Sabtu, 11 Oktober 2014

Merawat Karst, Menyelamatkan Laboratorium Hidup

Merawat Karst, Menyelamatkan Laboratorium Hidup

 
Mulut Gua Sulaiman di karst Maros. Foto: Rko Rusdianto 
Mulut Gua Sulaiman di karst Maros. Foto: Eko Rusdianto
Menjulang. Berbentuk tebing-tebing curam, menonjol layaknya tower-tower (mogote) tampak di sepanjang Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan.  Itulah batuan kapur (karst). Bak permainan, tak beraturan, namun indah dipandang mata.
Karst di dua daerah ini mejadi terluas kedua di dunia setelah China bagian Selatan. Menara-menara karst Maros-Pangkep oleh  beberapa ahli dikatakan sebagai The Spectacular Tower Karst.
Selain bentang alam, ekosistem karst sangat unik, mulai flora fauna, kehidupan bawah tanah, hingga lorong-lorong batuan alias gua. Di karst Maros-Pangkep, tak kurang ada 400 gua. Ada vertikal, dan horizontal. Panjang bervariasi, dari puluhan hingga ribuan meter.
Pada Selasa (9/9/14), saya bersama Kamajaya Saghir, peneliti di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, memasuki gua Sulaiman. Terletak di pinggir Jalan utama Maros-Camba. Mulut gua terlihat kecil, dengan dua percabangan. Kami memilih percabangan arah kiri. Sepatu boots, lampu kepala (head lamp), dan senter siap menemani.
Di mulut gua, Kamajaya memperlihatkan sebuah stalaktit yang membekukan beberapa hewan laut, seperti kerang dan molusca. Inilah salah satu fungsi ornamen gua dan batuan karst.
Kala menyelip di antara batuan, sebuah ornamen gordyn menyambut, berbentuk gorden, warga kecoklatan, berlekuk-lekuk menjuntai. Antara untaian terlihat jangkrik. “Coklat, karena rembesan air membawa material tanah,” kata Kamajaya.
Semua ornamen gua dihasilkan melalui media air. Berbentuk unik bahkan terkesan misterius. Mulaifish stone (bentuk tulang ikan), gordam (lahan sawah terasaring), hingga mata tombak. Untuk menghasilkan bentukan itu, perlu waktu sangat lama, bisa puluhan, bahkan ratusan tahun. “Bayangkan, jika seseorang memasuki gua dan memotong stalaktit atau ornamen gua lain hanya buat hiasan.”
Stalaktit mati di mulut gua Sulaiman. Foto: Eko Rusdianto  
Stalaktit mati di mulut gua Sulaiman. Foto: Eko Rusdianto
Panjang gua Sulaiman mencapai 500 meter, di ujung ada sungai bawah tanah. Ke sana, harus menuruni lereng lumpur dan terjal sekitar 10 meter. Perlu kewaspadaan dan peralatan memadai. Makin menyusuri gua, makin beragam ornamen ditemui. Ada jalur dilalui berjalan tegak dan berbungkuk, dasar gua dari tanah berlumpur, tebing berkelok karena bentukan air. Ataupun stalaktit menjuntai dari plafon gua seperti lampu hias. Begitu indah.
Pada satu titik, kami berhenti memperhatikan tetesan air dari stalaktit dan bakal stalakmit yang menonjol dari dasar gua. “Ini musim kemarau. Kita tak tahu, apakah air yang menetes ini dari musim hujan lalu, atau sebelumnya, bahkan puluhan tahun lalu?”
Sedangkan, proses pembentukan ornamen gua, Goelog dan Peneliti Karst Universitas Hasanuddin Makassar, Imran Umar menyebut sebagai proses karstifikasi. Menurut dia, punggung-punggung karst yang membuka celah atau retakan akan membawa air hujan dan menyimpan dalam batuan. Lalu larut bersama kalsit atau unsur semen (CaCO3) dan merembes perlahan menuju dinding ataupun plafon gua.
Setiap perjalanan membentuk ornamen gua, memiliki proses kimia dari unsur air (H2O), udara (O2), dan karbon (CO2) yang larut bersama kalsit (CaCO3).  Proses ini, pada dasarnya sama dengan pembentukan karang di bawah laut. “Maka karang ataupun stalaktit dan ornamen gua lain sangat rentan perubahan iklim,” kata Imran.
Masa Depan
Tahun 2013, beberapa peneliti mendatangi gua di TN Bantimurung-Bulusaraung. Mereka telaten memunguti beberapa patahan stalaktit dan stalakmit. Perlahan mengebor bagian tengah dan memasukkan lem khusus. Kamajaya menjadi pendamping lapangan penelitian itu. “Mereka menempelkan kembali.”
Ornamen gua berbentuk gorden. Foto: Eko Rusdianto  
Ornamen gua berbentuk gorden. Foto: Eko Rusdianto
Saya bertemu beberapa penjelajah gua, baik mahasiswa dan kelompok pencinta alam. Rata-rata mereka berpendapat ornamen adalah bagian rentan dalam gua, tak boleh disentuh apalagi dipatahkan. Sebagian besar,  tak ada yang mengetahui fungsinya.
Stalaktit adalah ornamen gua yang menjuntai berbentuk gigi taring runcing. Pasangannya, stalakmit menonojol dari bawah melalui tetesan air stalaktit. Ketika dua ornamen menyatu,  akan membentuk tiang (pilar). “Ornamen inilah yang dijadikan peneliti memprediksi perubahan iklim purba,” kata Imran.
Stalaktit, katanya, sama seperti potongan batang pohon, memiliki garis semburat untuk mengetahui periode dalam menentukan usia. “Ingat iklim itu siklus. Gempa Jogja siklus 30 tahunan. Semua didapatkan dari kajian geologi.”
Dalam kajian Arkeologi, gua di Maros-Pangkep dihuni manusia sejak 4000 tahun lalu. Melalui teori migrasi Out of Taiwan, dari China menuju Taiwan, kemudian dari Taiwan menuju Filipina, lalu turun ke Kalimantan dan Sulawesi. Dari Sulawesi menuju kepulauan Polonesia.
Migrasi ini karena terjadi perubahan iklim di Eropa dan Amerika. Air laut menjadi es dan permukaan air turun hingga 120 meter. Namun, laut di sekitar Sulawesi tak mengalami pendangkalan karena memiliki garis palung, sebagai daerah terisolir.
Mengapa mereka meninggalkan Sulawesi? Apakah terjadi perubahaan iklim? “Kita belum bisa menyimpulkan itu. Namun kita bisa memprediksi, apakah siklus iklim ekstrim pernah terjadi di Sulawesi khusus Maros, dengan meneliti stalaktit yang masih hidup dan segar. Sebab stalaktit sudah mati tak memberikan informasi apa-apa,” kata Imran.
Untuk itu, ujar dia, menjaga dan menata kawasan karst bukan hanya kepentingan pariwisata, melainkan laboratorium hidup untuk memprediksi masa depan.
Stalakmit yang menonjol dari bawah, dan menempel pada sebuah pilar. Foto: Eko Rusdianto  Sumber: www.mangobay.co.id
Stalakmit yang menonjol dari bawah, dan menempel pada sebuah pilar. Foto: Eko Rusdianto

Merawat Karst, Menyelamatkan Laboratorium Hidup  was first posted on September 11, 2014 at 4:33 pm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar