Jelajah Karst Maros Pangkep (1): Surga Tersembunyi di Karst Maros Pangkep
Republika/Aditya Pradana Putra
REPUBLIKA.CO.ID, Perjalanan belum berlangsung lama, baru sekitar 20 menit dari awal mobil meninggalkan Bandara Internasional Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, menuju arah utara.
Sebuah pemandangan langsung menarik mata saya. Deretan perbukitan kapur atau karst yang membentang panjang memancing rasa penasaran untuk membuktikan cerita seorang kawan tentang surga terpendam Karst Maros Pangkep.
Jalanan yang lurus sebagai penghubung Kota Makassar ke Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) mengarahkan saya ke lokasi yang dinilai oleh sebagian orang sebagai salah satu kawasan karst terindah di dunia tersebut.
Tidak sampai 60 menit perjalanan dari bandara, saya sudah sampai lokasi yang berjarak sekitar 32 kilometer dari ibukota Sulawesi Selatan, Makassar.
Bukit karst yang tadi terlihat membentang dari kejauhan kini terlihat menjulang tinggi menyambut kedatangan saya.
Desa Belae, Minasatene, Kabupaten Pangkep menjadi tempat pemberhentian sekaligus titik awal saya dalam penelusuran kawasan Karst Maros Pangkep. Desa tersebut merupakan salah satu kawasan permukiman penduduk terdekat dengan bukit-bukit karst dan banyak terdapat gua di dalamnya.
Turun dari mobil yang mengantar, kaki saya langsung melangkah ke tengah sawah sembari mengeluarkan kamera dari dalam tas. Kekaguman pada pandangan pertama membuat saya tidak sabar untuk segera memotret pemandangan bukit-bukit karst yang seperti pilar-pilar raksasa itu.
"Banyak yang bilang karst di sini terbesar kedua setelah yang ada di Cina," suara laki-laki dengan dialek setempat memecah konsentrasi saya yang asyik memotret.
Tak lama, saya ketahui suara itu berasal dari Sahrul Syaf (35), seorang penduduk setempat yang terkadang juga menjadi pemandu bagi pengunjung yang datang ke lokasi tersebut.
Dia mengatakan, saya bukan orang pertama yang ingin membuktikan keindahan kawasan karst yang juga berada dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan.
"Melalui Desa Belae ini, orang-orang bisa menuju sejumlah titik lokasi gua (dalam bahasa setempat disebut leang) yang memiliki beragam karakter keindahan masing-masing," pamer Sahrul yang membuat saya makin penasaran untuk membuktikannya.
Dari cerita kawan yang pernah singgah serta dari sejumlah referensi bacaan, kawasan karst Maros-Pangkep memiliki banyak gua dengan beragam ornamen yang masih terus tumbuh dan peninggalan-peninggalan purbakala.
Iming-iming keindahan tersebut yang mendorong saya untuk segera membuktikan kebenaran cerita-cerit itu. Namun, upaya pembuktian cerita indahnya kawasan karst tersebut tertunda oleh matahari yang tenggelam saat itu.
Sahrul Syaf mengantar saya ke salah satu rumah penduduk yang dijadikan "home stay" sebagai tempat menginap. Sejak dua tahun terakhir pemerintah desa setempat telah menyiapkan sekitar 20 rumah penduduk sebagai pilihan "home stay" bagi wisatawan maupun peneliti yang datang berkunjung di kawasan karst tersebut.
Ramahnya penduduk dan eksotisnya rumah panggung atau dalam bahasa lokal disebut "balla kayu" semakin memberikan kesan menyenangkan pada hari kedatangan saya di kawasan itu, khususnya Desa Belae.
Kesan tersebut semakin lengkap ketika sang tuan rumah mengajak saya makan malam dengan nasi ikan bolu khas Pangkep dengan sambel segarnya.
Sejenak saya nikmati dulu suasana yang ada untuk selanjutnya membuktikan cerita kawan tentang keindahan Karst Maros Pangkep esok harinya.
Karst, Rumah Untuk Semua
Banyaknya tebing-tebing tinggi menjadikan kawasan karst Maros-Pangkep termasuk ke dalam kategori "tower karst" seperti halnya yang ada di Cina bagian selatan dan Vietnam.
Terletak di dua daerah pemerintahan, Kabupaten Maros serta Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), kawasan karst tersebut memiliki luas sekitar 40 ribu hektare.
"Dari 40 ribu hektare luas Karst Maros Pangkep, 20 ribu hektare di antaranya berada dalam kawasan lindung Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang memiliki luas 43.750 hektare," kata Kepala Bagian Tata Usaha Taman Nasional Babul, Dedy Asriady ketika memberi penjelasan sebelum saya menelusuri kawasan tersebut.
Sejak zaman purba dulu, lanjutnya, kawasan karst ini telah dihuni oleh manusia dengan banyak ditemukan peninggalan purbakala di gua-gua tua, seperti gambar-gambar purbakala, sisa dapur, serta alat-alat yang dulu pernah digunakan manusia purba.
"Saat ini Karst Maros Pangkep masih menjadi rumah bagi manusia, hampir semua menggantungkan hidupnya di kawasan ini dengan bercocok tanam dan sebagian masih memanfaatkan hasil hutan," kata Dedy.
Tak hanya manusia, banyak jenis hewan dan tumbuhan menggantungkan hidupnya di kawasan tersebut, salah satu di antaranya fauna yang kerap ditemui seperti jenis Kera Hitam atau Macaca Maura dan Tersius (Tarsius sp). Sementara, jenis flora yang mudah ditemui seperti pohon ara atau beringin (Fiscus sp) dan jenis kayu hitam (Diospyros celebica).
"Sejauh ini masyarakat setempat dapat hidup berdampingan secara baik dengan penghuni-penghuni lainnya di kawasan karst tersebut, termasuk dengan makhluk-makhluk hidup penghuni dalam gua," kata Dedy.
Sementara itu, ahli zoologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Rahmadi keanekaragaman hayati di kawasan Karst Maros Pangkep juga termasuk yang berada di dalam gua.
"Biota-biota yang hidup di dalam gua dengan pencahayaan minim hingga tanpa cahaya memiliki keunikan yang sangat khas dan endemik atau tidak ada di lokasi lain," kata Cahyo.
Dia mengatakan, biota-biota yang hidup di dalam gua lebih sensitif terhadap unsur asing, termasuk manusia yang memasuki gua.
"Karena mereka terbiasa dengan kegelapan dan keheningan, makhluk-makhluk tersebut sangat sensitif. Bahkan, kehadiran manusia di dalam gua dapat menyebabkan suhu berubah lebih panas dan mempengaruhi kehidupan biota-biota asli penghuni gua," katanya.
Medan Berat
Berbekal informasi yang diberikan pihak Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, saya memulai pembuktian keberadaan surga karst di kawasan tersebut. Gua Kallibong Aloa menjadi tujuan pertama.
Tak sekadar sebagai wisatawan, saya ditemani sejumlah kawan dari gabungan komunitas pecinta gua dengan membawa peralatan standar keamanan penelusuran gua sebagai antisipasi medan yang sulit.
Medan yang sulit itu bukan isapan jempol. Belum setengah jam berjalan menyusuri jalan setapak, kami sudah berhadapan dengan tebing vertikal yang wajib didaki dengan peralatan standar keamanan.
Bagi pemilik badan tambun seperti saya, medan yang nyaris semua vertikal tersebut begitu sulit didaki. Saya membutuhkan waktu lebih lama dan upaya lebih keras dibandingkan para kawan pecinta gua yang bertubuh ramping-ramping.
Untungnya para kawan pecinta gua membantu saya dalam memasang tali pengaman dan pegangan sehingga memudahkan saya untuk mencapai mulut ngua yang berada di atas bukit.
Tak hanya kawan-kawan dari komunitas pecinta gua, alam pun memberikan bantuan saya untuk menaiki tebing terjal. Tak jarang saya juga menemukan lubang batu karang dan akar-akar pohon.
Dengan sedikit bersusah payah, sekitar dua jam saya butuhkan untuk mencapai mulut gua yang berketinggian sekitar 300 meter dari titik awal mendaki.
Sebelum memasuki mulut gua, pemandangan tower-tower karst yang menakjubkan memanjakan mata dan membuat saya terlupa dengan kelelahan saat mendaki tebing. Dari ketinggian itu kita bisa melihat tower-tower karst raksasa berdampingan dengan hijaunya sawah dan rumah-rumah warga setempat.
Tak puas memanjakan mata saya, Kawasan Karst Maros Pangkep kembali menghadirkan visual indah yang dijanjikan oleh cerita kawan dari Jakarta. Kali ini saya melihatnya saat memasuki mulut Gua Kallibong Aloa.
Dengan bantuan lampu senter yang ada di atas helm, ornamen-ornamen indah khas gua di kawasan karst membuat kami takjub melihatnya.
Stalagtit (ornamen yang mengarah turun) dan stalagmit (ornamen yang mengarah ke atas) masih tumbuh dengan tetesan airnya terlihat indah.
Di sejumlah sisi lain di dalam gua, terlihat ornamen-ornamen lain dan dinding gua yang dipenuhi dengan kilauan menyerupai kristal-kristal kecil.
Sebagian ada yang telah membentuk pilar, sebagian juga ada yang menjadi bentuk-bentuk yang unik, beberapa di antaranya stalagmit berbentuk ibu menggendong anaknya dan ornamen berbentuk seperti pelaminan pengantin.
Sesekali hewan-hewan penghuni gua juga terlihat, salah satunya kelabang dengan kaki-kaki yang lebih tinggi dibanding kelabang yang ada di luar gua sempat melintas di antara kami.
Antusiasme saya dalam menelusuri Gua Kallibong Aloa membuat waktu sekitar tiga jam tidak terasa telah dihabiskan di dalam gua. Karena waktu akan senja, pemandu mengajak kami untuk segera keluar dari gua agar kami tidak kesulitan menuruni tebing akibat kondisi gelap di malam hari.
Meski saya belum mengunjungi gua-gua tua dengan peninggalan purbakalanya, tetapi penelusuran saya di Gua Kallibong Aloa pada hari kedua ini sangat memuaskan dan membuktikan sebagian cerita kawan tentang indahnya kawasan tersebut.
Melihat keindahannya, tidaklah salah Gua Kallibong Aloa atau mungkin ratusan gua lainnya di kawasan itu disebut sebagai surga-surga tersembunyi Karst Maros Pangkep.
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/13/10/23/mv469s-jelajah-karst-maros-pangkep-1-surga-tersembunyi-di-karst-maros-pangkep
Sebuah pemandangan langsung menarik mata saya. Deretan perbukitan kapur atau karst yang membentang panjang memancing rasa penasaran untuk membuktikan cerita seorang kawan tentang surga terpendam Karst Maros Pangkep.
Jalanan yang lurus sebagai penghubung Kota Makassar ke Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) mengarahkan saya ke lokasi yang dinilai oleh sebagian orang sebagai salah satu kawasan karst terindah di dunia tersebut.
Tidak sampai 60 menit perjalanan dari bandara, saya sudah sampai lokasi yang berjarak sekitar 32 kilometer dari ibukota Sulawesi Selatan, Makassar.
Bukit karst yang tadi terlihat membentang dari kejauhan kini terlihat menjulang tinggi menyambut kedatangan saya.
Desa Belae, Minasatene, Kabupaten Pangkep menjadi tempat pemberhentian sekaligus titik awal saya dalam penelusuran kawasan Karst Maros Pangkep. Desa tersebut merupakan salah satu kawasan permukiman penduduk terdekat dengan bukit-bukit karst dan banyak terdapat gua di dalamnya.
Turun dari mobil yang mengantar, kaki saya langsung melangkah ke tengah sawah sembari mengeluarkan kamera dari dalam tas. Kekaguman pada pandangan pertama membuat saya tidak sabar untuk segera memotret pemandangan bukit-bukit karst yang seperti pilar-pilar raksasa itu.
"Banyak yang bilang karst di sini terbesar kedua setelah yang ada di Cina," suara laki-laki dengan dialek setempat memecah konsentrasi saya yang asyik memotret.
Tak lama, saya ketahui suara itu berasal dari Sahrul Syaf (35), seorang penduduk setempat yang terkadang juga menjadi pemandu bagi pengunjung yang datang ke lokasi tersebut.
Dia mengatakan, saya bukan orang pertama yang ingin membuktikan keindahan kawasan karst yang juga berada dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan.
"Melalui Desa Belae ini, orang-orang bisa menuju sejumlah titik lokasi gua (dalam bahasa setempat disebut leang) yang memiliki beragam karakter keindahan masing-masing," pamer Sahrul yang membuat saya makin penasaran untuk membuktikannya.
Dari cerita kawan yang pernah singgah serta dari sejumlah referensi bacaan, kawasan karst Maros-Pangkep memiliki banyak gua dengan beragam ornamen yang masih terus tumbuh dan peninggalan-peninggalan purbakala.
Iming-iming keindahan tersebut yang mendorong saya untuk segera membuktikan kebenaran cerita-cerit itu. Namun, upaya pembuktian cerita indahnya kawasan karst tersebut tertunda oleh matahari yang tenggelam saat itu.
Sahrul Syaf mengantar saya ke salah satu rumah penduduk yang dijadikan "home stay" sebagai tempat menginap. Sejak dua tahun terakhir pemerintah desa setempat telah menyiapkan sekitar 20 rumah penduduk sebagai pilihan "home stay" bagi wisatawan maupun peneliti yang datang berkunjung di kawasan karst tersebut.
Ramahnya penduduk dan eksotisnya rumah panggung atau dalam bahasa lokal disebut "balla kayu" semakin memberikan kesan menyenangkan pada hari kedatangan saya di kawasan itu, khususnya Desa Belae.
Kesan tersebut semakin lengkap ketika sang tuan rumah mengajak saya makan malam dengan nasi ikan bolu khas Pangkep dengan sambel segarnya.
Sejenak saya nikmati dulu suasana yang ada untuk selanjutnya membuktikan cerita kawan tentang keindahan Karst Maros Pangkep esok harinya.
Karst, Rumah Untuk Semua
Banyaknya tebing-tebing tinggi menjadikan kawasan karst Maros-Pangkep termasuk ke dalam kategori "tower karst" seperti halnya yang ada di Cina bagian selatan dan Vietnam.
Terletak di dua daerah pemerintahan, Kabupaten Maros serta Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), kawasan karst tersebut memiliki luas sekitar 40 ribu hektare.
"Dari 40 ribu hektare luas Karst Maros Pangkep, 20 ribu hektare di antaranya berada dalam kawasan lindung Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang memiliki luas 43.750 hektare," kata Kepala Bagian Tata Usaha Taman Nasional Babul, Dedy Asriady ketika memberi penjelasan sebelum saya menelusuri kawasan tersebut.
Sejak zaman purba dulu, lanjutnya, kawasan karst ini telah dihuni oleh manusia dengan banyak ditemukan peninggalan purbakala di gua-gua tua, seperti gambar-gambar purbakala, sisa dapur, serta alat-alat yang dulu pernah digunakan manusia purba.
"Saat ini Karst Maros Pangkep masih menjadi rumah bagi manusia, hampir semua menggantungkan hidupnya di kawasan ini dengan bercocok tanam dan sebagian masih memanfaatkan hasil hutan," kata Dedy.
Tak hanya manusia, banyak jenis hewan dan tumbuhan menggantungkan hidupnya di kawasan tersebut, salah satu di antaranya fauna yang kerap ditemui seperti jenis Kera Hitam atau Macaca Maura dan Tersius (Tarsius sp). Sementara, jenis flora yang mudah ditemui seperti pohon ara atau beringin (Fiscus sp) dan jenis kayu hitam (Diospyros celebica).
"Sejauh ini masyarakat setempat dapat hidup berdampingan secara baik dengan penghuni-penghuni lainnya di kawasan karst tersebut, termasuk dengan makhluk-makhluk hidup penghuni dalam gua," kata Dedy.
Sementara itu, ahli zoologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Rahmadi keanekaragaman hayati di kawasan Karst Maros Pangkep juga termasuk yang berada di dalam gua.
"Biota-biota yang hidup di dalam gua dengan pencahayaan minim hingga tanpa cahaya memiliki keunikan yang sangat khas dan endemik atau tidak ada di lokasi lain," kata Cahyo.
Dia mengatakan, biota-biota yang hidup di dalam gua lebih sensitif terhadap unsur asing, termasuk manusia yang memasuki gua.
"Karena mereka terbiasa dengan kegelapan dan keheningan, makhluk-makhluk tersebut sangat sensitif. Bahkan, kehadiran manusia di dalam gua dapat menyebabkan suhu berubah lebih panas dan mempengaruhi kehidupan biota-biota asli penghuni gua," katanya.
Medan Berat
Berbekal informasi yang diberikan pihak Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, saya memulai pembuktian keberadaan surga karst di kawasan tersebut. Gua Kallibong Aloa menjadi tujuan pertama.
Tak sekadar sebagai wisatawan, saya ditemani sejumlah kawan dari gabungan komunitas pecinta gua dengan membawa peralatan standar keamanan penelusuran gua sebagai antisipasi medan yang sulit.
Medan yang sulit itu bukan isapan jempol. Belum setengah jam berjalan menyusuri jalan setapak, kami sudah berhadapan dengan tebing vertikal yang wajib didaki dengan peralatan standar keamanan.
Bagi pemilik badan tambun seperti saya, medan yang nyaris semua vertikal tersebut begitu sulit didaki. Saya membutuhkan waktu lebih lama dan upaya lebih keras dibandingkan para kawan pecinta gua yang bertubuh ramping-ramping.
Untungnya para kawan pecinta gua membantu saya dalam memasang tali pengaman dan pegangan sehingga memudahkan saya untuk mencapai mulut ngua yang berada di atas bukit.
Tak hanya kawan-kawan dari komunitas pecinta gua, alam pun memberikan bantuan saya untuk menaiki tebing terjal. Tak jarang saya juga menemukan lubang batu karang dan akar-akar pohon.
Dengan sedikit bersusah payah, sekitar dua jam saya butuhkan untuk mencapai mulut gua yang berketinggian sekitar 300 meter dari titik awal mendaki.
Sebelum memasuki mulut gua, pemandangan tower-tower karst yang menakjubkan memanjakan mata dan membuat saya terlupa dengan kelelahan saat mendaki tebing. Dari ketinggian itu kita bisa melihat tower-tower karst raksasa berdampingan dengan hijaunya sawah dan rumah-rumah warga setempat.
Tak puas memanjakan mata saya, Kawasan Karst Maros Pangkep kembali menghadirkan visual indah yang dijanjikan oleh cerita kawan dari Jakarta. Kali ini saya melihatnya saat memasuki mulut Gua Kallibong Aloa.
Dengan bantuan lampu senter yang ada di atas helm, ornamen-ornamen indah khas gua di kawasan karst membuat kami takjub melihatnya.
Stalagtit (ornamen yang mengarah turun) dan stalagmit (ornamen yang mengarah ke atas) masih tumbuh dengan tetesan airnya terlihat indah.
Di sejumlah sisi lain di dalam gua, terlihat ornamen-ornamen lain dan dinding gua yang dipenuhi dengan kilauan menyerupai kristal-kristal kecil.
Sebagian ada yang telah membentuk pilar, sebagian juga ada yang menjadi bentuk-bentuk yang unik, beberapa di antaranya stalagmit berbentuk ibu menggendong anaknya dan ornamen berbentuk seperti pelaminan pengantin.
Sesekali hewan-hewan penghuni gua juga terlihat, salah satunya kelabang dengan kaki-kaki yang lebih tinggi dibanding kelabang yang ada di luar gua sempat melintas di antara kami.
Antusiasme saya dalam menelusuri Gua Kallibong Aloa membuat waktu sekitar tiga jam tidak terasa telah dihabiskan di dalam gua. Karena waktu akan senja, pemandu mengajak kami untuk segera keluar dari gua agar kami tidak kesulitan menuruni tebing akibat kondisi gelap di malam hari.
Meski saya belum mengunjungi gua-gua tua dengan peninggalan purbakalanya, tetapi penelusuran saya di Gua Kallibong Aloa pada hari kedua ini sangat memuaskan dan membuktikan sebagian cerita kawan tentang indahnya kawasan tersebut.
Melihat keindahannya, tidaklah salah Gua Kallibong Aloa atau mungkin ratusan gua lainnya di kawasan itu disebut sebagai surga-surga tersembunyi Karst Maros Pangkep.
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/13/10/23/mv469s-jelajah-karst-maros-pangkep-1-surga-tersembunyi-di-karst-maros-pangkep
Tidak ada komentar:
Posting Komentar