TATAR SUNDA, DANGKALAN SUNDA DAN KERAJAAN SUNDA
Nama wilayah (tanah, tatar) yang menurut sumber setempat meliputi bagian Barat Pulau Jawa yang mula-mula (sampai akhir abad ke 16) batasnya sebelah Timur adalah Sungai Cimapali (Kali Pemali sekarang), tetapi kemudian batas itu pindah ke sebelah Barat ke sungai Cilosari. Menurut Tome’ Pires, orang Portugis, pada tahun 1513, batas sebelah Timur itu ialah Sungai Cimanuk. Tetapi mungkin berdasakan tafsiran atau informasi tentang perbedaan agama yang dianut, yaitu antara agama Hindu (Sunda) dan Agama Islam (Jawa). Bagian terbesar (2/3) Tanah Sunda berupa dataran tinggi dan pegunungan, hanya bagian Utara yang berupa dataran rendah. Pegunungan itu memanjang dari Barat ke Timur.
Tanahnya subur, karena bagian atasnya dilapisi tanah hasil semburan lava gunung berapi. Banyak pula dijumpai sungai yang berkelok-kelok mengalir dari daerah pedalaman (pegunungan) menuju laut, baik di Utara (Laut Jawa), Barat (Selat Sunda) maupun di Selatan (Lautan Hindia). Dalam Geologi (Ilmu Bumi) dikenal nama Dataran Sunda, yaitu dataran pada masa lampau (masa glasial) yang terbentang dari Barat ke Timur antara Lembah Brahmanadapura di Myanmar sekarang hingga Maluku.
Begitu pula dikenal istilah Sunda Besar yang meliputi pulau-pulau: Sumatera, Kalimantan,
Pulau Jawa, dan Pulau Madura. Serta Sunda Kecil yang terdiri dari pulau-pulau: Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, dan Timor (sekarang wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur). Batas sebelah Barat Tatar Sunda berupa laut yang memisahkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera, yang disebut Selat Sunda. Letak Selat ini sangat strategis sehingga memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah kawasan ini, salah satu jalan yang dilalui route perdagangan laut yang menghubungkan kawasan Nusantara dan Asia Tenggara dengan kawasan Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Barat serta kemudian Eropa sejak awal masa sejarah (abad-abad pertama masehi).
Di selat ini terdapat pulau berupa gunung berapi yang dinamai Rakata atau Krakatau yang terkenal karena sering meletus, terutama letusan yang sangat dahsyat pada Tahun 1883. Di Tanah Sunda terdapat banyak gunung berapi dan salahsatu dari gunung berapi itu ialah Gunung Sunda. Gunung ini terletak di tengah-tengah wilayah ini, yaitu di sebelah Barat Gunung Tangkuban Parahu atau di sebelah Barat Daya kota Bandung.
Secara geologis gunung ini meletus dengan dahsyat sekali pada masa lampau sehingga lava dan tanah terlempar ke sebelah Selatan dan menutup sungai Citarum yang mengakibatkan terbentuknya Danau Bandung. Penduduk di Wilayah Tatar Sunda disebut urang (orang) Sunda. Mereka bersikap baik terhadap kaum pendatang (somea’ah hade’ ka se’mah). Secara fisik sulit dibedakan antara Orang Sunda dan Orang Jawa yang sama-sama mendiami Pulau Jawa. Perbedaan yang nampak sebagai penduduk Pulau Jawa, akan tampak jelas ditinjau dari segi kebudayaannya, termasuk bahasanya.
Penamaan Sunda bagi tanah, wilayah dan penduduknya diketahui telah digunakan pada abad ke 18, sebagaimana dibuktikan oleh prasasti Parahajian Sunda yang ditemukan di Bogor. Segala sesuatu yang bertalian dengan Kebudayaan Sunda yang merujuk kepada kebudayaan masa pra Islam (sebelum abad ke -17) disebut Sunda Buhun (Sunda Kuna); tetapi yang intensif digunakan adalah menyangkut bahasa, sastera, dan aksara (Bahasa Sunda Kuna dan Aksara Sunda Kuna).
Sunda juga digunakan pula sebagai nama kerajaan yang diketahui telah ada sejak abad ke-8 hingga runtuhnya pada akhir abad ke -16 (1579). Pada masa jayanya luas wilayah Kerajaan Sunda meliputi seluruh Tatar Sunda. Ibukota kerajaan ini mengalami beberapa kali pindah, antara lain di Galuh (Ciamis) dan Pakuan Pajajaran (Bogor). Berpindah-pindahnya ibukota kerajaan ini dimungkinkan oleh karena masyarakatnya merupakan masyarakat ladang (huma), yaitu bertani dengan menggarap lahan kering yang memang selalu berpindah-pindah lahan garapannya. Sistem pertanian ladang tradisional masih dilakukan hingga sekarang oleh masyarakat Kanekes atau Baduy di Banten Selatan.
DANGKALAN SUNDA
Istilah dalam geologi Indonesia untuk menamai dataran atau paparan Indonesia barat; meliputi Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan pulau-pulau serta dasar laut transgresi (laut Jawa, Laut Natuna, di bagian selatan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka); sebelum Zaman Pleistosen menjadi satu kesatuan dengan benua Asia.
Batas daerah dangkalan Sunda di sebelah timur yaitu “Garis Wallace” garis yang melintang mulai dari perairan Timur Pulau Mindanau (Filipina) terus ke laut Sulawesi, Selat Makasar, Selat Lombok dan berakhir di Samudera Indonesia. Laut-laut transgresi di wilayah Dangkalan Sunda berkedalaman rata-rata 200 m.
KERAJAAN SUNDA
Kerajaan Sunda di Jawa Barat merupakan salah satu kerajaan yang pernah berperan di Indonesia. Menurut berbagai sumber, kerajaan itu didirikan tahun 669 oleh Maharaja Tarusbaya, dan runtuh pada tahun 1579 oleh serbuan pasukan gabungan Banten dan Cirebon.
Nama Sunda pertama kali muncul dalam prasasti Rakryan Jurupangambat (736); lalu prasasti Sanghiang Tapak (1030) yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Jayabhupati. Dari masa yang kira-kira sejaman, nama Sunda tercantum dalam prasasti Horen dari Jawa Timur.
Nama Sunda lebih banyak ditemukan dalam sumber naskah dan tradisi lisan. Hingga saat ini, naskah tertua yang menyebutkan nama Sunda adalah Sanghyang Siksa kandang Karesyan (1518), kemudian Carita Parahyiangan (1580). Naskah Sajarah Banten pada abad ke-18 menjadi penting karena dapat digunakan sebagai pangkal untuk melacak masa berakhirnya kekuasaan Kerajaan sunda.
Selain sumber Indonesia, sejumlah sumber lain dapat dijadikan saksi mengenai kehadiran Negara Sunda. Tome’ Pires, misalnya, menyebutkan bahwa pada awal abad ke 16 ada negara yang disebutnya regno de cumda; Antonio Pigafetta menyebutkan bahwa ada Negara Sunda yang bernama Sunda yang banyak menghasilkan lada; bahwa penyair Luis de Camoes juga menyebutkan negara itu dalam sajaknya yang terkenal Os Lusiada.
Menurut carita Parahyiangan, Rahyang Sanjaya oleh kakeknya disuruh pergi menghadap Tohaan di Sunda (yang Dipertuan di Sunda), dan bahkan kemudian ia menjadi menantu Maharaja Tarusbawa, pendiri Negara Sunda dan perencana pembangunan Ibukota Pakuan Pajajaran.
Setelah Tarusbawa meninggal, Sanjaya menggantikannya sebagai Raja Sunda. Kedudukan yang kemudian diserahkan kepada Rahyang Tamperan, anak dari puteri (cucu) Tarusbawa, karena Sanjaya sendiri menjadi Raja Galuh dan kemudian di Mataram. Kerajaan Sunda terdiri dari negara kembar: Galuh di Timur dan Sunda atau Pajajaran di Barat. Raja yang memerintah kadang-kadang menguasai kedua wilayah itu, atau hanya menguasai satu wilayah saja.
Dalam keadaan demikian, kedua negara mempunyai kedudukan yang sederajat. Hal itu dimungkinkan karena seringnya terjadi kawin-mawin di antara turunan Raja Sunda dan Raja Galuh sehingga pewarisan takhta sangat tergantung kepada pihak mana yang mempunyai anak lelaki. Menurut naskah Pangeran Wangsakerta, tercatat 40 raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Sunda. Mulai dari (1) Maharaja Tarusbawa (669-723) hingga (40) Ratu Ranggamulya (1567-1579). Pada masa pemerintahan Prebu Ajiguna Linggawisesa, sudah mulai terdapat orang yang beragama Islam di Daerah Sunda; yaitu Haji Purwa yang diduga masih kerabat Istana Galuh. Pada masa pemerintahan Prebu Maharaja, terjadi peristiwa Bubat (1357) akibat muslihat Mahapatih Gajahmada.
Sumber: Ensiklopedi Sunda
Penerbit: Pustaka Jaya
Sumber:
https://wawanhr.wordpress.com/2008/03/27/tatar-sunda-dangkalan-sunda-dan-kerajaan-sunda/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar