Rabu, 27 Mei 2015

Pendakian Gunung Prau #2


Ketegangan mereda ketika kami mulai melihat perkampungan, jalananan yang mulai datar dan kabut yang mulai berkurang. Pun demikian, situasi masih sunyi senyap, tidak ada orang yang lewat kecuali serombongan mobil ini. Sampai kemudian kami menemukan turunan tajam yang membawa kami masuk kembali ke jalan raya utama menuju Dieng.
Lalu lintas masih cukup ramai. Musik mengalun indah, semua bersemangat karena sebentar lagi sampai - kata gps. Semoga memang demikian adanya.

Dingin yang menggigit
Tiba di basecamp pukul 01.00 dini hari, sunyi dan dingin yang cukup menggigit. Semula kami mengira ini adalah basecamp Patak Banteng, ternyata Kali Lembu. Apapun itu ada sebuah perasaan lega ketika sudah tiba di lokasi ini. Kami registrasi dengan membayar 80rb untuk 7 orang - beserta parkir mobil mungkin.


Di basecampkami sudah diperingatkan bahwa di atas sedang badai, naiknya besok saja. Kami diam, tidak ada yang menjawab tapi kami juga tidak sepakat - dalam hati. Hehe.
Bukan kami mau sombong dengan ingin nekat, tapi kalau naik besok pagi ya sayang dengan semua perjuangan sedari berangkat tadi. Dapet gak dapet sunrise kali ini, kami harus jalan malam ini juga. Banyak yang menyarankan tektok (naik ke puncak langsung turun lagi) saja, bawa barang dan logistik seperlunya. Lagi-lagi kami tidak sepakat. Sudah bawa perbekalan ya percuma donk ditinggal, lagipula siapa yang menjamin kalau di atas kami tidak butuh tenda dan yang lainnya. Pokoknya tetap kami bawa.
Carrier 80 liter di punggungku seakan tak muat menampung barang yang harus kami bawa. Tekad sudah bulat, kami naik ke puncak sekarang juga. Pukul 02.30 dini hari.

Menembus badai
Trek Gunung Prau tidak terlalu berat sebenarnya, banyak bonus trek datar. Tapi entah kenapa kabutnya teramat pekat. Headlight tak terlalu mampu menembus kabut, lagi-lagi karena berwarna putih. Jarak pandang terbatas, udara teramat basah, lembab. Slayer kututupkan di mulut dan hidung sebentar saja karena tak kuat, susah bernapas. Mau dibuka udara teramat basah. Lalu harus bagaimana? Entahlah. Kami terus berjalan dalam pandangan yang terhalang pekatnya kabut.
Menjelang puncak angin bertiup makin kencang, namun anehnya kabut tak juga berkurang, makin pekat dan tak terlihat. Pepohonan bergoyang hebat, kami berhenti sejenak, ketika angin sedikit berkurang kami jalan lagi, angin kencang berhenti lagi. Begitu seterusnya hingga hampir puncak. Kami sebut hampir karena tak tahu mana puncak. Kami buta arah dan sudah mulai menggigil kedinginan.
Sampai di manapun saat ini tenda harus segera didirikan, sudah waktu subuh dan dingin makin menggigit. Kami sholat subuh dengan menggigil menahan dingin.

Pesimis puncak

Pukul 05.30 pagi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda sunrise. Sejauh mata memandang langit berwarna putih keabu-abuan tanda kabut masih ada di mana-mana. Di beberapa sudut masih bergelayut mendung. Sempat bertanya dalam hati, akankah hingga nanti hanya seperti ini yang kami dapat?
Satu orang menggigil parah. Setelah sholat subuh tidak mau melakukan apapun, hanya minta Sleeping Bag lalu masuk tenda dan tidur.
Aku termasuk salah satu orang yang bertahan di luar tenda, meresapi hawa dingin Gunung Prau. Aku tak tahu, kapan aku bisa kembali lagi ke tempat ini, dengan siapa, dan dalam rangka apa. Nikmati saja tiap prosesnya, kenangan ini akan tersimpan kuat ketika benar-benar direkam dan dinikmati.
Secangkir kopi panas dalam genggaman, aku nikmati perlahan sambil duduk di antara bunga-bunga Daisy yang terhampar luas. CiptaanMu sungguh indah ya Rabb. Aku menikmati dingin udara ini, aku menikmati suara angin di sela-sela pepohonan dan rerumputan. Aku tidak berharap lebih, aku mensyukuri semua ini. Sama sekali tidak terbayangkan puncak ada di sebelah mana, aku tak peduli.[bersambung]



Asal - Usul Bangsa Indonesia dan Sejarah Sundaland

Asal - Usul Bangsa Indonesia dan Sejarah Sundaland


Siapakah sesungguhnya Bangsa Indonesia? Ada banyak cara/versi untuk menerangkan jawaban atas pertanyaan tadi. Dari semua versi, keseluruhannnya berpendapat sama jika lelulur masyarakat Indonesia yang sekarang ini mendiami Nusantara adalah bangsa pendatang. Penelitian arkeologi dan ilmu genetika memberikan bukti kuat jika leluhur Bangsa Indonesia bermigrasi dari wilayah Asia ke wilayah Asia bagian Selatan. Masyarakat Indonesia mungkin banyak yang tidak menyadari apabila perbedaan warna kulit, suku, ataupun bahasa tidak menutupi fakta suatu bangsa yang memiliki rumpun sama, yaitu rumpun Austronesia. Jika melihat catatan penelitian dan kajian ilmiah tentang asal-usul suatu bangsa, apakah masyarakat Indonesia menyadari jika mereka berasal (keturunan) dari leluhur yang sama (satu rumpun)?

Topik dalam tulisan ini sebelumnya sudah sering dibahas di media cetak maupun elektronik, termasuk juga dituliskan oleh beberapa blogger. Sayang sekali di setiap penulisan tidak memberikan penegasan apapun kecuali hanya sekedar informasi umum. Pada prinsipnya, dengan menelusuri asal-usul suatu bangsa, setidaknya akan diketahui gambaran atas pemikiran, paham, ataupun anggapan tentang sikap suatu bangsa.

Menelusuri asal-usul suatu bangsa tidak sekedar membutuhkan bidang ilmu antropologi, akan tetapi sudah masuk ke dalam ranah ilmu genetika. Pada awalnya, penelurusuran hanya didasarkan pada bukti-bukti arkeologi dan pola penuturan bahasa. Temuan terbaru cukup mengejutkan karena merubah keseluruhan fakta di masa lalu jika selama ini leluhur Bangsa Indonesia bukan berasal dari Yunan.

Teori Awal Tentang Yunan
Teori awal tengan asal-usul Bangsa Indonesia dikemukakan oleh sejarawan kuno sekaligus arkeolog dari Austria, yaitu Robern Barron von Heine Geldern atau lebih dikenal von Heine Geldern (1885-1968). Berdasarkan kajian mendalam atas kebudayaan megalitik di Asia Tenggara dan beberapa wilayah di bagian Pasifik disimpulkan bahwa pada masa lampau telah terjadi perpindahan (migrasi) secara bergelombang dari Asia sebelah Utara menuju Asia bagian Selatan. Mereka ini kemudian mendiami wilayah berupa pulau-pulau yang terbentang dari Madagaskar (Afrika) sampai dengan Pulau Paskah (Chili), Taiwan, dan Selandia Baru yang selanjutnya wilayah tersebut dinamakan wilayah berkebudayaan Austronesia. Teori mengenai kebudayaan Austronesia dan neolitikum inilah yang sangat populer di kalangan antropolog untuk menjelaskan misteri migrasi bangsa-bangsa di masa neolitikum (2000 SM hingga 200 SM).

Teori von Heine Geldern tentang kebudayaan Austronesia mengilhami pemikiran tentang rumpun kebudayaan Yunan (Cina) yang masuk ke Asia bagian Selatan hingga Australia. Salah satunya pula yang melandasi pemikiran apabila leluhur Bangsa Indonesia berasal dari Yunan. Teori ini masih sangat lemah (kurang akurat) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti kesamaan secara fisik seperti temuan benda-benda arkeologi ataupun kebudayaan megalitikum. Teori ini juga sangat mudah diperdebatkan setelah ditemukannya catatan-catatan sejarah di Borneo (Kalimantan), Sulawesi bagian Utara, dan Sumatera yang saling bertentangan dengan teori Out of Yunan. Sayangnya, masih banyak pendidikan dasar di Indonesia yang masih mempertahankan prinsip ‘Out of Yunan’.

Teori Linguistik
Teori mengenai asal-usul Bangsa Indonesia kemudian berpijak pada studi ilmu linguistik. Dari keseluruhan bahasa yang dipergunakan suku-suku di Nusantara memiliki rumpun yang sama, yaitu rumun Austronesia. Akar dari keseluruhan cabang bahasa yang digunakan leluhur yang menetap di wilayah Nusantara berasal dari rumpun Austronesia di Formosa atau dikenal dengan rumpun Taiwan. Teori linguistik membuka pemikiran baru tentang sejarah asal-usul Bangsa Indonsia yang disebut pendekatan ‘Out of Taiwan’. Teori ini dikemukakan oleh Harry Truman Simandjuntak yang selanjutnya mendasar teori modern mengenai asal usul Bangsa Indonesia.

Pada prinsipnya, menurut pendekatan ilmu linguistik, asal-usul suatu bangsa dapat ditelusuri melalui pola penyebaran bahasanya. Pendekatan ilmu linguistik mendukung fakta penyebaran bangsa-bangsa rumpun Austronesia. Istilah Austronesia sendiri sesungguhnya mengacu pada pengertian bahasa penutur. Bukti arkeologi menjelaskan apabila keberadaan bangsa Austronesia di Kepulauan Formosa (Taiwan) sudah ada sejak 6000 tahun yang lalu. Dari kepulauan Formosa ini kemudian bangsa Austronesia menyebar ke Filipina, Indonesia, Madagaskar (Afrika), hingga ke wilayah Pasifik. Sekalipun demikian, pendekatan ilmu linguistik masih belum mampu menjawab misteri perpindahan dari Cina menuju Kepulauan Formosa.

Pendekatan Teori Genetika
Teori dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ nampaknya semakin kuat setelah disertai bukti-bukti berupa kecocokan genetika. Riset genetika yang dilakukan pada ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika dengan wilayah di Cina. Temuan ini tentunya cukup mengejutkan karena dianggap memutuskan dugaan gelombang migrasi yang berasal dari Cina, termasuk di antaranya pendekatan ‘Out of Yunan’. Sebaliknya, kecocokan pola genetika justru semakin memperkuat pendekatan ‘Out of Taiwan’ yang sebelumnya juga dijadikan dasar pemikiran arkeologi dengan pendekatan ilmu linguistik.

Dengan menggunakan pendekatan ilmu linguistik dan riset genetika, maka asal-usul Bangsa Indonesia bisa dipastikan bukan berasal dari Yunan, akan tetapi berasal dari bangsa Austronesia yang mendiami Kepulauan Formosa (Taiwan). Direktur Institut Biologi Molekuler, Prof. Dr Sangkot Marzuki menyarankan untuk dilakukan perombakan pandangan yang tentang asal-usul Bangsa Indonesia. Dari pendekatan genetika menghasilkan beragam pandangan tentang pola penyebaran bangsa Austronesia. Hingga saat ini masih dilakukan berbagai kajian mendalam untuk memperkuat pendugaan melalui pendekatan linguistik tentang pendekatan ‘Out of Taiwan’.

Jalur Migrasi
Jalur migrasi berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’ bertentangan dengan pendekatan ‘Out of Yunan’. Pendekatan ‘Out of Yunan’ menerangkan migrasi Austronesia bermula dari Utara menuju semenanjung Melayu yang selanjutnya menyebar ke wilayah Timur Indonesia. Pendekatan ‘Out of Yunan’ dapat dilemahkan setelah ditelusuri berdasarkan pendekatan linguistik dan diperkuat pula oleh pembuktian genetika.
Berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’, migrasi leluhur dari Taiwan (Formosa) tiba terlebih dulu di Filipina bagian Utara sekitar 4500 hingga 3000 SM. Diduga migrasi dilakukan untuk memisahkan diri mencari wilayah baru di Selatan. Akibat dari migrasi ini kemudian membentuk budaya baru, termasuk diantaranya pembentukan cabang bahasa yang disebut Proto-Malayo-Polinesia (PMP). Teori migrasi awal bangsa Austronesia dari Formosa disampaikan oleh Daud A. Tanudirjo berdasarkan pandangan pakar linguistik Robert Blust yang menerangkan pola penyebaran bangsa-bangsa Austronesia.
Pada tahap selanjutnya sekitar 3500 hingga 2000 SM terjadi migrasi dari Masyarakat yang semula mendiami Filipina dengan tujuan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara. Migrasi yang berakhir di Maluku Utara ini kemudian meneruskan migrasinya sekitar tahun 3000 hingga 2000 SM menuju ke Selatan dan Timur. Migrasi di bagian Selatan menuju gugus Nusa Tenggara, sedangkan di bagian Timur menuju pantai Papua bagian Barat. Dari Papua Barat ini kemudian mereka bermigrasi lagi dengan tujuan wilayah Oseania hingga mencapai Kepulauan Bismarck (Melanesia) sekitar 1500 SM.
Pada periode 3000 hingga 2000 SM, migrasi juga dilakukan ke bagian Barat yang dilakukan oleh mereka yang sebelumnya menghuni Kalimantan dan Sulawesi menuju Jawa dan Sumatera. Selanjutnya, hijrah pun diteruskan menuju semenanjung Melayu hingga ke seluruh wilayah di Asia Tenggara. Proses migrasi berulang-ulang dan menghabiskan masa ribuan tahun tidak hanya membentuk keanekaragaman budaya baru, akan tetapi juga pola penuturan (bahasa) baru.

Tesis Oppenheimer
Tesis Oppenheimer (1998) jelas menjungkirbalikkan konsep selama ini bahwa orang-orang Indonesia penghuni Sundaland berasal dari daratan utama Asia, bukan sebaliknya. Apakah Oppenheimer benar? Penelitian dan perdebatan atas tesis Oppenheimer telah berjalan 10 tahun. Disini kita akan membahas beberapa perdebatan terbaru. Sebelumnya, sedikit tentang ringkasan tesis Oppenheimer (1998) itu.
Dalam “Eden in the East: the Drowned Continent of Southeast Asia”, Oppenheimer berhipotesis bahwa bangsa-bangsa Eurasia punya nenek moyang dari Sundaland. Hipotesis ini ia bangun berdasarkan penelitian atas geologi, arkeologi, genetika, linguistk, dan folklore atau mitologi.
Berdasarkan geologi, Oppenheimer mencatat bahwa telah terjadi kenaikan permukaan air laut dengan menyurutnya Zaman Es terakhir. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode 14.000-7.000 tahun yang lalu dan telah menenggelamkan Sundaland.
Arkeologi membuktikan bahwa Sundaland mempunyai kebudayaan yang tinggi sebelum banjir terjadi. Kenaikan permukaan air laut ini telah menyebabkan manusia penghuni Sundaland menyebar ke mana-mana mencari daerah yang tinggi. Terjadilah gelombang besar migrasi ke arah Eurasia.
Oppenheimer melacak jalur migrasi ini berdasarkan genetika, linguistik, dan folklore. Sampai sekarang orang-orang Eurasia punya mitos tentang Banjir Besar itu, menurut Oppenheimer itu diturunkan dari nenek moyangnya. Hipotesis Oppenheimer (1998) yang kita sebut “Out of Sundaland” punya implikasi yang luas.
Bahkan ada yang menyebutkan bahwa Taman Firdaus (Eden) itu bukan di Timur Tengah, tetapi justru di Sundaland. Adam dan Hawa bukanlah ras Mesopotamia, tetapi ras Sunda!. Nah…implikasinya luas bukan?
Hipotesis Oppenheimer (1998) segera menyulut perdebatan baik di kalangan ahli genetika, linguistik, maupun mitologi. Kita akan meringkas beberapa perdebatan pro dan kontra yang terbaru (2007-2008). Di buku-bukunyanya yang terbaru (Out of Eden, 2004; dan Origins of the British, 2007), Oppenheimer tak menyebut sekali pun tesis Sundaland-nya itu.
Sanggahan terbaru datang dari bidang mitologi dalam sebuah Konferensi Internasional Association for Comparative Mythology yang berlangsung di Edinburgh 28-30 Agustus 2007.

Argumen Wim van Binsbergen
Dalam pertemuan itu, Wim van Binsbergen, seorang ahli mitologi dari Belanda, mengajukan sebuah makalah berjudul :
“A new Paradise myth? An Assessment of Stephen Oppenheimer’s Thesis of the South East Asian Origin of West Asian Core Myths, Including Most of the Mythological Contents of Genesis 1-11″.
Makalah ini mengajukan keberatan-keberatan atas tesis Oppenheimer bahwa orang-orang Sundaland sebagai nenek moyang orang-orang Asia Barat. Binsbergen (2007) menganalisis argumennya berdasarkan complementary archaeological, linguistic, genetic, ethnographic, dan comparative mythological perspectives.
Menurut Binsbergen (2007), Oppenheimer terutama mendasarkan skenario Sundaland-nya berdasarkan mitologi. Pusat mitologi Asia Barat (Taman Firdaus, Adam dan Hawa, kejatuhan manusia dalam dosa, Kain dan Habil, Banjir Besar, Menara Babel) dihipotesiskan Oppenheimer sebagai prototip mitologi Asia Tenggara/Oseania, khususnya Sundaland.

Meskipun Oppenheimer telah menerima tanggapan positif dari para ahli arkeologi yang punya spesialisasi Asia Tenggara, Oppenheimer tak punya bukti kuat atau penelitian detail untuk arkeologi trans-kontinental dari Sundaland ke Eurasia.
Binsbergen (2007) menantang hipotesis Oppenheimer atas argument detailnya menggunakan comparative mythology. Berikut adalah beberapa keberatan atas hipotesis tersebut :
(1) Keberatan metodologi (bagaimana mitos di Sundaland/Oseania yang umurnya hanya abad ke-19 AD dapat menjadi nenek moyang mitos di Asia Barat yang umurnya 3000 tahun BC?)
(2) Kesulitan teoretis akan terjadi membandingkan dengan yakin mitos yang umurnya terpisah ribuan tahun dan jaraknya lintas-benua, juga yang sebenarnya isi detailnya berbeda
(3) Pandangan monosentrik (misal dari Sundaland) saja sudah tak sesuai dengan sejarah kebudayaan manusia yang secara anatomi modern (lebih muda daripada Paleolitikum bagian atas)
(4) Oppenheimer tak memasukkan unsur katastrofi alam yang bisa mengubah jalur migrasi manusia
(5) Mitos bahwa Banjir Besar menutupi seluruh dunia harus ditafsirkan atas pandangan dunia saat itu, bukan pandangan dunia seperti sekarang.
Dalam pertemuan comparative mythology sebelumnya (Kyoto, 2005, Beijing 2006), Binsbergen mengajukan pandangan yang lebih luas dan koheren tentang sejarah panjang Old World mythology yang mengalami transmisi yang komplek dan multisentrik, tak rigid monosentrik seperti hipotesis Oppenheimer (1998). Winsbergen juga mendukung tesisnya itu berdasarkan genetika molekuler menggunakan mitochondrial DNA type B. Itulah sanggahan terbaru atas tesis Oppenheimer (1998).

Argumen Terbaru dari University of Oxford dan University of Leeds
Tetapi ada juga dukungan terbaru untuk hipotesis Oppenheimer (1998) yang sekaligus mematahkan argumen Wim van Binsbergen, baru-baru ini datang dari sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan rekan sejawat Oppenheimer. Kelompok peneliti dari University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan hasil peneltiannya dalam jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah berjudul:
“Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et al., 2008).
Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA menentang teori konvensional saat ini yang menyatakan bahwa penduduk Asia Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolithikum). Tim peneliti ini menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya dan bahkan lebih awal, bahwa penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland.
Pemecahan garis-garis mitochondrial DNA (yang diwarisi para perempuan) telah berevolusi cukup lama di Asia Tenggara sejak manusia modern pertama kali datang ke wilayah ini sekitar 50.000 tahun yang lalu.
Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya muka laut di wilayah ini dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur ke New Guinea dan Pasifik, dan ke barat ke daratan utama Asia Tenggara – dalam 10.000 tahun.
Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E (suatu komponen penting dalam keanekaragaman mtDNA, DNA mitokondria), berevolusi selama 35.000 tahun terakhir, dan secara dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar awal Holosen (periode geologis sesudah pleistosen terakhir, ditandai oleh susutnya es di daerah kutub dan pegunungan tinggi, naiknya permukaan air laut, dan terjadinya pengendapan; zaman aluvium), pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya.
Lalu komponen ini mencapai Taiwan dan Oseania lebih baru, sekitar 8000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warming dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu, sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini.

Oppenheimer dalam bukunya “Eden in the East” (1998) itu berhipotesis bahwa ada tiga periode banjir besar setelah Zaman Es yang memaksa para penghuni Sundaland mengungsi menggunakan kapal atau berjalan ke wilayah-wilayah yang tidak banjir.
Dengan menguji mitochondrial DNA dari orang-orang Asia Tenggara dan Pasifik, membuktikan bahwa bukti kuat yang mendukung Teori Banjir di Sundaland sangat kuat sekali. Akurasi tes DNA memberikan hasil lebih dari 99,99 persen probabilitas akurat. Disamping itu juga mungkin sebabnya mengapa Asia Tenggara punya mitos yang paling kaya tentang Banjir Besar dibandingkan bangsa-bangsa lain.
Sebagai penutup, teori asal-usul bangsa Indonesia dengan pendekatan‘Out of Yunan’ atau ‘Out of Taiwan’ saat inisudah terbantahkan. Teori paling mendekati kebenaran karena disertai bukti DNA yang sangat akurat hingga dari 99,9% (lihat di : Seberapa Jauh Akurasi Tes DNA ) adalah sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan rekan sejawat Oppenheimer. Sudah jelas teori terbaru ini memupuskan semua teori-teori yang ada diatas seperti teori: ‘Out of Yunan’ ataupun teori ‘Out of Taiwan’Pendapat dan penelitian Richards et al., (2008) sudah terbukti menunjukkan bahwa penduduk Taiwan justru berasal dari Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland.
Kita harus bangga dengan Sundaland di Indonesia, karena dari ilmu-ilmu geologi, arkeologi, geografi, biogeografi, linguistik dan lain-lain, kawasan Sundaland diakui kepentingannya secara internasional. Dengan fakta-fakta ilmiah itu, membuat kita harus bersyukur dan tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Indonesia dengan Sundaland-nya.

Sumber: boxstr.com dan berbagai sumber di google
http://pernakpernik.net/berita-239-asal--usul-bangsa-indonesia-dan-sejarah-sundaland.html

Selasa, 19 Mei 2015

Yehezkiel diajak ke pangkalan koloni Makhluk Langit, dari Khaldean ke Himalaya?

Yehezkiel diajak ke pangkalan koloni Makhluk Langit, dari Khaldean ke Himalaya !??

Yehezkiel Melihat Wahana Antariksa 
source klik

Mungkin kita dibuat berdecak kagum dan bahkan heran, mendapati adanya fakta-fakta menarik tentang kontak alien dengan manusia bumi, yang dapat kita temukan bahkan dalam tulisan-tulisan yang kita anggap suci (kitab suci keagamaan). Seperti yang saya posting kali ini, yaitu dalam Kisah Yehezkiel. Bagi kita yang memeluk agama Yahudi ataupun Kristiani, pastinya sudah tidak asing lagi bagi kita. Yehezkiel adalah seorang suci (diangkat dan diberi gelar sebagai seorang Nabi Israel), atau disebut utusan Tuhan, yang bertugas sebagai pembawa pesan illahi kepada umat manusia, terkhusus bagi umat Israel kala itu. Diperkirakan Yehezkiel pernah hidup pada 600 tahun sebelum masehi. Di zaman saat Yehezkiel bertugas, pada saat itu kerajaan Israel mengalami masa-masa yang sulit, yang mana Negara ini sedang dijajah oleh  Bangsa Babilonia, dan beberapa diantara Rakyat Israel harus mengalami nasib kurang beruntung saat mengalami pembuangan ke negeri Babel, menjadi seorang budak dan menjadi tawanan perang.

Kontak pertama dengan makhluk langit (angkasa luar; antariksa.red), diawali pada saat peristiwa langit terbelah, dan terlihat “suasa mengkilap” yang masuk ke atmosfer bumi disertai perubahan cuaca ektrim, adanya angin kencang dan juga petir yang menyambar-nyambar. Dari dalam suasa itu, atau wahana terbang itu, terdapat empat makhluk bersayap, yang masing-masing wajah mereka menyerupai: lembu, burung rajawali, singa, dan anak manusia. Pada bagian dalam (dada) mereka terlihat sesuatu seperti suluh (nyala api) yang aktif bergerak (bisa jadi itu semacam energy aktif penunjang hidup makhluk asing tersebut). Sedangkan dikisahkan oleh Yehezkiel, wahana terbang lintas planet (wahana antariksa.red) tersebut berbentuk seperti bola, yang dipermukaannya terdapat tonjulan-tonjolan yang disebut seperti “mata”. Wahana terbang tersebut dapat bergerak ke segala penjuru, dapat menggelinding di darat, dan juga terbang perlahan mengambang di angkasa. (1)



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Konon Makhluk Langit tersebut,  disebut dengan istilah Ordo/ Kaum Kerubim,
untuk informasi perihal Kerubim dapat mengakses link berikut:

Menguak sisi lain Ordo Kerubim------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Wahana terbang antariksa yang berbentuk
seperti roda saling berputar
source klik
Kontak dengan makhluk langit ini, tidak hanya sampai disitu saja, Yehezkiel mengalami suatu fase lebih tinggi lagi, yaitu fase abduction (fase “penculikan”), atau mungkin diperlihatkan keberadaan makhluk asing tersebut. Kisah ini sungguh sangat detail Beliau tuliskan, sistematis dan begitu detail dikisahkan, sangat baik untuk dijadikan pedoman bagi penelitian ataupun warisan pengetahuan bagi generasi selanjutnya.
Yehezkiel tidak mengetahui, arah dan tujuannya selama perjalanan di dalam wahana terbang/ wahana antariksa yang kala itu membawanya melintasi Daerah Israel menuju suatu tempat yang teramat asing baginya. Kisah itu disampaikan, sebagai berikut:
Dalam tahun kedua puluh lima sesudah pembuangan kami, yaitu pada permulaan tahun, pada tanggal sepuluh bulan itu, dalam tahun keempat belas sesudah kota itu ditaklukkan, pada hari itu juga kekuasaan TUHAN meliputi aku dan dibawa-Nya aku dalam penglihatan-penglihatan ilahi ke tanah Israel dan menempatkan aku di atas sebuah gunung yang tinggi sekali. Di atas itu di hadapanku ada yang menyerupai bentuk kota.  Ke sanalah aku dibawa-Nya. Dan lihat, ada seorang yang kelihatan seperti tembaga dan di tangannya ada tali lenan beserta tongkat pengukur; dan ia berdiri di pintu gerbang.
Orang itu berbicara kepadaku: "Hai anak manusia, lihatlah dengan teliti dan dengarlah dengan sungguh-sungguh dan perhatikanlah baik-baik segala sesuatu yang akan kuperlihatkan kepadamu; sebab untuk itulah engkau dibawa ke mari, supaya aku memperlihatkan semuanya itu kepadamu. (2)

Tulisan Yehezkiel dibukakan dalam Naskah Suci,
yang disusun sangat sistematis
Yehezkiel dengan sistematis menuliskan perjalanannya menaiki wahana antariksa, bersama dengan makhluk-makhluk asing, yang membawa terbang mereka semua dari Israel (Tanah Khaldean) menuju suatu tempat yang nampaknya sangat asing bagi Yehezkiel. Dalam pengamatan dan analisis  yang dilakukan oleh Erich von Däniken, mustahil Yehezkiel tidak mengenal gunung-gunung tinggi di daerah Israel dan juga Babilonia, oleh karena Beliau tau betul setiap tempat dan daerah pada kedua Negara tersebut. Apalagi gunung adalah suatu tempat yang sangat sakral dan lagi sangat popular bagi masyarakat religious/ masyarakat mistikus di daerah Israel dan Babilonia, yang digunakan sebagai suatu tempat yang paling dekat untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Lantas mengapa pada “perjalanan udara” kali ini Beliau merasa asing, bahkan tidak pernah melihat keadaan topografi seperti ini. Sesuai catatan suci yang Yehezkiel buat, lokasi kuil yang mereka tuju memiliki topografi yaitu: memiliki sungai kecil di salah satu sisi kuil yang kemudian bertemu dengan sungai yang lebih besar di suatu lembah. Kemudian adanya Gunung yang menjulang Tinggi melatar belakangi kuil tersebut. Kemudian muncul pertanyaan, mungkinkah Tempat tersebut adalah Machu Picchu di Pegunungan Andes, yang merupakan bukti sisa peradaban Suku Inca yang hilang ? Atau mungkin Peradaban Suku Mayana di Meso-Amerika (Amerika Tengah)?
Kota Inca yang hilang di pegunungan Andes
source klik

Kuil Mayana di Mexico
source klik
Namun jika diamati dengan seksama, kuil yang dituju oleh Yehezkiel mempunyai empat sisi serambi yang menghadap ke arah empat penjuru mata angin, utara, selatan, barat dan timur. Selain itu juga memiliki banyak sekali pilar-pilar penopang. Jika kita melihat bangunan Mecchu Picchu di Andes, sangatlah jauh daripada keterangan pada catatan suci tersebut. Begitu pula pada peradaban Mayana, yang hanya berupa bangunan piramida terpancung dengan banyak undakan (punden berundak), dan pelbagai macam dan bentuk patung khas peradaban Mayana. 
Dalam bukunya yang berjudul,”Asal usul kecerdasan manusia”, Erich von Däniken menuliskan hipotesa liarnya, demi mendapatkan hasil ataupun data yang lebih mengerucut lagi, yang menyampaikan dia pada lokasi mendaratnya Wahana Antariksa yang membawa Yehezkiel beserta keempat makhluk asing di dalamnya. Surat pembacapun berdatangan kepadanya, dan adalah salah satu pembaca dari Jerman yang bernama Marier, yang dengan antusias memberikan informasi perihal kuil yang dimaksudkan. Menurut keterangan Marier, kuil yang dimaksud sangat mirip sekali dengan Kuil di daerah Srinagar di tanah Kashmir, yaitu Kuil Martand. Satu hal yang membuatnya terdengar aneh, masyarakat sekitar Kashmir menyebut kuil Martand sebagai kuil Yahudi, yang merupakan hal yang tidak lazim bagi sebagian besar masyarakat penganut kepercayaan Hindu-India. Yang membuat lokasi kuil di Srinagar ini sangatlah cocok, yaitu background belakang kuil ini adalah Gunung Himalaya yang sangat tinggi menjulang ke langit dan terkenal sebagai gunung tertinggi di Planet Bumi, dan juga di sisi kuil terlihat sungai kecil, yang sangat jernih. Jika dibandingkan dengan seksama ukuran dan bentuk denah kuil Martand ini, begitu cocok dan presisi seperti apa yang dituliskan oleh Yehezkiel dalam perjalannannya tersebut. Sungguhlah sesuatu hal yang mengejutkan.
Meskipun saat ini, kuil tersebut telah rusak, namun masih dapat ditinjau dan diteliti dengan baik. Ada hal yang mengejutkan lainnya, dan membuat rasa penasaran Erich von Däniken semakin bertambah. Jika memang benar Yehezkiel dihantar untuk bisa sampai di kuil di daerah Srinagar ini, maka seharunya ada suatu titik pendaratan mereka. Penyelidikan dilakukan mengikuti petunjuk manuskrip tulisan dari Yehezkiel, demikian:
“Dari sebelah timur dan terdengarlah suara seperti suara air terjun yang menderu dan bumi bersinar karena kemuliaan-Nya.  Yang kelihatan kepadaku itu adalah seperti yang kelihatan kepadaku ketika Ia datang untuk memusnahkan kota itu dan seperti yang kelihatan kepadaku di tepi sungai Kebar, maka aku sembah sujud. Sedang kemuliaan TUHAN masuk di dalam Bait Suci melalui pintu gerbang yang menghadap ke sebelah timur, Roh itu mengangkat aku dan membawa aku ke pelataran dalam, sungguh, Bait Suci itu penuh kemuliaan TUHAN” (3)
Dalam prespektif Jhonna, saat itu Yehezkiel mengalamai fenomena yang sangat menggetarkan dirinya. Meskipun sebelumnya sudah menyaksikan hal tersebut sewaktu di sungai Kebar, namun tetaplah membuat Yehezkiel takjub. Wahana antariksa tersebut mengeluarkan suara yang cukup bising seperti gemuruh air terjun, dan pancaran cahayanya yang memekakan mata. Yang membuatku ikut takjub adalah, teknologi canggih anti gravitasi yang makhluk-makhluk itu punyai, yang mana Yehezkiel diangkat dan terbang melayang perlahan keluar dari Wahana antariksa dan diturnkan pada pelataran dalam, melalui pintu utama kuil. Sungguh peristiwa langka yang luar biasa terjadi.

Er
source klik
Dari pengalaman illahi yang dialami Yehezkiel inilah, Erich von Däniken beserta beberapa ilmuan memulai penyelidikan sisa radioaktif di sekitar area pendaratan wahana antariksa, mereka berharap, siapa tau masih dapat mendapati adanya sisa-sisa keberadaan makhluk asing tersebut. Hari pertama mereka mengamati menyusuri area luar dengan alat pengukur radiasi, yaitu: Geiger counter Namun nihil hasilnya. Dilanjutkan pada hari kedua mereka melakukan penelusuran sisa-sisa radiasi, namun masih juga belum mendapatkan hasil. Hingga pada suatu ketika, mereka tepat menelusuri suatu jalur yang mengarahkan pada pintu utama kuil. Dan sungguh luar biasa, jarum penunjuk besaran skala radiasi mulai bergerak, bergetar hebat dan gemertak yang tetap berusaha mereka pegangi dengan sekuat-kuatnya. Alat earphone yang dikenakan mengeluarkan suara yang memekakan gendang telinga mereka, selama beberapa detik. Setelah kepanikan mulai berangsur reda, semangat penelitian semakin berkobar, dan tim melanjutkan penelitian. Ternyata dari suatu jalur sisa radiasi tersebut, membuat medan radioaktif selebar 1,50 meter, kemudian pertanyaannya adalah berapa panjang medan radioaktifnya? Tim berupaya dengan teliti dan perlahan meneliti tiap jengkal area, kali ini dibantu dengan menggunakan monitor elektronik portable type TMB 21 dari perusahaan Minuch Munchner Apparatebau, yang berguna untuk mengukur radiasi alpha, beta, gamma dan neutron. Sungguh diluar dugaan, ternyata panjang jalur medan radioaktif sangat mencengangkan. Mereka seperti sedang berjalan diatas tambang uranium (unsure paling aktif di planet bumi), oleh karena beberapa kali skala pada monitor menunjukkan angka di akhir skala (bahkan sampai tidak muat terhitung dengan besaran skala yang ada). Sungguh Luar Biasa !!!

Dan penelitian mereka berhenti sejenak, saat melihat suatu bangunan yang cukup aneh, berada di tengah Kuil tersebut (yaitu bagian ruang suci), seperti sebuah bangunan  menyerupai bongkahan besar balok-beton yang bagian dasarnya terpendam jauh di dasar tanah. Berbahan dasar beton yang sangat kuat. Melalui alat detector, diperkirakan terdapat material logam/ metal pada bagian dasarnya. Ternyata bangunan misterius ini tidak hanya ada satu, melainkan di beberapa kuil lainnya di sekitar Kuil Martand yang tentunya masih di sekitar daerah Srinagar.
Kuil Martand di Srinagar
source klik
Tampak depan pintu utama
source klik
Bagian dalam Kuil
source klik

Tampak samping bangunan kuil
source klik

Mungkinkah kuil-kuil di daerah Srinagar ini, merupakan takhta Tuhan sesuai dengan tulisan Yehezkiel? Yang berbunyi: “Hai anak manusia, inilah tempat tahtaKu dan inilah tempat tapak kakiKu, di sinilah Aku akan diam di tengah tengah orang Israel selama lamanya.”(4)

Ternyata kehidupan kita banyak sekali berhubungan dengan misteri, atau ketidaktahuan. Bisa jadi dewa-dewa di zaman purba merupakan makhluk langit yang di era modern kita sapa sebagai Alien?! Ataukah jika memang benar, kuil di daerah Srinagar adalah pangkalan alien zaman kuno, yang entah karena sebab apa, mereka meninggalkan tempat tersebut, namun tetap memberikan jejak-jejak berupa radioaktif yang mereka tanam di dalam Kuil tersebut.

Adam dan Hawa ditempatkan di area mirip taman artificial (buatan.red)
tempat adaptasi permulaan, dan tempat ujian mereka sebelum
ditempatkan di Planet Bumi
source klik
Jikalah saat ini, peristiwa demikian terjadi. Mungkin akan sangat menghebohkan dan merupakan kabar yang sangat dahsyat menggoncang pemikiran dan konsep kehidupan manusia yang saat ini mulai tertata baik adanya. Namun yang membuat miris mengenai kemungkinan adanya kontak tersebut, kebanyakan dari kita memasang sikap skeptic, bahkan antipati, sebelum mau mempelajarinya dengan ketenangan hati. Misteri di dunia ini memang tidak mudah untuk diselami, bahkan asal muasal Ras Cerdas/ Ras Utama (Prime), yang disebut homo sapiens, yaitu Manusia Modern, masih juga menimbulkan pertanyaan tanpa pernah didapati jawaban yang tepat. Bisa jadi, bahwa sebenarnya Ras Utama (manusia.red) planet bumi merupakan produk ciptaan daripada Ras-Ras yang super canggih, super beradab, super pandai, super bijaksana, di suatu tempat di alam semesta yang tak berujung ini? Nah inilah “tugas rumah” bagi kita semua, sanggupkah kita mengerjakannya, atau cuman sekedar dibawa santai saja, bahkan sambil lalu? Itu semua tergantung pada kita.

___Salam Keseimbangan antar Ciptaan
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------  

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------           
Catatan kaki
1. Yehezkiel 1 : 1 – 10
2. Yehezkiel 40 : 1 – 4
3. Yehezkiel 43 : 2 – 5
4. Yehezkiel 43 : 7
Hasil dari pembacaan Majalah INFO-UFO Nomor 03- Tahun I - Halaman 21 -23


Sumber:
http://jhonnastudio.blogspot.com/2014/08/yehezkiel-diajak-ke-pangkalan-koloni.html

Ini Bukti Laksamana Cheng Ho Penemu Amerika, Bukan Columbus?

Ini Bukti Laksamana Cheng Ho Penemu Amerika, Bukan Columbus?

By  
on 
Ini yang tertulis dalam sejarah: pedagang asal Genoa, Italia, Christopher Columbus memimpin armada kapal menyeberangi Samudera Atlantik. Ia  tiba di 'dunia baru' pada tanggal 12 Oktober 1492. 

'Dunia baru' itu yang kemudian disebut Benua Amerika. Meski hingga kematiannya, Columbus yakin benar, ia menemukan rute baru dan berhasil telah mendarat di Asia -- di tanah yang digambarkan Marco Polo. 




Namun, sebuah salinan peta berusia 600 tahun yang ditemukan di sebuah toko buku loak mengancam status Columbus sebagai penemu Amerika.  Juga menjadi kunci untuk membuktikan bahwa orang dari Negeri China yang pertama menemukan benua itu.

Dokumen tersebut konon berasal dari suatu ketika di Abad ke-18, yang merupakan salinan peta 1418 yang dibuat Laksamana Cheng Ho, yang menunjukkan detil 'dunia baru' dalam beberapa sisi.

Klaim bukti bahwa laksamana China memetakan Belahan Bumi Barat (Western Hemisphere) lebih dari 70 tahun sebelum Columbus, adalah salah satu klaim yang dimuat penulis Gavin Menzies dalam buku barunya, 'Who Discovered America?', yang diluncurkan jelang Hari Columbus tahun ini. 

"Kisah tradisional bahwa Columbus menemukan 'dunia baru' adalah fantasi belaka," kata dia seperti dimuat Daily Mail, 8 Oktober 2013. 

Ia bahkan yakin, Columbus memiliki salinan peta Cheng Ho saat mengarungi samudera menuju Amerika. 

Menzies juga mengatakan, armada megah kapal China yang dipimpin Cheng Ho berlayar di sekitar daratan Amerika Selatan, 100 tahun sebelum Ferdinand Megellan -- orang pertama yang berlayar dari Eropa ke Asia, orang Eropa pertama yang melayari Samudra Pasifik, dan orang pertama yang memimpin ekspedisi yang bertujuan mengelilingi bola dunia. 

Lebih jauh lagi, Menzies mengklaim, pemukim pertama Belahan Bumi Barat tidak berasal dari 'Jembatan Selat Bering', tapi pelaut China yang pertama melintasi Samudera Pasifik sekitar 40 ribu tahun lalu. 

Ia juga menulis, penanda DNA membuktikan Indian Amerika dan pribumi lainnya adalah keturunan para pemukim dari Asia.

Bukti Peta


Klaim bahwa Cheng Ho menemukan Amerika, bukan kali ini saja diungkap Menzies. Ia pernah mempublikasikannya tahun 2002 lalu. Bedanya, di buku terbarunya, ia menyertakan salinan peta yang ditemukan seorang pengacara di Beijing, Liu Gang di buku loak -- yang ia klaim memperkuat teorinya. 

Ia bersikukuh, peta itu jelas-jelas menunjukkan sungai dan perairan di Amerika Utara, demikian juga dengan daratan Amerika Selatan. 

Sebelumnya, si penemu peta, Liu mendapatkan pengakuan dari balai lelang Christie's bahwa dokumennya kuno -- dari Abad ke-18, bukan palsu. 

Dari peta itu, Menzies juga berkonsultasi dengan tim sejarawan yang menganalisa tulisan yang tertera di sana. Lalu, ia menyimpulkan, peta itu aslinya dibuat pada masa Dinasti Ming -- periode pemerintahan di China yang berlangsung tahun 1368-1644. 

Salah satu wilayah dari peta, diyakini Menzies mengacu pada Peru. "Di sini orang-orang mempraktekkan agama Paracas. Di sini juga orang-orang mempraktekkan pengorbanan manusia," demikian ujar dia dalam bukunya. 

Menzies menambahkan, apalagi ada banyak istilah China yang digunakan di sejumlah kota dan wilayah di Peru. Dalam peta kuno Peru, misalnya, ada istilah 'Chawan' -- tanah yang disiapkan untuk disemaikan dan 'Chulin' yang artinya kayu atau hutan. 

Pemukim dari Asia

Menzies tak diakui sebagai sejarawan dan bukan lulusan universitas ternama. Dia adalah bekas serdadu di kapal perang milik Angkatan Laut Inggris. Tapi, ia bukan amatiran. 

'Who Discovered America?' adalah buku keempatnya di mana ia berusaha menulis kembali sejarah dalam kaca mata Timur. 

Namun teori-teorinya yang 'pro-Asia' tidak diterima oleh komunitas akademik. Pada 2008, profesor sejarah University of London, Felipe Fernandez-Armesto mengatakan, buku Menzies sekelas buku kisah hidup Elvis Presley yang dijual di supermarket atau kisah hamster alien. 

Debut Menzies dimulai pada 2002 lalu dalam bukunya, '1421: The Year China Discovered the World' -- yang menyebut Laksamana Ceng Ho mencapai Eropa dan Afrika, juga melintasi Samudera Pasifik, ke Belahan Bumi Barat.

Dia mengklaim Cheng Ho tak hanya menemukan dunia baru pada 1421, tapi meninggalkan koloni di sana. Armadanya juga berlayar di sekitar ujung Amerika Selatan - melalui Selat Megellan sekitar Teluk Meksiko dan sampai Mississippi .

Sementara dalam buku barunya, Menzies fokus pada teori tentang orang Asia yang berhasil sampai ke Amerika Utara dan Selatan jauh sebelum Cheng Ho. "Setidaknya 40 ribu tahun lalu," tulis dia. Dari laut.

Kebanyakan ilmuwan percaya bahwa manusia pertama menghuni Belahan Bumi Barat sekitar 13.000 sampai 16.500 tahun yang lalu.

Teori universal di kalangan para akademisi adalah, manusia tiba di 'dunia baru' dengan menyeberangi 'Jembatan Selat Bering' -- lewat tanah menghubungkan antara Asia dan Amerika Utara. 

"Semakin saya berpikir tentang teori Bering Straight, makin terasa konyol," kata Menzies. Menzies mengatakan ide bahwa manusia mampu menyeberangi Samudra Pasifik di masa sekitar 40 ribu SM tak sedramatis kedengarannya.

"Jika Anda masuk ke bak mandi plastik, arus juga akan membawa Anda ke sana," kata dia. "Kuncinya ada pada arus." Jadi, siapa penemu benua Amerika? (Ein)



Sumber:
http://news.liputan6.com/read/715137/ini-bukti-laksamana-cheng-ho-penemu-amerika-bukan-columbus