"Sebenarnya Ras-ras Manusia Itu Tidak Ada"
27-Juli-2005
Judul Buku: Mapping Human History: Gen, Ras, dan Asal-usul Manusia
Judul Asli: Mapping Human History: Discovering the Past Through Our Genes
Penulis: Steve Olson
Penerjemah: Agung Prihantoro
Cetakan: I, September 2004
Tebal: 399 halaman
Judul Asli: Mapping Human History: Discovering the Past Through Our Genes
Penulis: Steve Olson
Penerjemah: Agung Prihantoro
Cetakan: I, September 2004
Tebal: 399 halaman
Pentas sejarah manusia senantiasa dipenuhi catatan berdarah tentang pertikaian antarkelompok. Catatan kelam yang hingga kini tak kunjung selesai itu acap kali dimuasali oleh prasangka purba kita: rasisme.
Kecenderungan rasisme yang telah mengurat-akar dalam pola pikir kita tampak jelas dalam tulisan Ernst Haeckel pada Wonder of Life (1905), "Ras-ras rendah, seperti orang-orang Veddah (penduduk Aborigin Sri Lanka) atau Negro, secara fisiologis lebih dekat dengan binatang mamalia, kera, dan anjing daripada dengan orang- orang Eropa yang beradab. Karenanya, kita harus memandang kehidupan mereka secara sepenuhnya berbeda" (hal 255). Kendati ilmu pengetahuan modern telah membuktikan betapa naifnya pandangan Haeckel di atas, kecenderungan kultural untuk membedakan antarsesama ke dalam sejumlah kategori agaknya tak hendak terkikis. Hanya karena perbedaan warna kulit atau kelopak mata, sekelompok manusia tertentu seakan sah untuk dicurigai dan dihabisi. Simak saja sejumlah peristiwa yang pernah melanda etnis Yahudi di Eropa, kaum Negro di Amerika, serta etnis China di Indonesia.
Tak keliru jika seorang sarjana berdarah Amerika-Afrika, WEB Du Bois, menyebutkan bahwa persoalan abad ke-20 adalah persoalan warna kulit. Di awal abad ke-21, persoalan- persoalan seputar isu rasisme pun kian melebar. Padahal, kalau kita memerhatikan sejumlah orang, kategorisasi manusia berdasarkan ciri fisik adalah tindakan yang tidak masuk akal. Tiap individu niscaya memiliki ciri fisik yang khas. Tak ada satu pun manusia yang memiliki ciri fisik yang betul-betul serupa, sekalipun dengan orangtua atau saudara kembarnya. Manusia adalah spesies yang paling beragam secara fisik di bumi ini.
Akan tetapi, keragaman fisik yang luar biasa itu tidak lantas meneguhkan pendapat bahwa manusia berasal dari kelompok-kelompok nenek moyang yang berbeda, yang secara paradoks kerap digunakan untuk melegitimasi tindakan rasial. Sebaliknya, seluruh umat manusia yang hidup saat ini justru berasal dari nenek moyang yang sama. Kesatuan demi mengikis rasisme inilah yang hendak dibincangkan Steve Olson dalam buku yang meraih penghargaan sebagai buku sains terbaik versi Discover serta finalis National Book Award 2002 ini.
Ikhtiar Olson untuk menunjukkan kesatuan yang amat kuat di antara seluruh manusia itu dilakukannya lewat pelacakan atas sejarah spesies kita dengan jernih dan lumayan utuh. Berbekal wawancara dan sumber pustaka yang amat kaya, peneliti yang bertugas pada The Institute for Genomic Research ini menjabarkan bagaimana spesies manusia modern, yang berasal dari evolusi spesies manusia arkaik sebelumnya, muncul dan menyebar ke seluruh benua, yang kemudian mengalami diversifikasi ciri fisik sebagai konsekuensi logis dari pengaruh lingkungan yang beragam.
Berbeda dengan apa yang lazim dilakukan para arkeolog ataupun paleoantropolog, Olson justru menyingkap wilayah gelap sejarah manusia melalui studi genetika. Ia berpendapat, bukti-bukti fosil yang berupa tulang-belulang serta alat-alat peninggalan yang terbuat dari batu amat minim ditemukan. Karena itu, rekonstruksi sejarah yang dilakukan para arkeolog dan paleoantropolog berdasarkan bukti-bukti tersebut kerap mengundang spekulasi yang kadang amat sukar dipertanggungjawabkan.
"Tulang dan batu bukan satu- satunya catatan tentang masa lalu manusia," ujarnya (hal 13). Melalui pendekatan genetika, Olson mengatakan bahwa sesungguhnya catatan yang jauh lebih lengkap justru tersimpan di hampir setiap sel tubuh manusia, yaitu pada molekul asam deoksiribonukleat (DNA). Dengan molekul panjang dan kompleks yang menurunkan informasi genetik antargenerasi ini, terdapat jejak sejarah manusia yang muskil terhapus.
Penggunaan DNA untuk melacak asal-usul manusia amat dimungkinkan. Informasi yang dikandung molekul ini didasarkan pada urutan dari keempat molekul nukleotida penyusunnya. Urutan khas inilah yang bakal diwariskan oleh sepasang individu terhadap keturunannya melalui proses penggandaan dan penyatuan kembali DNA. Namun, kendati diturunkan secara langsung, DNA anak tidak lantas sepenuhnya serupa dengan milik orangtuanya. Dalam proses penggandaan, perubahan yang sangat tipis pada urutan nukleotida niscaya terjadi akibat pengaruh faktor- faktor lingkungan.
Perubahan urutan tersebut diistilahkan sebagai mutasi. Apabila mutasi ini menguntungkan, ia akan diturunkan ke generasi selanjutnya. Dalam jelajah waktu, mutasi-mutasi ini semakin terakumulasi yang alhasil memengaruhi ciri fisik yang semakin berbeda pula. Dengan kata lain, semakin serupa urutan nukleotida, semakin dekat pula hubungan kekerabatannya.
Perbedaan urutan itulah yang digunakan untuk mengetahui sejarah manusia. Dengan kian masifnya studi DNA, para ahli dapat membandingkan sebesar apa perbedaan DNA yang terdapat pada kelompok-kelompok manusia di masa kini dengan DNA nenek moyang yang masih tertinggal di fosil-fosil temuan, termasuk dengan DNA milik manusia arkaik dan spesies hewan lainnya yang masih bertahan hingga kini.
Menurut Olson, setiap orang dari enam miliar penduduk bumi saat ini berasal dari keturunan sekelompok kecil manusia modern yang diperkirakan muncul sekitar 150.000 tahun yang lampau di bagian timur Afrika. Kelompok kecil yang dalam istilah ilmiah dinamai Homo sapiens ini merupakan hasil perkembangan lanjut dari spesies-spesies pada genus Homo lainnya, yang mulai muncul dua juta tahun silam.
Berikutnya, sekitar 100.000 tahun yang lalu, manusia modern bermigrasi ke utara di sepanjang Lembah Nil dan melintasi Jazirah Sinai menuju Timur Tengah. Lebih dari 60.000 tahun yang lalu, manusia yang masih tertinggal di timur Afrika bergerak di sepanjang pantai Jazirah Arab, India, dan Asia Tenggara, lalu berlayar ke Australia. Sekitar 40.000 tahun yang lampau, mereka yang berada di Timur Tengah pindah ke Eropa dan penghuni Asia Tenggara bergerak menuju Asia Timur. Terakhir, lebih dari 10.000 tahun silam, manusia modern menjelajahi dataran luas Siberia, menyeberangi Selat Bering, dan kemudian menyebar ke bagian utara dan selatan Amerika.
Perkembangan serta pola migrasi manusia modern selama 150.000 tahun sejatinya tidak memengaruhi perbedaan DNA secara signifikan. Dengan membandingkan urutan nukleotida yang terdapat pada individu dan kelompok yang berlainan, para ahli menemukan bahwa seluruh manusia memiliki 85 persen pola DNA yang sama. Sedang sisanya, sekitar 15 persen, merupakan variasi genetik yang mengakibatkan diversivikasi ciri fisik kita.
Padahal, para ahli biologi konservasi mengatakan bahwa pembagian individu-individu pada sebuah spesies ke dalam sub-spesies alias ras hanya bisa dilakukan jika perbedaan genetiknya mencapai 25 hingga 30 persen. Menilik fakta-fakta genetik ini, tak heran jika Olson berani mengambil kesimpulan yang tak bisa ditawar-tawar lagi: "... sebenarnya ras-ras manusia itu tidak ada" (hal 93).
Meski memusatkan kajian sejarah manusia dari aspek genetika, Olson tak lupa pula menghadirkan penjelasan atas pelbagai fenomena dan implikasi kultural yang terjadi di sepanjang diaspora manusia. Pembahasannya yang turut menyinggung asal-mula pertanian, pelayaran, hingga tesis yang menyatakan adanya keterkaitan yang berbanding lurus antara keragaman bahasa dan keragaman genetik manusia, menjadikan buku ini cukup memuaskan.
Hadirnya buku ini seakan melengkapi perspektif kita dalam memandang persoalan rasisme, sebagaimana yang turut dilakukan oleh Claude Levi- Strauss dalam Ras dan Sejarah (2000) lewat pendekatan antropologi. Akan tetapi, berbeda dengan Ras dan Sejarah yang cukup sukar dipahami, Olson sebaliknya menyajikan buku ini dengan bahasa yang ringan serta gaya bertutur yang sangat cair dan memikat. Ditambah dengan bagusnya kualitas terjemahan beserta contoh-contoh atas sejumlah konsep penting yang dijelaskan secara terperinci dan menghibur, saya kira buku ini mampu membikin nyaman pembaca, bahkan bagi pembaca yang masih kabur dengan konsep genetika sekalipun.
Pada akhirnya, segi terpenting dari buku ini adalah keinginan Olson yang sangat kukuh untuk mengikis pola pikir kita yang masih terjebak dalam fanatisme etnis. Keinginan tersebut tampak pada istilah-istilah yang digunakannya secara sadar dalam menyebut kelompok etnis tertentu, sambil melayangkan argumen ilmiah tentang penolakannya pada istilah-istilah yang lazimnya pekat berbau rasisme. Buku ini tentunya amat relevan bagi bangsa kita yang sedang diselimuti pertikaian antarkelompok. Bagaimanapun, seluruh manusia di bumi ini memiliki kesatuan lekat sebagaimana yang tercatat dalam DNA kita.
Oleh: Muhammad Safrinal Mahasiswa Tingkat Akhir Biologi Universitas Negeri Yogyakarta, Bergiat di LPM EKSPRESI di Yogyaka.
Sumber:
www.serambi.co.id
Kompas, 27 Juli 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar