Ketegangan mereda ketika kami mulai melihat perkampungan, jalananan yang mulai datar dan kabut yang mulai berkurang. Pun demikian, situasi masih sunyi senyap, tidak ada orang yang lewat kecuali serombongan mobil ini. Sampai kemudian kami menemukan turunan tajam yang membawa kami masuk kembali ke jalan raya utama menuju Dieng.
Lalu lintas masih cukup ramai. Musik mengalun indah, semua bersemangat karena sebentar lagi sampai - kata gps. Semoga memang demikian adanya.
Dingin yang menggigit
Tiba di basecamp pukul 01.00 dini hari, sunyi dan dingin yang cukup menggigit. Semula kami mengira ini adalah basecamp Patak Banteng, ternyata Kali Lembu. Apapun itu ada sebuah perasaan lega ketika sudah tiba di lokasi ini. Kami registrasi dengan membayar 80rb untuk 7 orang - beserta parkir mobil mungkin.
Di basecampkami sudah diperingatkan bahwa di atas sedang badai, naiknya besok saja. Kami diam, tidak ada yang menjawab tapi kami juga tidak sepakat - dalam hati. Hehe.
Bukan kami mau sombong dengan ingin nekat, tapi kalau naik besok pagi ya sayang dengan semua perjuangan sedari berangkat tadi. Dapet gak dapet sunrise kali ini, kami harus jalan malam ini juga. Banyak yang menyarankan tektok (naik ke puncak langsung turun lagi) saja, bawa barang dan logistik seperlunya. Lagi-lagi kami tidak sepakat. Sudah bawa perbekalan ya percuma donk ditinggal, lagipula siapa yang menjamin kalau di atas kami tidak butuh tenda dan yang lainnya. Pokoknya tetap kami bawa.
Carrier 80 liter di punggungku seakan tak muat menampung barang yang harus kami bawa. Tekad sudah bulat, kami naik ke puncak sekarang juga. Pukul 02.30 dini hari.
Menembus badai
Trek Gunung Prau tidak terlalu berat sebenarnya, banyak bonus trek datar. Tapi entah kenapa kabutnya teramat pekat. Headlight tak terlalu mampu menembus kabut, lagi-lagi karena berwarna putih. Jarak pandang terbatas, udara teramat basah, lembab. Slayer kututupkan di mulut dan hidung sebentar saja karena tak kuat, susah bernapas. Mau dibuka udara teramat basah. Lalu harus bagaimana? Entahlah. Kami terus berjalan dalam pandangan yang terhalang pekatnya kabut.
Menjelang puncak angin bertiup makin kencang, namun anehnya kabut tak juga berkurang, makin pekat dan tak terlihat. Pepohonan bergoyang hebat, kami berhenti sejenak, ketika angin sedikit berkurang kami jalan lagi, angin kencang berhenti lagi. Begitu seterusnya hingga hampir puncak. Kami sebut hampir karena tak tahu mana puncak. Kami buta arah dan sudah mulai menggigil kedinginan.
Sampai di manapun saat ini tenda harus segera didirikan, sudah waktu subuh dan dingin makin menggigit. Kami sholat subuh dengan menggigil menahan dingin.
Pesimis puncak
Pukul 05.30 pagi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda sunrise. Sejauh mata memandang langit berwarna putih keabu-abuan tanda kabut masih ada di mana-mana. Di beberapa sudut masih bergelayut mendung. Sempat bertanya dalam hati, akankah hingga nanti hanya seperti ini yang kami dapat?
Satu orang menggigil parah. Setelah sholat subuh tidak mau melakukan apapun, hanya minta Sleeping Bag lalu masuk tenda dan tidur.
Aku termasuk salah satu orang yang bertahan di luar tenda, meresapi hawa dingin Gunung Prau. Aku tak tahu, kapan aku bisa kembali lagi ke tempat ini, dengan siapa, dan dalam rangka apa. Nikmati saja tiap prosesnya, kenangan ini akan tersimpan kuat ketika benar-benar direkam dan dinikmati.
Secangkir kopi panas dalam genggaman, aku nikmati perlahan sambil duduk di antara bunga-bunga Daisy yang terhampar luas. CiptaanMu sungguh indah ya Rabb. Aku menikmati dingin udara ini, aku menikmati suara angin di sela-sela pepohonan dan rerumputan. Aku tidak berharap lebih, aku mensyukuri semua ini. Sama sekali tidak terbayangkan puncak ada di sebelah mana, aku tak peduli.[bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar