Kenangan tak selalu manis, tapi hidup harus terus berlanjut. Jangan pernah menyerah sekalipun harus terdiam kelelahan. Badan harus tegak diangkat, kaki harus terus diayunkan, roda kehidupan harus terus berputar.
Orang bilang, jangan pernah lari dari masalah. Tapi tampaknya pendakian menjadi salah satu pelarian yang mau tak mau harus aku jalani saat ini. Ada yang harus diperjuangkan dan ada yang harus dikorbankan. Sudahlah.
Pendakian kali ini tanpa pikir panjang, ajakan langsung aku iyakan. Ungaran memang bukan gunung yang tinggi pikirku, dan banyak yang bilang pemandangannya luar biasa indah. Sayang waktu itu tidak terlalu cerah, pun demikian aku tetap puas untuk pendakian kali ini. Gunung yang tingginya 2.050 mdpl memberikan banyak kenangan istimewa.
Seperti biasa, pertama kali aku browsing mencari koordinat basecamp ternyata tidak ketemu. Akhirnya ketemu salah satu artikel bahwa basecamp Ungaran bisa dilewati dari lokasi Umbul Sidomukti, di desa Sidomukti. Alhamdulillah ketemu juga koordinatnya. Masukkan ke hape dan biarkan aplikasi Sygic Navigator memandu selama perjalanan.
Rasanya seperti dejavu, menyusuri hiruk pikuk lalu lintas Bandungan di akhir pekan. Sama, sama dengan beberapa tahun lalu aku pernah menggalau di sini, di jalanan ini, sendirian.
Jalanan menuju basecamp mawar ternyata cukup ekstrim, tanjakan tinggi dan hanya ada satu lajur yang di cor beton. Selebihnya rumput dan batuan saja. Namun bisa dikatakan jalur ini lebih mudah dicapai daripada menuju basecamp Merbabu dimana aroma gosong dari kampas motor tercium dimana-mana. Tanjakan berat memaksa semua mesin meraung-raung di ketinggian.
***
Kami berlima di sini, masih menunggu serombongan besar yang janjian untuk ketemuan di basecamp. Tiba di basecamp Mawar saat maghrib. Aku hirup dalam-dalam udara di tempat ini. Ritual ini seolah wajib buatku, dengan menghirup nafas dalam-dalam dan melemparkan pandangan ke landscape alam yang ada di depan mata, maka kenangan ini akan tersimpan kuat, sangat kuat, bahkan hingga bertahun-tahun setelahnya. Nikmatilah, rekam kuat-kuat kenangan ini.
Tiba-tiba seseorang menyapa. Hahaha. Ternyata setelah traveling bali-lombok dahulu saya ketemu lagi dengan mbak-mbak traveler ini yang juga mau naik ke puncak Ungaran. Okey, sampai ketemu di puncak ya mbak.
Rombongan kami start berjalan pukul 19.10 waktu setempat. Kebetulan waktu itu malam minggu, ramai sekali basecamp ini. Banyak orang yang menghabiskan akhir pekan dengan ngecamp di sini. Tak perlu mendaki, tinggal mendirikan tenda di tempat yang telah tersedia dan nikmati pemandangan alam sambil memasak dan menghangatkan badan di depan api unggun. Tipe refreshing seperti ini boleh juga jadi salah satu opsi ketika sedang malas bercapek-capek mendaki. Tapi tampaknya tidak untukku saat ini. Aku masih butuh memeras fisik, membuat kaki lelah dan terseok-seok agar bisa sedikit meredam apa yang kacau dalam benakku. Cukup..
Boleh dibilang trek Ungaran ini landai, tanpa ada tanjakan ekstrim yang berarti, setidaknya itu yang terlintas di benakku saat awal perjalanan. Ternyata tidak, di akhir-akhir perjalanan kita bakal disuguhi dengan trek yang makin terjal dan berbatu besar. Tidak hanya itu, pohon tumbang juga banyak merintangi perjalanan kami. Untuk menaklukkan trek ini sebenarnya sederhana, fisik saya yakin asal kita sehat kit bakal sampai. Yang harus kita pegang adalah kita harus punya cadangan semangat untuk memompa diri ketika tanjakan makin terjal menjelang puncak, itu saja.
Genap 5 jam kami berjalan nampaknya tinggal 1 atau 2 bukit lagi dan sampai puncak. Lagi-lagi karena akhir pekan, puncak dan sebelum puncak sudah tidak ada tempat lagi untuk mendirikan tenda. Begitu menemukan tanah agak datar tenda langsung kami dirikan. Ada yang spesial kali ini, aku diminta untuk mencicipi tenda Eiger Transformer new dari Mas Bagong pemilik rentalan alat outdoor. Makasih mas..hehe..
Kemewahan apalagi yang dicari? Sebuah tenda eiger di puncak gunung menghadap ke landscape penandangan lampu kota yang kerlap-kerlip di malam hari. Matras telah tergelar ditambah SB yang bersih dan lembut, jadi ingat kata-kata seseorang yang kutemui di puncak gunung, "Terimakasih Tuhan, hidupku asiiik...". Kemewahan inilah yang aku cari, yang tak pernah ku dapati ketika di bawah. Alhamdulillah.
Malam ini tidak hujan, namun tidak juga cerah. Kali ini aku sudah bertekad membawa DSLR dan tripod besar, pengin motret malam hari, ternyata tak ada bintang yang bisa diabadikan. Tak apa, masih ada tenda dan lampu di kota yang bisa untuk diolah. Tiap mau berangkat rasanya paling ogah bawa tripod, nambah berat, ribet. Tapi kalau sudah diatas dan tidak bawa rasanya sungguh menyesal gak bisa maksimal motret malam.
Selamat malam, selamat tidur dan istirahat. Pagi, sholat subuh dan menantikan matahari terbit. Semua orang bersiap-siap dengan kamera masing-masing. Eaaaaaa..penonton kecewa, matahari tidak kelihatan karena terhalang mendung. Gagal lagi membuat foto siluet nan menawan, next semoga bisa dapet momen yang oke.
Puncak Ungaran
Langit berawan di puncak, harapan untuk mengabadikan landscape warna biru yang wow gagal. Ya sudah. Masih beberapa kali motret tulisan titipan yang dibawa kawan-kawan kami dari bawah.
Ketemu lagi dengan mbak petualang di puncak. Ketemu juga dengan rombongan gokil yang berangkat bareng kami dan saling mendahului sepanjang perjalanan. Betapa tidak gokil karena mereka masing-masing orang wajib membawa buah untuk dimakan di atas, bukan mie. Di atas bikin semacam sup buah, dan yang paling gokil adalah pendaki yang berjalan paling belakang. Tiap dia lewat yang tercium aroma durian, ternyata dalam carrier yang dia bawa ada durian utuh 3 atau 4 buah masih lengkap beserta kulitnya. Wkwkwkw. Baru kali ini ketemu pendaki bawa duren utuh ke puncak.
Perjalanan turun menjadi semakin meriah lagi. Nampaknya pendakian full music menjadi salah atu tren yang makin marak akhir-akhir ini. Sering kami berpapasan dengan orang yang memutar musik keras-keras sepanjang perjalanan. Satu yang paling super diantara yang saya temui di Ungaran kemarin, di bagian luar ransel yang dia bawa ada dua buah papan panel surya yang dibentangkan untuk menyerap cahaya untuk menyalakan seperangkat sound system yang dia bawa - speaker kaleng di kantong ransel serta satu subwoofer. Jempol buatmu.hahaha.
Perjalanan menjadi seru ketika kami sefang bongkar tenda serta merta hujan deras. Berpacu dengan hujan kami paking asal-asalan yang penting cepat. Perjalanan turun hanya mengandalkan jaket gunung yang ketahanan waterproofnya sudah berkurang dan celana jas hujan, kemarin sengaja ditinggal di motor karena melihat langit cukup cerah malam itu. Ternyata tidak untuk pulangnya. Sekitar 3,5 jam perjalanan turun hujan terus. Kembali ke Solo juga harus hujan-hujan lagi.
Alhamdulillah lancar, cukup puas dengan pendakian kali ini. Setidaknya cukup bisa mengusir galau untuk beberapa saat, ketika efek "obat" ini sudah mulai hilang maka saat itu harus mendapatkannya lagi, di tempat lain, di kesempatan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar