Kamis, 30 Juli 2015

'Artefak Alien' Misterius Berumur 3 Miliar Tahun

'Artefak Alien' Misterius Berumur 3 Miliar Tahun

Logam Klerksdorp Spheres. Foto
BAKUL - Di kota kecil Ottosdal, di barat laut dari pusat kota Afrika Selatan ada sebuah tambang, di mana penambang yang bekerja di tambang pyrophyllite ini telah menggali bola logam misterius yang dikenal sebagai Klerksdorp Spheres.

Logam ini berwarna coklat kemerahan yang gelap, berbentuk bola agak pipih, dan ukuran dari kurang dari satu sentimeter sampai sepuluh sentimeter. Dan beberapa di antaranya memiliki tiga alur paralel bagaikan garis khatulistiwa.

Logam ini memiliki penampilan luar biasa dan cukup mencolok. Logam yang tertua diyakini berusia sekitar 3 miliar tahun, di mana saat itu Bumi masih terlalu muda untuk kehidupan cerdas.

Tidak heran, logam-logam ini telah menarik perhatian banyak orang dan juga spekulasi dari tidak hanya masyarakat ilmiah, namun berbagai kelompok pinggiran termasuk penciptaan dan pendukung "teori astronot kuno".

Klerksdorp Spheres sering diklasifikasikan sebagai "artefak alien", istilah yang diciptakan oleh seorang naturalis Amerika dan cryptozoologist, untuk menunjukkan benda-benda sejarah, arkeologi, paleontologi atau bunga yang ditemukan dalam konteks yang sangat tidak biasa, atau tampak mustahil yang bisa menantang kronologi sejarah konvensional dengan menjadikannya "terlalu maju" untuk tingkat peradaban yang ada pada saat itu.

Logam-logam ini diklaim memberikan bukti-bukti yang menunjukkan adanya makhluk cerdas, sebelum manusia ada di Bumi ini. Klerksdorp Spheres, bagaimanapun, tidak berasal dari luar bumi atau juga misterius.

Bola ini sebenarnya concretion yang dibentuk oleh presipitasi sedimen vulkanik, abu, atau keduanya, setelah 3 miliar tahun yang lalu. Konkret ini sering berbentuk bulat bagai telur atau berbentuk bulat, maka sering keliru dan disangka telur dinosaurus, atau puing-puing dari luar angkasa.

Contoh Klerksdorp Spheres yang paling terkenal adalah "kelereng Moqui" yang ditemukan di Navajo Sandstone di Utah selatan, dan konkret karbonat ditemukan di Schoharie County, New York. Concretion serupa dan beruur 2,8 miliar tahun juga ditemukan di Hamersley, Australia.

Namun tidak sedikit Klerksdorp Spheres yang dipalsukan. Dan untuk mengujinya hanya bisa dilakukan oleh NASA, dengan mengujinya di gravitasi nol.

Kini spesimen dari Klerksdorp Spheres disimpan di Museum Klerksdorp di Klerksdorp, sebuah kota sekitar 70 kilometer dari Ottosdal.


Sumber:
http://www.bakul.my.id/2015/07/artefak-alien-misterius-berumur-3.html


Kamis, 23 Juli 2015

ORANG TOBA DENGAN SIANJUR MULA-MULA

ORANG TOBA DENGAN SIANJURMULAMULA
Oleh: Edward Simanungkalit *


Buku “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak”, yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926:1-32), menceritakan mitologi penciptaan. Menurut ceritanya,  bahwa Raja Ihatmanisia dan Boruitammanisia adalah penghuni awal Sianjurmulamula (Sianjurmulajadi – Sianjurmulatompa), yang dilahirkan penghuni langit ketujuh. Singkat ceritanya, mereka pun memiliki keturunan di Sianjurmulamula, dan Sianjurmulamula menjadi pusat awal persebaran manusia, karena dari sanalah manusia menyebar ke seluruh penjuru bumi. Demikian diceritakan oleh W.M. Hutagalung di dalam bukunya yang laris manis itu.
                         
Othe                 
 Orang Negrito di Humbang
          Orang Negrito adalah ras Australomelanesoid, yang merupakan pendukung budaya Hoabinh, telah lebih dulu datang ke Humbang di Negeri Toba. Peter Belwood (2000:339) menulis bahwa 6.500 tahun lalu telah ada aktivitas manusia di Pea Simsim sebelah barat Nagasaribu, Humbang. Belwood merujuk kepada hasil penelitian paleoekologi yang dilakukan oleh Bernard Kevin Maloney di Humbang. Selain di Pea Sim-sim,  penelitian Maloney masih dilanjutkan  di Tao Sipinggan dekat Silaban Rura, di Pea Sijajap daerah Simamora Nabolak, dan di Pea Bullock dekat Silangit, Siborong-borong. Pendukung budaya Hoabinh itu datang melalui pesisir timur Sumatera bagian Utara dari dataran Hoabinh di dekat Teluk Tonkin, Vietnam.
          Orang Negrito ini memiliki ciri-ciri: berkulit gelap, berambut hitam dan keriting, bermata bundar, berhidung lebar, berbibir penuh, serta berbadan relatif kecil dan pendek. Berdasarkan kedekatan genetik yang ditemukan, maka diketahui bahwa mereka bermigrasi dari Afrika Timur melalui Asia Selatan terus Asia Tenggara hingga Papua. Mereka merupakan bangsa setengah menetap, pemburu, bercocok-tanam sederhana, dan bertempat tinggal di gua. Mereka juga menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling, dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna merah, mata panah dan flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau kerang-kerangan. Kebudayaan Hoabinh berasal dari zaman batu tengah di masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu.

Orang Taiwan di Sianjurmulamula
          Orang Taiwan dari ras Mongoloid sampai ke Sianjurmula-mula di sekitar 800 tahun lalu (+/- 200 tahun) berdasarkan hasil penelitian arkeologi yang dilakukan Balai Arkeologi Medan di Kabupaten Samosir pada Juli 2013. Dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survey arkeologi, maka disimpulkan bahwa para pendukung budaya Dong Son ini telah datang dari China Selatan melalui Taiwan, terus ke Filipina dan dilanjutkan lagi ke Sulawesi. Kemudian terus ke Sumatera hingga sampai di Sianjurmulamula (Wiradnyana & Setiawan, 2013:7). Penulis lebih condong berpendapat bahwa mereka masuk dari Barus ke Sianjurmulamula mengingat Barus merupakan pelabuhan niaga internasional pada masa itu dan jaraknya  lebih dekat daripada pantai Timur.
          Budaya Dong Son ini merupakan hasil karya kelompok bangsa Austronesia dari ras Mongoloid, dan bangsa Austroasiatik juga umumnya dari ras Mongoloid. Kebudayaan Dong Son ini merupakan kebudayaan zaman perunggu di mana mereka  telah mengenal teknologi pengolahan logam, pertanian, berternak, menangkap ikan, bertenun, membuat rumah, dll. Masyarakat Dong Son adalah masyarakat petani dan peternak yang handal dan terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka  juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan, tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang bercadik dua.

 

Studi Genetik Orang Toba
        Mark Lipson (2014:87) meneliti bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasitik 25%, dan Negrito 20%.   Orang Taiwan  yang datang  ke Sianjurmulamula   adalah  suku Ami  dan  suku  Atayal  yang
merupakan suku asli Taiwan. Mereka merupakan keturunan suku H’Tin dari Thailand yang merupakan pendukung kebudayaan Austroasiatik. Suku H’Tin, pendukung kebudayaan Austrosiatik ini, mengalami percampuran dengan pendukung budaya Dong Son dalam kelompok kebudayaan Austronesia. Keturunan suku H’Tin yang sudah bercampur tadi inipun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Ami dan Atayal, sehingga kedua suku ini merupakan campuran Austronesia dan Austroasiatik. Mereka ini juga bermigrasi sampai ke Sianjurmulamula dan bercampur lagi dengan Orang Negrito yang lebih dulu tiba di Humbang, terbukti dari DNA Orang Toba yang memiliki unsur Negrito  (Lipson, 2014:83-90).

         Akhirnya, penghuni awal Sianjurmulamula ternyata bukan keturunan penghuni langit ketujuh, tetapi datang dari Taiwan. Oleh karena itu, Pusuk Buhit yang disebut-sebut sebagai lintasan naik-turun dari langit ketujuh ke Sianjurmulamula ternyata bukanlah fakta dan hanyalah mitos selama ini. Sianjurmulamula ternyata bukanlah Sianjurmulajadi – Sianjurmulatompa, karena Orang Negrito sudah datang ke Humbang sekitar 6.500 tahun lalu. Sementara Barus sudah menjadi bandar niaga internasional dengan penduduk multi etnis pada abad ke-9-12 Masehi. Jadi,  berdasarkan fakta-fakta tadi terbukti bahwa Sianjurmulamula bukanlah awal persebaran manusia, yang ternyata hanya merupakan mitos selama ini. ***



Catatan Kaki:
*** ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; dan, ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; PUSUK BUHIT BUKAN GUNUNG LELUHUR ORANG TOBA; oleh Edward Simanungkalit.



(*)  Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban




Stephen Hawking Pimpin Proyek Pencarian Alien

Stephen Hawking Pimpin Proyek Pencarian Alien

on 
Liputan6.com, London - Lewat proyek 'Breakthrough Listen' yang dibiayai miliuner Rusia, Yuri Milner, Profesor Stephen Hawking akan mencari kehidupan lain di luar Bumi di jajaran bintang Galaksi Bima Sakti.

Para astronom akan meneropong melalui teleskop paling tajam sedunia yang berada di AS dan Australia serta sinyal radio yang kuat. 

Menurut Hawking, kekuatan alat terbaru ini 50 kali lebih sensitif dari alat sebelumnya dan lebih tajam 10 kali lipat lebih tajam untuk menangkap gambar.

Green Bank Observatory di West Virgina, tempat teleskop terbesar di planet ini dan Parkes Observatory di New South Wales telah dikontrak oleh proyek yang akan dimulai Januari 2016 itu. Keduanya akan tandem dengan Lick Observatory di California untuk mengirimkan gambar yang paling tajam yang pernah dibuat oleh manusia lewat teleskop.

Diluncurkan hari Senin 20 Juli  di Royal Society di London,  proyek ini dikerjakan oleh para ahli terkenal di bidangnya dengan Kosmologis Stephen Hawking sebagai kepala proyek Breakthrough Listen. Mereka adalah Lord Martin Rees, astronom kerajaan, Geoff Marcy, penemu puluhan planet di galaksi Bima Sakti, dan Frank Drake, veteran astronomer dari US yang mumpuni dalam upaya menemukan makhluk ekstraterresterial lewat SETI atau Search for extraterrestrial intelligence.
 
Menurut Hawking, usaha ini sangat penting karena menjawab pertanyaan paling hakiki manusia, "apakah kita punya teman di luar sana?"

"Manusia pada dasarnya makhluk pencari, makhluk pembelajar dan punya keingintahuan yang tinggi. Penting buat kita untuk mempertanyakan apakah kita sendirian di kegelapan semesta," kata Hawking seperti dikutip dari Guardian. 

Proyek ini sendiri akan berjalan dalam 'sunyi', maksudnya, Bumi tidak akan memancarkan sinyal suara ke luar planet manusia. Proyek itu bertujuan mendengarkan sinyal radio di luar angkasa sana.

Ada jutaan suara di luar angkasa, para astronom harus benar-benar bisa memilih mana suara 'sampah', suara radio transitor, atau suara orang iseng dengan suara dari SETI.
Hawking sendiri telah mewanti-wanti untuk tidak berisik dan jangan coba-coba membalas sinyal apapun yang diterima karena bisa jadi makhluk di luar angkasa mempunyai kebiasaan melakukan kekerasan, sama dengan makhluk di Bumi, seperti agresif dan ancaman melakukan genosida. 

"Sebuah peradaban bisa mendengar suara dari Bumi. Suara kita akan diterima miliaran tahun ke depan oleh mereka. Jadi, bisa saja mereka jauh lebih maju dari kita saat suara diterima olehnya, dan melihat peradaban di Bumi tidak sama seperti kita melihat bakteria," kata ilmuan paling kontroversial di jagad raya ini. 

Proyek US$100 juta atau Rp 1,3 triliun ini dibiayai oleh Yuri Milner, seorang miliuner dari Rusia. Ia lebih tertarik membiayai proyek-proyek pencarian makhluk ET dibanding menyelesaikan Phd nya di bidang fisika.

Nama Yuri dipilih orangtuanya karena kelahirannya persis sama saat Yuri Gagarin berhasil ke luar angkasa tahun 1961.

"Tanggung jawab kita sebagai manusia yang mampu membuat peralatan canggih untuk menjawab pertanyaan paling hakiki, 'apakah kita sendirian?'" kata Milner.

Kepala ilmuan NASA Ellen Stofan pada 7 April lalu dalam sebuah diskusi panel mengatakan bahwa manusia akan menemukan jejak makhluk luar angkasa dalam 10 tahun ke depan.

"Saya pikir, usaha manusia mendapatkan indikasi kuat bahwa ada kehidupan lain di luar Bumi akan terjadi dalam satu dekade ke depan. Dan bukti nyata berhadapan dengan mereka dapat terjadi 20 hingga 30 tahun lagi," katanya seperti dikutip dari SPACE. (Rie/Ein)


Sumber:
http://news.liputan6.com/read/2276944/stephen-hawking-pimpin-proyek-pencarian-alien



Ditemukan, Kolam di Kawah Gunung 'Pemusnah' Peradaban Atlantis

Ditemukan, Kolam di Kawah Gunung 'Pemusnah' Peradaban Atlantis

on 
Liputan6.com, Santorini - Sekitar 3.600 tahun lalu, erupsi dahsyat gunung berapi terjadi di Kepulauan Santorini yang terletak di Laut Aegea, Yunani. Letusan tersebut melenyapkan peradaban Minoa yang ada di Pulau Kreta yang ada di dekatnya. Sebuah peristiwa kolosal yang mungkin menginspirasi mitos yang menyandera imaji manusia: misteri peradaban Atlantis yang hilang. 

Letusan gunung di Santorini melepaskan 60 km kubik magma, 6 kali lipat yang dimuntahkan Krakatau pada 1883. Hanya erupsi Tambora, yang juga ada di Indonesia, pada 1815, yang mengalahkan kedahsyatannya. 

Dari udara, kaldera bekas erupsi terlihat seperti gugusan yang dikelilingi pulau-pulau yang luasnya lebih besar di Laut Aegea. Selama lebih dari 4 ribu tahun pascaletusan, kaldera yang sebagian besar berada di bawah air mengalami serangkaian letusan kecil. Santorini pernah menunjukkan tanda-tanda kebangkitannya pada Januari 2011 sebelum akhirnya kembali "tidur". 

Baru-baru ini, menggunakan kendaraan otonom bawah air, para ilmuwan menguak keberadaan sejumlah kolam dengan air berwarna putih berkilauan di dasar laut Santorini. Di kedalaman mencapai 250 meter.

Air tersebut keluar dari kaldera gunung berapi. "Kolam susu" yang sebelumnya tak pernah dilihat mata manusia itu dijuluki Kallisti Limnes -- yang berarti 'danau paling indah' dalam Bahasa Yunani Kuno. 

Penampakannya terekam dalam video yang diambil kendaraan bawah laut pada Juli 2012. Kolam-kolam berdiameter 1-5 meter itu mengandung kadar karbondioksida yang tinggi, yang dapat membuat air padat dan cenderung membentuk genangan tersendiri di kedalaman laut. 

"Seperti 'black and tan', campuran Guinness (bir hitam) dan Bass (ale), dua cairan tersebut nyatanya selalu terpisah," ujar Rich Camilli, ilmuwan Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI), sekaligus pemimpin penulis studi yang dipublikasikan pada 16 Juli 2015 di jurnal Scientific Reports, seperti dikutip dari situs sains LiveScience, Rabu (22/7/2015).

"Erupsi gunung berapi Santorini pada 1600 sebelum Masehi melenyapkan peradaban Minoa yang tinggal di pesisir Laut Aegea," kata Camilli dalam pernyataannya. "Dan kini, kolam yang tak pernah terlihat di kawah gunung itu mungkin membantu peradaban kita menjawab pertanyaan penting tentang bagaimana perilaku karbondioksida di dalam laut." 

Pulau yang indah itu, Santorini atau Thira, sebenarnya adalah tepi sebuah kaldera besar yang tersisa setelah letusan. Bagian dalam kaldera adalah titik aktivitas hidrotermal. Titik itu juga yang diinvestigasi Camilli dan para koleganya pada 2012 -- setahun setelah tanda-tanda peningkatan aktivitas terdeteksi.

Menggunakan 2 kendaraan bawah air otonom, para peneliti mengeksplorasi kandungan kimia dalam air di kawah. Mereka menemukan kolam berisi cairan putih mirip susu di cekungan sepanjang dinding kaldera.

Memang, perbedaan massa pada air laut bukan kali pertama ditemukan. Faktanya, para peneliti sebelumnya meneliti kolam air garam yang memisahkan diri dari air laut di sekelilingnya -- karena kandungan garamnya yang ekstra tinggi. 

"Namun, dalam kasus di Santorini peningkatan kepadatan kolam bukan dikarenakan kadar garam," kata Camilli. "Kami percaya mungkin CO2 lah yang membuat air padat dan memicu terbentuknya kolam terpisah."

Pengamatan para ilmuwan menarik. Sebab, karbon dioksida selama ini dianggap menyebar melalui laut setelah dilepaskan dari aktivitas geologi. Karbondioksida bawah tanah bisa berasal dari magma, batu kapur, atau batuan sedimen lain yang mengalami tekanan luar biasa.

Berkat kandungan karbondioksida, genangan tersebut memiliki kadar keasaman yang tinggi yang tak cocok dihuni makhluk bernyawa.

Namun, kolam itu masih mungkin menjadi rumah bagi organisme berkomposisi silika. Tubuh makhluk mikroskopis yang mirip kaca itu mungkin bisa menjelaskan warna opal dari kolam tersebut.

Temuan itu dapat membantu para peneliti memahami cara penyimpanan karbon bawah laut, salah satu cara yang potensial untuk memperbaiki kondisi akibat perubahan iklim. 

Sekaligus juga menyediakan alat untuk memonitor potensi erupsi gunung di Santorini, pada masa yang akan datang.

(Ein/Tnt)

Sumber:
http://news.liputan6.com/read/2277314/ditemukan-kolam-di-kawah-gunung-pemusnah-peradaban-atlantis?


Rabu, 22 Juli 2015

PUSUK BUHIT BUKAN GUNUNG LELUHUR ORANG TOBA

PUSUK BUHIT BUKAN GUNUNG LELUHUR ORANG TOBA
Oleh: Edward Simanungkalit *


Di dalam mitologi penciptaan menurut buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak”, yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926:1-32), diceritakan bahwa penghuni awal Sianjurmulamula merupakan keturunan dari penghuni langit ketujuh, Si Borudeak Parujar dan Raja Odapodap. Mereka turun dari langit ketujuh dan kawin di bumi dengan kampung awalnya ialah Sianjurmulamula. Setelah mereka memiliki keturunan Raja Ihatmanisia dan Boru Itammanisia, para penghuni langit ketujuh suatu kali secara beramai-ramai turun melalui puncak Pusuk Buhit ke Sianjurmulamula. Setelah misi mereka selesai, maka di bawah pimpinan Mulajadi Nabolon berangkatlah mereka kembali naik ke langit ketujuh melalui Pusuk Buhit disertai Raja Odapodap dan si Borudeak Parujar. Sedang Debata Asiasi dan Raja Inggotpaung tinggal di Sianjurmulamula untuk mengurus Raja Ihatmanisia dan Boru Itammanisia. Singkat ceritanya, mereka pun memiliki keturunan di Sianjurmulamula, dan Sianjurmulamula menjadi pusat awal persebaran manusia, karena dari sanalah manusia menyebar seluruh penjuru bumi.
Hasil gambar untuk pusuk buhit
                                                               Pusuk Buhit

Orang Negrito di Humbang
          Orang Negrito adalah ras Australomelanesoid, yang merupakan pendukung budaya Hoabinh, telah lebih dulu datang ke Humbang di Negeri Toba. Peter Belwood (2000:339) menulis bahwa 6.500 tahun lalu telah ada aktivitas manusia di Pea Simsim sebelah barat Nagasaribu, Humbang. Belwood sebenarnya merujuk kepada hasil penelitian paleoekologi yang dilakukan oleh Bernard Kevin Maloney di Humbang. Selain di Pea Sim-sim,  penelitian Maloney masih dilanjutkan  di Tao Sipinggan dekat Silaban Rura, di Pea Sijajap daerah Simamora Nabolak, dan di Pea Bullock dekat Silangit, Siborong-borong. Pendukung budaya Hoabinh itu datang melalui pesisir timur Sumatera bagian Utara dari dataran Hoabinh di dekat Teluk Tonkin, Vietnam.
          Orang Negrito ini memiliki ciri-ciri: berkulit gelap, berambut hitam dan keriting, bermata bundar, berhidung lebar, berbibir penuh, serta berbadan relatif kecil dan pendek. Berdasarkan kedekatan genetik yang ditemukan, maka diketahui bahwa mereka bermigrasi dari Afrika Timur melalui Asia Selatan terus Asia Tenggara hingga Papua. Mereka merupakan bangsa setengah menetap, pemburu, bercocok-tanam sederhana, dan bertempat tinggal di gua. Mereka juga menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling, dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna merah, mata panah dan flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau kerang-kerangan. Kebudayaan Hoabinh berasal dari zaman batu tengah di masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu.

Orang Taiwan di Sianjurmulamula
          Orang Taiwan dari ras Mongoloid sampai ke Sianjurmula-mula di sekitar 800 tahun lalu (+/- 200 tahun) berdasarkan hasil penelitian arkeologi yang dilakukan Balai Arkeologi Medan di Kabupaten Samosir pada Juli 2013. Dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survey arkeologi, maka disimpulkan bahwa para pendukung budaya Dong Son ini telah datang dari China Selatan melalui Taiwan, terus ke Filipina dan dilanjutkan lagi ke Sulawesi. Kemudian terus ke Sumatera hingga sampai di Sianjurmulamula (Wiradnyana & Setiawan, 2013:7). Penulis lebih condong berpendapat bahwa mereka masuk dari Barus ke Sianjurmulamula mengingat Barus merupakan pelabuhan niaga internasional pada masa itu dan jaraknya  lebih dekat daripada pantai Timur.
          Budaya Dong Son ini merupakan hasil karya kelompok bangsa Austronesia dari ras Mongoloid, dan bangsa Austroasiatik juga umumnya dari ras Mongoloid. Kebudayaan Dong Son ini merupakan kebudayaan zaman perunggu di mana mereka  telah mengenal teknologi pengolahan logam, pertanian, berternak, menangkap ikan, bertenun, membuat rumah, dll. Masyarakat Dong Son adalah masyarakat petani dan peternak yang handal dan terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka  juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan, tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang bercadik dua.

Studi Genetik Orang Toba
          Mark Lipson (2014:87) meneliti bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasitik 25%, dan Negrito 20%. Orang Taiwan yang datang ke Sianjurmulamula adalah suku Ami dan suku Atayal yang merupakan suku asli Taiwan. Mereka merupakan keturunan suku H’Tin dari Thailand yang merupakan pendukung kebudayaan Austroasiatik. Suku H’Tin, pendukung kebudayaan Austrosiatik ini,  mengalami percampuran dengan pendukung budaya Dong Son dari kelompok kebudayaan Austronesia. Keturunan suku H’Tin yang sudah bercampur tadi inipun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Ami dan Atayal, sehingga kedua suku ini merupakan campuran Austronesia dan Austroasiatik. Mereka ini juga bermigrasi sampai ke Sianjurmulamula dan bercampur lagi dengan Orang Negrito yang lebih dulu tiba di Humbang, terbukti dari DNA Orang Toba yang memiliki unsur Negrito  (Lipson, 2014:83-90).

          Akhirnya, penghuni awal Sianjurmulamula ternyata bukan keturunan penghuni langit ketujuh yang naik-turun melalui puncak Pusuk Buhit, tetapi datang dari Taiwan. Pusuk Buhit tidak ada hubungannya dengan keberadaan Orang Toba, karena Orang Toba adalah campuran antara Orang Negrito dengan Orang Taiwan. Orang Negrito jauh lebih dulu datang ke Humbang daripada orang Taiwan datang ke Sianjurmulamula, sehingga terbukti bahwa bukan dari Sianjurmulamula awal persebaran manusia. Cerita Pusuk Buhit hanyalah mitos, bukan fakta. Pusuk Buhit, Dolok Pinapan, Dolok Martimbang, Dolok Sipisopiso, Dolok Simarjarunjung, Dolok Tolong dan dolok lainnya sama kedudukannya bagi Orang Toba. Artinya, Pusuk Buhit tidak memiliki kekhususan tersendiri bagi Orang Toba. ***


Catatan Kaki:
*** ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; dan, ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; oleh Edward Simanungkalit.




(*)  Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban