GUNUNG TOBA
(Sumber: Haris Firdaus, “Misteri-misteri Terbesar Indonesia”, Solo: Katta, Cet. I, Desember 2008, hal. 41-46)
Danau Toba merupakan danau vulkanik yang diperkirakan terbentuk karena ledakan sebuah gunung berapi super (supervolcano)—yang populer dengan sebutan Gunung Toba—pada sekitar 73.000-75.000 tahun yang lampau. Penemuan awal mengenai asal-usul Danau Toba terjadi pada tahun 1939 ketika Geolog Belanda yang bernama Van Bemmelen melaporkan hasil penelitiannya. Van Bemmelen mengatakan, penelitiannya menunjukkan bahwa Danau Toba ternyata dikelilingi oleh batu apung peninggalan dari letusan gunung api. Bukti itu membuatnya yakin bahwa danau itu terbentuk oleh sebuah letusan yang maha dahsyat.
Gunung Toba, sebagai “penghasil” Danau Toba, merupakan supervolcano karena memiliki kantong magma yang besar. Jika meletus, kaldera yang dihasilkannya akan amat besar. Gunung berapi yang tergolong ke dalam volcano memiliki kaldera ratusan meter tapi supervolcano seperti Gunung Toba bisa menghasilkan kaldera dengan ukuran puluhan kilometer.
Beberapa peneliti seperti Van Bemmelen serta Aldiss dan Ghazali (1984) menduga bahwa Danau Toba terbentuk akibat sebuah letusan yang maha dahsyat. Namun sejumlah peneliti lain, seperti Vestappen (1961), Yokoyama dan Hehanusa (1981), serta Nishimura (1984), menduga danau itu tercipta lewat beberapa kali letusan. Yang terbaru, beberapa penelitian yang dilakukan Knight dan timnya (1986) serta Craig Chesner dan Bill Rose dari Michigan Technological University (1991), menghasilkan dugaan yang lebih detail, yakni: Danau Toba terbentuk karena terjadinya tiga letusan besar.
Menurut para peneliti terbaru itu, masing-masing letusan menghasilkan kaldera. DI atas reruntuhan tiga kaldera besar inilah Danau Toba berdiri. Letusan pertama terjadi sekitar 840 juta tahun lampau yang menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba, yakni daerah Prapat dan Porsea. Kaldera yang dihasilkan dalam ledakan ini sering disebut sebagai Kaldera Porsea. Kaldera itu memiliki bentuk elips dengan dimensi 60 km x 40 km dan meliputi sebagain selatan Danau Toba dari Pulau Samosir, hingga ke daratan wilayah Prapat-Porsea dan sebuah teluk yang menuju Sungai Asahan. Wajah Kaldera Porsea “dirusak” oleh Kaldera Sibadung yang terbentuk kemudian.
Letusan kedua memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi sekitar 500 juta tahun lalu dan menghasilkan kaldera di utara Danau Toba, tepatnya di daerah antara Silalahi dengan Haranggaol. Kaldera hasil letusan kedua ini memiliki diameter “hanya” 14 km dan sering disebut sebagai Kaldera Haranggaol. Sementara itu, letusan ketiga terjadi sekitar 73.000-75.000—ada yang menyebut terjadi pada 74.000, tapi ada pula yang menyebut terjadai antara 71.000-75.000—tahun yang lampau.
Letusan ketiga merupakan yang paling dahsyat—mencapai skala 8 dalam Volcanic Explosivity Index (VEI)—dan menghasilkan kaldera besar yang disebut sebagai Kaldera Sibadung. Bentuknya mirip kacang dan secara kasar memiliki panjang 60 km dengan lebar 30 km. Bentuk kaldera yang unik membuat sejumlah ilmuwan berspekulasi bahwa kaldera ini dihasilkan dari letusan dua gunung kembar. Kaldera Sibadung mencakup seluruh bagian Pulau Samosir dan perairan selatan Danau Toba, kecuali “teluk” di sebelah tenggara yang menjadi outlet ke sungai Asahan.
Letusan Gunung Toba yang terakhir adalah sebuah ledakan yang sungguh luar biasa. Kala meletus, gunung super itu melepaskan energi sebesar 1.000 megaton TNT atau 50 ribu kali lipat ledakan bom atom milik Amerika Serikat yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang, kala Perang Dunia II. Ledakan itu juga menyemburkan muntahan material sampai setinggi 40 km. Muntahan yang disemburkan itu kira-kira sebesar 2.800 km3—dalam versi lain ada yang menyebut sekitar 3.000 km3—berupa ignimbrit, yakni batuan beku sangat asam—yang memang menjadi penanda letusan-letusan gunung berapi besar. Sekitar 800 km3 muntahan material dihembuskan ke atmosfer sebagai debu vulkanis yang lalu terbang ke arah barat karena pengaruh rotasi bumi sebelum kemudian turun mengendap menjadi hujan abu.
Debu vulkanis yang dihasilkan oleh muntahan material 800 km3 tentu suatu hal yang amat mengerikan karena—sebagai perbandingan saja—letusan Gunung Tambora yang “hanya” menghasilkan 400 km3 debu pun sudah mampu mengubah pola cuaca dunia selama bertahun-tahun dan bahkan mengakibatkan hujan lebat yang “salah musim” di Eropa yang berujung pada kekalahan Napoleon pada sebuah pertempuran di Waterloo, Austria.
Gunung Toba juga melemparkan kerikil atau lapili produk letusannya hingga ke India, yang berjarak 3.000 km dari sumber letusan. Seluruh permukaan anak benua India bahkan ditimbuni abu letusan dengan ketebalan rata-rata 15 cm. Di sebuah tempat di India bagian tengah, ketebalan abu hasil letusan Gunung Toba bahkan mencapai 6 m. Debu vulkanik dan sulfur yang disemburkan dari langit dalam letusan selama dua minggu tanpa jeda itu membentuk semacam tirai penghalang cahaya matahari yang luar biasa tebalnya di stratosfer.
Akibat tirai penghalang hasil letusan itu, intensitas cahaya matahari yang menimpa permukaan bumi menurun drastis: menjadi hanya 1% dari nilai normalnya. Suhu dunia secara global menurun drastis hingga 3-5 derajat Celcius dan memicu terjadinya sebuah zaman es. Rendahnya intensitas cahaya matahari juga membuat tumbuh-tumbuhan berhenti melakukan fotosintesis untuk beberapa lama, sebagian bahkan mati, seperti yang terakam di lembaran-lembaran es di Greenland.
Pada tahun 1998, Stanley Ambrose, seorang antropolog dari Univerity of Illinois at Urbana Champaign mengatakan, letusan Gunung Toba telah mengakibatkan kejadian besar yang disebut “musim dingin vulkanis”, yaitu sebuah musim dingin dengan suhu terdingin setelah 1.000 tahun abad es yang terakhir. Dalam tulisannya yang dimuat Journal of Human Evolution, ia memperkirakan kejadian itu terjadi sekitar 71.000 tahun yang lalu. Hipotesis Ambrose didukung oleh sejumlah ahli genetik dan ahli gunung berapi yang membantu penelitiannya. Ambrose memperkirakan—melalui penelitian sedimen abu letusan di Eropa dan Amerika—letusan Gunung Toba terakhir telah mengakibatkan musim dingin selama enam tahun di bumi dan secara signifikan telah menyebabkan perubahan iklim pada kurun waktu seribu tahun kemudian.
Namun teori macam itu tak luput dari kritik. Sejumlah ilmuwan tampaknya tak yakin bahwa letusan Gunung Toba menimbulkan akibat yang sebesar itu. Sekelompok ahli geologi dari Taiwan di bawah pimpinan Meng-Yang Lee adalah salah satu yang meragukan letusan Gunung Toba menimbulkan dampak yang gigantis. Mereka melakukan penelitian terhadap sedimen letusan pertama Gunung Api Toba di dasar Samudera Hindia dan di Laut Kuning. Dalam penelitian itu, mereka menyimpulkan, letusan gunung itu tidak cukup hebat untuk memicu zaman es. Namun mereka yang percaya bahwa Gunung Toba mengakibatkan timbulnya zaman es mengatakan, penelitian yang dilakukan Meng-Yang Lee dan timnya tak dapat dijadikan landasan untuk menilai letusan terakhir Toba karena Meng-Yang Lee hanya meneliti letusan pertama gunung itu.
Akibat letusan Gunung Toba, spesies manusia terkena getahnya. Letusan itu telah berakibat pada kelaparan dan kematian pada banyak sekali manusia di seluruh dunia. Pada kala itu, bahkan telah terjadi apa yang oleh Ambrose disebut sebagai “genetic bottleneck” yang ditandai dengan berkurangnya secara drastis kelimpahan genetik dan populasi manusia. Jumlah individu manusia kala itu—tentu saja dari spesies Homo Sapiens awal seperti Homo Neanderthalensis di Eropa dan Homo Erectus di Asia, dan lainnya—telah merosot drastis hingga tinggal 10% saja dari populasi semula. Ada yang menyebut populasi manusia tinggal sekitar 1.000 hingga 10.000 orang saja di seluruh dunia.
Letusan Gunung Toba juga telah ikut mempengaruhi alur evolusi manusia. Bencana lingkungan yang timbul akibat letusan Gunung Toba diduga telah “memaksa” Homo Neanderthalensis berevolusi menjadi individu yang lebih lemah. Evolusi inilah yang menyebabkan Homo Neanderthalensis menjadi punah untuk selamanya dari muka bumi bersama kawanan mammoth—gajah raksasa yang hidup di zaman es—tatkala terjadi bencana besar berikutnya. Bencana besar yang mengenyahkan Homo Neanderthalensis adalah jatuhnya sebuah asteroid berdiameter 5 km ke bumi dari ketinggian awal yang rendah pada sekitar 12.900 tahun silam. Asteroid yang melepaskan energi 10 juta ton TNT itu meledak pada ketinggian 60 km di atas Eropa dan Amerika.
Sejumlah ilmuwan bahkan menghubungkan kejadian meletusnya Gunung Toba dengan fenomena kode genetika manusia modern yang nyaris identik. Diduga, akibat letusan Gunung Toba puluhan ribu tahun lampau itu, telah terjadi penyusutan populasi manusia secara luar biasa besar sehingga manusia modern saat ini diduga hanya diturunkan dari beberapa orang nenek moyang saja.
Jika dugaan ini benar, maka jawaban kenapa kode genetika manusia modern nyaris identik bisa didapatkan. Segelintir manusia yang menjadi asal-muasal manusia modern itulah yang bisa selamat dari dampak lingkungan akibat letusan Gunung Toba. Teori ini diperkuat oleh sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Eropa ternyata hanya berasal dari tujuh orang ibu yang berasal dari kawasan Timur Tengah.
Sebuah penelitian menunjukkan, di antara sedikit manusia yang selamat dari letusan Gunung Toba adalah manusia yang kala itu hidup di India. Pada saat letusan tersebut mengakibatkan dampak ekologi yang luar biasa besar, manusia India relatif mampu bertahan hidup. Penelitian yang dipimpin antropolog Michael Petragila dari Universitas Cambridge Inggris membuktikan kemampuan manusia India bertahan.
Melalui riset lapangan yang dilakukan di Lembah Jwalapuram, Distrik Kurnool, India, Petraglia dan timnya mengaku telah menemukan sejumlah besar artefak berupa alat-alat batu serpih yang sama tipenya dari atas dan bawah lapisan debu vulkanik Gunung Api Toba. “Penemuan artefak yang sama di bawah dan di atas lapisan debu vulkanik Toba, menunjukkan adanya keberlanjutan populasi di kawasan tersebut setelah letusan terjadi,” tutur Petraglia pada sebuah media massa Indonesia pada Juli 2007 lalu. Semua artefak yang ditemukannya, lanjut Petraglia, didientifikasi berasal dari masa Palelitik Tengah, yakni antara tahun 150.000 sampai 38.000 tahun Sebelum Masehi.
Meski Petraglia dan timnya amat yakin dengan temuannya, Stanley Ambrose—antropolog yang juga pernah meneliti dampak letusan Gunung Toba—meminta mereka tidak buru-buru menarik kesimpulan. Satu-satunya cara untuk membuktikan kesimpulan Petraglia dan timnya, kata Ambrose, adalah menemukan kerangka manusia di bawah lapisan debu vulkanik Gunung Toba yang sama dengan amnusia Afrika. Petraglia sepakat dengan Ambrose namun ia tetap menganggap kesimpulan penelitiannya telah cukup memadai. Pasalnya, artefak yang mendukung kesimpulannya itu jumlahnya mencapai ribuan.
Berdasarkan penelitian, artefak-artefak yang ditemukan itu mengindikasikan kesamaan morfologi dengan alat-alat batu yang dibuat dan digunakan manusia modern di Afrika bagian selatan. Indikasi itu membuat Petraglia dan timnya menduga manusia yang hidup di India kala itu sama modernnya dengan manusia Afrika. Menurut mereka, sangat mungkin manusia India itu berasal dari Afrika yang bermigrasi dan tiba di kawasan tersebut sebelum letusan Gunung Toba menyelimuti wilayah tersebut dengan debu.
Sejumlah bukti disodorkan untuk memperkuat kesimpulan itu. Salah satu anggota tim Petraglia, Chris Clarkson, arkeolog dari Universitas Queensland, Asutralia, mengatakan dugaan tersebut diperkuat oleh temuan sejumlah besar oker di bawah lapisan debu, bersamaan dengan alat bantu. Oker merupakan zat warna yang terbuat dari tanah, yang digunakan manusia awal untuk seni, simbol, atau mengelem alat bantu dengan pegangan kayunya. Penemuan oker, kata Clarkson, secara potensial menunjukkan bahwa manusia India yang artefaknya mereka temukan telah menujukkan perilaku yang lebih kompleks daripada yang sebelumnya dicantelkan pada spesies hominid awal—yakni suku yang mencakup manusia dan makhluk mirip manusia—yang sudah punah.
Namun Will Harcourt-Smith, paleontolog dari Museum Sejarah Alam Amerika di New York, menentang dugaan Petraglia dan timnya. Menurut Smith, manusia modern Afrika yang hidup pada masa yang sama dengan saat letusan Gunung Toba terjadi, sudah hidup dengan simbolisme, perilaku, dan pembuatan alat yang kompleks, demikian pula kehidupan sosialnya. Mereka memang belum seperti manusia modern saat ini tapi kehidupan mereka yang telah maju menunjukkan spesies itu bisa dianggap sebagai manusia modern. Jadi, apa yang dikatakan Petraglia dan timnya, menurut Smith sama sekali tidak tepat: manusia modern Afrika sangat mungkin jauh lebih modern daripada manusia India.
Sumber: http://sainstory.wordpress.com/2010/07/02/gunung-toba/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar