ORANG PAKPAK
Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?
Oleh: Edward Simanungkalit
Orang Pakpak Berdasarkan Migrasi Leluhur
Orang Pakpak berada di wilayah Sumatera bagian Utara dan untuk dapat mengenal Orang Pakpak lebih jauh, maka perlu mengetahui asal migrasi leluhurnya. Arkeolog senior, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama ini di Indonesia. Peneliti dan Direktur Center for Prehistoric Austronesian Studies ini memaparkan bahwa pada masa Pleistosen yang terentang mulai dari 2 juta tahun lalu hingga 11.500 tahun lalu, bumi begitu dinamis. Banyak pergerakan lempeng bumi, aktifnya gunung api, dan peng-es-an (glasiasi), sehingga diduga pada masa itulah banyak manusia dan hewan bermigrasi. Di Indonesia, pertanggalan tertua berasal dari situs Song terus, Pacitan, sekitar 45.000 tahun lalu. Lalu, berlanjut dengan berakhirnya zaman es awal Holosen yang menyebabkan kenaikan air laut, sehingga memicu diaspora pada 10.000 – 5.000 SM, kedatangan penutur Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu hingga zaman fajar sejarah alias protosejarah beberapa abad menjelang Masehi (Majalah Arkeologi Indonesia, 16/03-2014).
Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak memaparkan, bahwa berdasarkan data arkeologi, etnologi, dan paleontologi, terdeteksi adanya arus migrasi, selain penutur Austronesia dan Papua, yang masuk dari sisi barat melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Mereka adalah penutur Austroasiatik. Penutur Austroasiatik ini tiba di Indonesia pada 4.300-4.100 tahun lalu yang kemudian baru disusul penutur Austronesia pada kisaran 4.000 tahun lalu. Austroasiatik dan Austronesia sebenarnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah. Bahasa Austrik awalnya dimanfaatkan masyarakat Yunan, Cina Selatan. Bahasa ini kemudian pecah menjadi dua, yaitu Austroasiatik dan Austronesia, yang kemudian menjadi penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa. Pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar-tembikar berhias tali yang bentuknya sama dengan tembikar di selatan Tiongkok hingga Taiwan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014).
Kembali Prof. Harry Truman Simanjuntak menegaskan, bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya dua arus migrasi besar ke Indonesia yang menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, penutur Austroasiatik yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan, kedua, penutur Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu. Arus migrasi terjadi setelah pertanian di sekitar Cina Selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat hingga terjadi ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Orang Negrito (dari ras Australomelanesoid seperti Papua), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.
Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini berasal dari ras Mongoloid yang berasal dari Cina Selatan, sedang Orang Negrito berasal dari ras Australomelanesoid (campuran ras Australoid dan ras Melanesoid). Orang Negrito ini datang lebih awal ke Sumatera setelah Sundaland tenggelam yang datang dari Hoabinh, Teluk Tonkin, Vietnam. Di pesisir Sumatera bagian Utara, migrasi Orang Negrito ditandai dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe. Penelitian arkeologi yang dilakukan oleh H.M.E. Schurmann di dekat Binjai (1927), Van Stein Callenfels di dekat Medan, Deli Serdang, Kupper di Langsa, Aceh Timur (1930), MacKinnon di DAS Wampu, Prof. Truman Simanjuntak dan Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan (Balarmed) di Aceh Tamiang (2011) menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah datang pada masa Mesolitik, 10.000-6.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:19-21). Belakangan ditambah dengan hasil penelitian Balarmed di Bener Meriah di Aceh (2012) (Wiradnyana, 2011:127). Temuan fosil tertua dari Loyang Mandale, Aceh Tengah berusia 8.430 tahun (Lintas Gayo, 11/07-2014).
Sumatera bagian Utara terbukti sudah didatangi para pendukung budaya Hoabinh, yaitu Orang Negrito pada masa Mesolitik (10.000-6.000 tahun lalu). Mengingat bukit kerang ditemukan juga di Deli Serdang dan Langkat yang telah dilakukan penelitian arkeologi, maka sangat mungkin Orang Negrito datang juga ke Tanah Pakpak. Apalagi di Humbang, Negeri Toba telah ditemukan keberadaan Orang Negrito yang bersebelahan dengan Tanah Pakpak. Kemudian, seperti dikemukakan Harry Truman Simanjuntak sebelumnya, bahwa penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang juga ke Sumatera bagian Utara, sehingga bahasa Pakpak dimenangkan oleh penutur Austronesia. Oleh karena itu, bahasa Pakpak termasuk rumpun bahasa Austronesia (Adelaar, 1981:55), seperti bahasa Simalungun, Toba, Karo, dan Mandailing juga termasuk rumpun bahasa Austronesia.
Selain itu, ada juga jejak Tamil dari India Selatan di dalam masyarakat Pakpak. Orang Pakpak mempunyai versi sendiri tentang asal-usul jatidirinya. Sumber-sumber tutur menyebutkan antara lain (Sinuhaji dan Hasanuddin, 1999/2000:16):
1. Keberadaan orang-orang Simbelo, Simbacang, Siratak, dan Purbaji yang dianggap telah mendiami daerah Pakpak sebelum kedatangan orang-orang Pakpak.
2. Penduduk awal daerah Pakpak adalah orang-orang yang bernama Simargaru, Simorgarorgar, Sirumumpur, Silimbiu, Similang-ilang, dan Purbaji.
3. Dalam lapiken/laklak (buku berbahan kulit kayu) disebutkan penduduk pertama daerah Pakpak adalah pendatang dari India yang memakai rakit kayu besar yang terdampar di Barus.
4. Persebaran orang-orang Pakpak Boang dari daerah Aceh Singkil ke daerah Simsim, Keppas, dan Pegagan.
5. Terdamparnya armada dari India Selatan di pesisir barat Sumatera, tepatnya di Barus, yang kemudianberasimilasi dengan penduduk setempat.
Kemiripan hasil-hasil budaya Pakpak merupakan buah dari kontak dagang Pakpak dengan India (Tamil). Khususnya Barus merupakan bandar internasional, menjadi gerbang bagi transfer budaya dari India terhadap budaya Pakpak yang terjadi setidaknya sejak akhir abad ke-10 M atau awal abad ke-11 M. Sejumlah unsur budaya India itu telah memperkaya kebudayaan Pakpak sebagaimana dapat dilihat jejak-jejaknya hingga kini (Soedewo, 2008, dalamhttps://balarmedan.wordpress.com).
Diceritakan bahwa nenek-moyang awal Pakpak adalah Kada dan Lona yang meninggalkan kampungnya di India lalu terdampar di Pantai Barus dan mereka terus masuk hingga ke Dairi dulu. Mereka mempunyai anak yang diberi nama HYANG, nama yang dikeramatkan di Pakpak. Kemudian hari Hyang menikahi putri Raja Barus dan mempunyai 8 orang anak (https://mozaikminang.wordpress.com, 16/10-2009), yaitu: Mahaji, Perbaju Bigo, Ranggar Jodi, Mpu Bada, Raja Pako, Bata, dan Suari (Putri). Parultop Padang Batanghari memiliki putri Pinggan Matio, yang dikawini Raja Silahisabungan. Pdt. Abednego Padang Batanghari menyebutkan bahwa Parultop merupakan generasi kesembilan dari marga Padang Batanghari (Tabloid TANO BATAK, Edisi Oktober 2010).
Jadi, dari migrasi yang datang ke Sumatera bagian Utara tadi terlihat yaitu: Orang Negrito, penutur Austroasiatik, penutur Austronesia, dan Orang Tamil dari India Selatan. Berdasarkan migrasi leluhur tadi, maka Orang Pakpak diperkirakan terutama merupakan campuran dari 4 (empat) penutur bahasa, yaitu:
1. Orang Negrito (Masa Mesolitik: 10.000 - 6.000 tahun lalu).
2. Penutur Austroasiatik (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
3. Penutur Austronesia (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
4. Orang Tamil dari India Selatan (Masa periode tahun masehi).
Bahasa Pakpak yang termasuk rumpun bahasa Austronesia merupakan bukti bahwa penutur Austronesia sudah datang ke Tanah Pakpak di masa lalu sebagai masyarakat awal pada masa prasejarah seperti Orang Karo. Sementara Orang Karo telah terbukti melalui DNAnya, karena ditemukan unsur: Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil.
Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula
Pada Juli 2013, Balai Arkeologi Medan melakukan penelitian "Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir" dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survei arkeologi. Tinggalan megalitik yang mereka temukan di Samosir, yaitu: sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, kubur pahat batu, tambak batu, batu dakon, menhir, patung-patung batu seperti patung pangulu balang, lesung batu, palungan batu, bottean, sakkal, gajah dari batu paha, parik (pagar batu), dan punden berundak. Tempayan batu seperti disebutkan tadi ada ditemukan di Sumatera Selatan yang berasal dari millenium kedua masehi. Rumah adat memiliki pola arsitektur rumah panggung melengkung yang merupakan ciri budaya Dong Son. Pola hias di rumah adat dalam bentuk berbagai macam binatang dan sulur-suluran yang dibuat dengan hiasan rumbai-rumbai seperti bulu-bulu yang panjang baik itu pada pahatan flora ataupun pahatan fauna mengingatkan akan hiasan model yang serupa pada benda-benda perunggu yang berasal dari Dong Son. Gambar cecak sebagai lambang kejujuran dan atau kebenaran bagi para pemimpin yang memimpin. Pada tradisi paleometalik Dong Son sangat umum dikenal motif-motif antara lain sulur-suluran, spiral atau pilin berganda, geometris berupa segi empat, bulatan, tumpal maupun belah ketupat dan motif-motif itu masih selalu hadir pada berbagai aspek tinggalan budaya Toba (Wiradnyana & Setiawan, Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir, 2013).
Berdasarkan penelitian arkeologi di atas, disimpulkan bahwa pendukung budaya Dong Son yang merupakan penutur bahasa Austronesia telah datang dari Cina Selatan setelah melalui Taiwan terus berakhir di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu (Wiradnyana, 2015). Hal ini sesuai dengan Teori Out of Taiwan yang sangat terkenal itu. Mark Lipson (Juni 2014) --- dengan menggunakan data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome Diversity Panel (HGDP), yang data awalnya dipasok oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman --- melakukan analisa statistikal atas DNA penutur Austronesia. Analisa atas DNA penutur Austronesia itu termasuk DNA Orang Toba (Mark Lipson, New statistical genetic methods for elucidating the history and evolution of human populations, 2014:85-90) dapat disimpulkan bahwa Orang Taiwan yang datang ke Sianjur Mula-mula berasal dari suku Amis dan suku Atayal, yang kedua-duanya merupakan suku asli Taiwan. Khusus suku Amis dan suku Atayal merupakan keturunan dari suku H’Tin dari Thailand (Austroasiatik) yang sudah bercampur dengan penutur Austronesia, sehingga kedua suku ini memiliki DNA: Austronesia + Austroasiatik. Diperkirakan percampuran itu terjadi di Cina Selatan dan oleh karena ledakan penduduk, mereka pun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Amis dan suku Atayal tadi. Jadi, DNA penghuni awal Sianjur Mula-mula terdiri dari Austronesia dan Austroasitik.
Antara Fakta atau Mitos
Menurut penuturan W.M. Hutagalung, dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: TAROMBO DOHOT TURITURIAN NI BANGSO BATAK” (1926), bahwa Si Raja Batak adalah keturunan dari Raja Ihat Manisia sebagai hasil perkawinan dari Si Borudeak Parujar dengan Raja Odapodap. Mereka berdua adalah penghuni langit ketujuh yang turun ke bumi dan mendiami Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Puhit. Mereka berdua turun-naik melalui puncak Pusuk Buhit ke Sianjur Mula-mula dan Sianjur Mula-mula dipandang sebagai kampung awal persebaran manusia. Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia. Dalam tarombo dan turiturian itu diceritakan bahwa keturunan Si Raja Batak ada sebagian ke tanah Pakpak membentuk Batak Pakpak, ke tanah Karo membentuk Batak Karo, ke tanah Simalungun membentuk Batak Simalungun, dan ke tanah Mandailing membentuk Batak Mandailing. Begitulah ringkasan penuturan W.M. Hutagalung dalam bukunya yang laris manis itu.
Apabila melihat kepada Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula, maka jelas bahwa Si Raja Batak adalah Orang Taiwan yang memiliki DNA Austronesia dan Austroasiatik. Sementara Orang Pakpak merupakan keturunan dari campuran Orang Negrito yang datang pada masa Mesolitik, penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia yang datang pada masa Neolitik, serta Orang Tamil. Maka, jelas berbeda kedatangannya yang jauh lebih dulu kedatangan dari Orang Negrito, penutur Austroasiatik, dan penutur Austronesia dibanding Si Raja Batak yang diperkirakan datang sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu. Kemudian dari campuran tadi jelas bahwa Orang Pakpak berbeda secara genetik dengan Si Raja Batak yang Orang Taiwan tadi. Sehingga, pernyataan bahwa Orang Pakpak adalah keturunan Si Raja Batak bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
Sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di Negeri Toba, dalam bukunya: “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia” (2000:339), Peter Belwood menulis bahwa Orang Negrito sudah datang ke Humbang di Negeri Toba pada sekitar 6.500 tahun lalu. Peter Belwood merujuk pada hasil penelitian paleontologi yang dilakukan Bernard K. Maloney di Pea Simsim, Pea Sijajap, Pea Bullock, dan Tao Sipinggan daerah Humbang. Penelitian Maloney ini dan penelitian Balai Arkeologi Medan di Samosir yang sudah disebutkan tadi dikonfirmasi oleh hasil analisa DNA Orang Toba oleh Mark Lipson (2014:87) dengan menyimpulkan bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Maka, jelas bahwa Orang Toba bukan hanya Orang Taiwan (Austronesia+Austroasitik), tetapi campuran Orang Taiwan dan Orang Negrito. Orang Negrito sudah ada mendiami Humbang sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit, Negeri Toba, sehingga pernyataan bahwa Sianjur Mula-mula merupakan awal persebaran manusia bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
Kesimpulan
Orang Pakpak bukanlah Orang Taiwan seperti Si Raja Batak yang Orang Taiwan, melainkan campuran Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Orang Pakpak bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Orang Pakpak lebih dulu sampai di Tanah Pakpak yang sudah datang pada masa prasejarah daripada Si Raja Batak yang sampai di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sehingga migrasi Orang Toba ke Tanah Pakpak tidak menjadikan Orang Pakpak menjadi keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Jelas bahwa tidak ada hubungan genealogis Si Raja Batak dengan Orang Pakpak, sementara bahasa Toba dan bahasa Pakpak termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Akhirnya, pernyataan bahwa Orang Pakpak adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos! ***
Catatan Kaki:
*** ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; SI RAJA BATAK ATAU SI RAJA TOBA?;ORANG SIMALUNGUN KETURUNAN SI RAJA BATAK DARI SIANJUR MULAMULA - PUSUK BUHIT; ORANG KARO: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?; ORANG SIMALUNGUN: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?; ORANG MANDILING: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?; oleh: Edward Simanungkalit dalam Blog SOPO PANISIOAN di http://sopopanisioan.blogspot.com
(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar