Rabu, 17 Desember 2014

Berdasarkan Tapak Batu, Teori Migrasi Austronesia Indonesia Harus Ditulis Ulang

Berdasarkan Tapak Batu, Teori Migrasi Austronesia Indonesia Harus Ditulis Ulang

By  on December 15, 2012
Manusia Prasejarah Gayo--salah satu temuan Balai Arkeologi Medan yang dipimpin Ketut Wiradnyana berhasil meruntuhkan teori tentang sebaran batu kapak di Indonesia. Karena di Loyang Peteri Pukes dan Pulau Weh telah ditemukan Batu Kapak lonjong yang selama ini sebarannya hanya ada di Indonesia bagian Timur. (Lintas Gayo | Win Ruhdi Bathin)
Takengon | Lintas Gayo - Teori yang mengungkapkan bahwa sebaran kapak persegi hanya ada di Indonesia bagian Timur dan kapak lonjong di Indonesia Barat, sudah tidak lagi tepat dan harus direkonstruksi. Pasalnya, kapak persegi telah ditemukan di Pulau Weh Sabang dan di Loyang Putri Pukes.
Demikian diungkapkan ketua penelitian Kajian Indonesia Austronesia Prasejarah dan Sesudahnya di Wilayah Budaya Gayo (Austronesia di Indonesia Bagian Barat), Ketut Wiradnyana, Jum’at (14/12/2012).
Menurut Ketut Wiradnyana, di Loyang Putri Pukes ditemukan kapak lonjong. Artinya, teori migrasi berdasarkan kapak batu harus direposisi karena tidak tepat lagi. Kapak lonjong ternyata tidak hanya di Indonesia timur persebarannya, tapi di wilayah Barat Indonesia.
Temuan terbaru Balar Medan ini telah meruntuhkan teori lama dan perlu penulisan ulang sejarah batu kapak Indonesia yang dinilai Ketut sudah tidak lagi relevan dengan temuan terbaru.
Ketut sudah mengirim delapan sampel dari temuannya ke Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) Jakarta . Kerangka manusia prasejarah yang tidak utuh di lokasi penelitian Balar , tambah Ketut, diduga berasal dari zaman awal-awal masehi.
Selain menganalisa dengan analisa karbon, Ketut juga melakukan tes DNA untuk manusia prasejarah gayo ini sehingga data yang terkumpul validitasnya akan diakui.
Lokasi Ekskavasi Mendale, menguak banyak tabir tentang hunian prasejarah gayo yang diyakini lebih dari 7400 tahun silam. (Lintas Gayo | Win Ruhdi Bathin)
Bukan itu saja, rinci Ketut , berdasarkan analisis, bahwa Loyang Ujung Karang yang saat ini berjarak lebih kurang 300 meter lebih dari bibir Danau, dahulu bibir Danau berada didepan Loyang Ujung Karang. Kini danau menyusut hampir 300 meter lebih menyusut meninggalkan sisi Loyang Ujung Karang.
Dari kerangka prasejarah ini, umumnya ras Austromelanesoid. Bahkan Ketut menduga di sebuah temuan Loyang Mendale pada kedalaman 2.5 meter, Moyang  orang gayo diperkirakan lebih tua dari dari 7400 tahun lalu.  Kehidupan disana diprediksi 5000 tahun lalu hingga awal masehi. Atau 300 tahun masehi. Artinya, ulas Ketut lagi, sepanjang 3000 tahun, lokasi Mendale dan Ujung Karang sudah dijadikan kawasan hunian, serta perkuburan.
Berbagai benda ditemukan seperti Sumatralith. Dan temuan lain seperti perhiasan kerang dari pesisir pantai. Metode penguburan masih dilipat, dibuatkan lubang kubur.Selama kurun waktu 3000. Untuk Penelitian di kawasan Linge , kata Ketut  sulit dilanjutkan karena terbatasnya anggaran Balar. Kecuali anggarannya dibantu Pemda atau pihak lain.
Ketut dan kawan-kawan dari Balar, di Loyang Ujung Karang, menemukan dua kerangka manusia dalam satu lubang kubur. Hal ini pernah ditemukan di Gua Harimau Sumatera Selatan. Temuan di gayo dinilai Ketut sangat penting karena merupakan sejarah identitas gayo.
“Identitas ini seperti halnya KTP. Bagaimana orang hidup tanpa KTP. Beginilah pentingnya sejarah Muyang Datu gayo”, tegas Ketut. Tambahnya lagi, temuan di gayo juga telah meruntuhkan teori sebaran batu kapak yang selama ini itulis dan dipahami karena tulisan sejarah itu harus direposisi kembali atas nama ilmu pengetahuan. (Win Ruhdi Bathin)

Sumber:
http://www.lintasgayo.com/31742/berdasarkan-tapak-batu-teori-migrasi-austronesia-indonesia-harus-ditulis-ulang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar