-gua prasejarah lainnya, seperti Gua Kassi, Gua Camming Kana, Gua Bulu Sumi, Gua Sumpang Bita, Gua Patennung, Gua Kajuara, dan sejumlah gua lainnya.
Tanda Kekuasaan
Di kesempatan yang terpisah, saya mendapatkan penjelasan dari ahli geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Brahmantyo mengenai keberadaan lukisan-lukisan purbakala yang ada di gua-gua kawasan Karst Maros Pangkep.
"Bukan tanpa alasan manusia purba membuat lukisan-lukisan itu. Mereka membuatnya sebagai tanda kekuasaan terhadap gua-gua tersebut," kata Budi.
Selain lukisan, lanjutnya, sampah-sampah dapur juga menjadi penanda gua-gua yang ada pernah ditempati oleh manusia purba dulu.
Meski tidak semudah ketika kita melihat lukisan-lukisan purbakala, di sejumlah titik kita bisa menemui cangkang-cangkang kerang sisa makanan manusia purba. Saking lamanya, cangkang-cangkang bekas makanan manusia purba dulu telah menempel kuat di tanah dan stalakmit.
Budi mengatakan, karst Maros Pangkep telah terbentuk sejak 50 juta tahun yang lalu atau berada saat kala Eosen. "Sementara, dilihat dari peninggalan-peninggalan purbakala manusia baru mulai memanfaatkan kawasan tersebut sekitar 5.000 tahun yang lalu," kata Budi.
Perlindungan Cagar Budaya
Dari sejumlah catatan mengatakan, jumlah jejak peradaban manusia prasejarah berupa lukisan-lukisan di dinding gua itu mencapai ratusan saat diteliti oleh ilmuwan asal Swedia, Van Stein Callenfels pada 1932. Namun, jumlah tersebut saat ini telah menyusut akibat aktivitas manusia sendiri.
Budi memperkirakan masih banyak gua-gua dengan peninggalan purbakala di luar jumlah yang terdata di kawasan lindung Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
"Kemungkinan gua-gua serupa masih ada di kawasan yang tidak terlindungi hukum konservasi. Aktifitas penambangan untuk kebutuhan produksi semen dan batu marmer menjadi ancaman nyata bagi peninggalan alam dan sejarah itu," kata Budi.
Dia berharap pemerintah pusat dan daerah setempat dapat segera melakukan pendataan kembali untuk menyelamatkan gua-gua di kawasan tersebut dari tindakan eksploitasi manusia.
Perlindungan, lanjut Budi, juga diharapkan dapat dilakukan pemerintah bersama masyarakat terhadap gua-gua yang sudah terdata."Semakin banyaknya kunjungan orang, baik penggiat minat khusus maupun wisatawan awam termasuk menjadi ancaman bagi kelestarian gua-gua di kawasan tersebut," kata Budi Brahmantyo.
Bagi sebagain kalangan, termasuk Budi, sedikit berkurang kekhawatiran dengan masuknya kawasan Karst Maros Pangkep sebagai nominasi warisan dunia oleh organisasi PBB di bidang pendidikan dan budaya, Unesco. Setidaknya, hal itu dapat memancing kepedulian yang lebih dari pemerintah dan masyarakat kita dalam melindungi kawasan yang tak terhingga nilainya tersebut.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), dulu Badan Pengelola Peninggalan Purbakala (BP3), mencatat kawasan Karst Maros Pangkep menyimpan 64 gua prasejarah di wilayah Maros dan 38 gua prasejarah di wilayah Pangkep.
Setelah puas menikmati Gua Kallibong Aloa dengan ornamen-ornamennya yang masih tumbuh, hari ketiga saya manfaatkan untuk menelusuri jejak manusia prasejarah di gua-gua yang ada di kawasan tersebut.
Sebagai penunjuk jalan dan untuk mendapatkan informasi terperinci, seorang juru pelihara gua dari Badan Pemelihara Cagar Budaya (BPCB), Rahim (53) menemani saya dalam penelusuran tersebut.
Dari sekitar 50 gua prasejarah yang ada, saya memilih Gua Kasapao sebagai tujuan pertama saya menyaksikan peninggalan nenek moyang masyarakat setempat. Menurut Rahim, Gua Kasapao termasuk gua dengan banyak lukisan-lukisan purbakala.
Tidak seperti Gua Kallibong Aloa yang memiliki medan "perawan", jalan menuju Gua Kasapao terasa lebih mudah. Untuk menuju saya ke sana saya melewati pematang-pematang sawah dan menaik ratusan anak tangga.
Jaraknya lumayan jauh, sekitar dua kilometer dari jalan raya. Sesekali monyet-monyet muncul dari balik pohon mencuri perhatian saya saat berjalan menuju mulut gua. "Gua Kasapao ini sudah mati dan tidak tumbuh lagi seperti Gua Kallibong Aloa," kata Rahim yang sehari-hari bertugas merawat dan membersihkan gua-gua prasejarah di lokasi tersebut.
Di gua ini kita tidak bisa menemui stalagtit dan stalagmit yang masih tumbuh dan berwarna putih, yang banyak terlihat adalah pilar-pilar besar yang sudah berwarna coklat tua dan sebagian berlumut. Sedikit memasuki ke dalam mulut gua, kita dengan mudah menemukan lukisan cap-cap tangan dan gambar babi rusa di langit-langit gua setinggi antara satu hingga 1,5 meter.
Selain berwarna merah dan hitam, ukuran-ukuran telapak tangan pada lukisan-lukisan itu hampir sama dengan telapak tangan milik orang dewasa saat ini. "Lukisan-lukisan itu tidak bisa luntur meski terkena air. Manusia purba dulu membuatnya dengan ramuan khusus dari tanah dan getah," kata Rahim.
Selain Gua Kasapao, penelusuran jejak manusia prasejarah juga saya lakukan ke Gua Bulo Ribba. Berbeda dengan Gua Kasapao, lukisan-lukisan purbakala yang ada di Gua Bulo Ribba berada di langit-langit gua yang cukup tinggi antara dua hingga tiga meter. Melihat letak lukisan di titik seperti itu, saya belum bisa membayangkan cara manusia purba melukisnya.
"Hingga saat ini belum diketahui bagaiamana cara manusia purba mencapai titik tersebut untuk membuat cap-cap tangan itu," kata Rahim.
Selain dua gua pra sejarah yang saya jelajahi tersebut, di Desa Belae sendiri masih terdapat gua-gua prasejarah lainnya, seperti Gua Kassi, Gua Camming Kana, Gua Bulu Sumi, Gua Sumpang Bita, Gua Patennung, Gua Kajuara, dan sejumlah gua lainnya.
Tanda Kekuasaan
Di kesempatan yang terpisah, saya mendapatkan penjelasan dari ahli geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Brahmantyo mengenai keberadaan lukisan-lukisan purbakala yang ada di gua-gua kawasan Karst Maros Pangkep.
"Bukan tanpa alasan manusia purba membuat lukisan-lukisan itu. Mereka membuatnya sebagai tanda kekuasaan terhadap gua-gua tersebut," kata Budi.
Selain lukisan, lanjutnya, sampah-sampah dapur juga menjadi penanda gua-gua yang ada pernah ditempati oleh manusia purba dulu.
Meski tidak semudah ketika kita melihat lukisan-lukisan purbakala, di sejumlah titik kita bisa menemui cangkang-cangkang kerang sisa makanan manusia purba. Saking lamanya, cangkang-cangkang bekas makanan manusia purba dulu telah menempel kuat di tanah dan stalakmit.
Budi mengatakan, karst Maros Pangkep telah terbentuk sejak 50 juta tahun yang lalu atau berada saat kala Eosen. "Sementara, dilihat dari peninggalan-peninggalan purbakala manusia baru mulai memanfaatkan kawasan tersebut sekitar 5.000 tahun yang lalu," kata Budi.
Perlindungan Cagar Budaya
Dari sejumlah catatan mengatakan, jumlah jejak peradaban manusia prasejarah berupa lukisan-lukisan di dinding gua itu mencapai ratusan saat diteliti oleh ilmuwan asal Swedia, Van Stein Callenfels pada 1932. Namun, jumlah tersebut saat ini telah menyusut akibat aktivitas manusia sendiri.
Budi memperkirakan masih banyak gua-gua dengan peninggalan purbakala di luar jumlah yang terdata di kawasan lindung Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
"Kemungkinan gua-gua serupa masih ada di kawasan yang tidak terlindungi hukum konservasi. Aktifitas penambangan untuk kebutuhan produksi semen dan batu marmer menjadi ancaman nyata bagi peninggalan alam dan sejarah itu," kata Budi.
Dia berharap pemerintah pusat dan daerah setempat dapat segera melakukan pendataan kembali untuk menyelamatkan gua-gua di kawasan tersebut dari tindakan eksploitasi manusia.
Perlindungan, lanjut Budi, juga diharapkan dapat dilakukan pemerintah bersama masyarakat terhadap gua-gua yang sudah terdata."Semakin banyaknya kunjungan orang, baik penggiat minat khusus maupun wisatawan awam termasuk menjadi ancaman bagi kelestarian gua-gua di kawasan tersebut," kata Budi Brahmantyo.
Bagi sebagain kalangan, termasuk Budi, sedikit berkurang kekhawatiran dengan masuknya kawasan Karst Maros Pangkep sebagai nominasi warisan dunia oleh organisasi PBB di bidang pendidikan dan budaya, Unesco. Setidaknya, hal itu dapat memancing kepedulian yang lebih dari pemerintah dan masyarakat kita dalam melindungi kawasan yang tak terhingga nilainya tersebut.
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/13/10/23/mv47f1-jelajah-pangkep-2-menjaga-warisan-nenek-moyang-di-gua-prasejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar