Sabtu, 25 Oktober 2014

Jejak Prasejarah Nusantara, Paleolitik, Neolitik, Megalitik dan Zaman Perunggu

Jejak Prasejarah Nusantara, Paleolitik, Neolitik, Megalitik dan Zaman Perunggu

Wilayah Nusantara merupaken kajian yg menarik dari sisi geologi karena sangat aktif. Di bagian timur sampai selatan kepulauan ini terdapat busur pertemuan dua lempeng benua yg besar: Lempeng Eurasia & Lempeng Indo-Australia. Di bagian ini, lempeng Eurasia bergerak menuju selatan & menghunjam ke bawah Lempeng Indo-Australia yg bergerak ke utara. Akibat hal ini terbentuk barisan gunung api di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, sampai pulau-pulau Nusa Tenggara. Daerah ini juga rawan gempa bumi sebagai akibatnya.
Nusantara pada periode prasejarah mencakup suatu periode yg sangat panjang, kira-kira sejak 1,7 juta tahun yg lalu, berdasarkan temuan-temuan yg ada. Pengetahuan orang terhadap hal ini didukung oleh temuan-temuan fosil hewan & manusia [hominid], sisa-sisa peralatan dari batu, bagian tubuh hewan, logam [besi & perunggu], serta gerabah.
Di bagian timur terdapat pertemuan dua lempeng benua besar lainnya, lempeng Eurasia & lempeng Pasifik. Pertemuan ini membentuk barisan gunung api di Kepulauan Maluku bagian utara ke arah bagian utara Pulau Sulawesi menuju Filipina.
Nusantara di Zaman Es akhir pernah menjadi bagian dua daratan besar. Wilayah barat Nusantara moderen muncul kira-kira sekitar kala Pleistosen terhubung dengan Asia Daratan. Sebelumnya diperkirakan sebagian wilayahnya merupaken bagian dari dasar lautan. Daratan ini dinamakan Paparan Sunda [”Sundaland”] oleh kalangan geologi. Batas timur daratan lama ini paralel dengan apa yg sekarang dikenal sebagai Garis Wallace.
Di akhir Zaman Es terakhir [20. 000-10. 000 tahun yg lalu] suhu rata-rata bumi meningkat & permukaan laut meningkat pesat. Sebagian besar Paparan Sunda tertutup lautan & membentuk rangkaian perairan Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Karimata, & Laut Jawa. Pada periode inilah terbentuk Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, & pulau-pulau di sekitarnya. Di timur, Pulau Irian & Kepulauan Aru terpisah dari daratan utama Benua Australia. Kenaikan muka laut ini memaksa masyarakat penghuni wilayah ini saling terpisah & mendorong terbentuknya masyarakat penghuni Nusantara moderen.
Wilayah timur Nusantara, di sisi lain, secara geografis terhubung dengan Benua Australia & berumur lebih tua sebagai daratan. Daratan ini dikenal sebagai Paparan Sahul & merupaken bagian dari Lempeng Indo-Australia, yg pada gilirannya ialah bagian dari Benua Gondwana.

Penemuan masa Prasejarah Nusantara

  1. Situs Pangguyangan, Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat
  2. Situs Cipari, Kuningan, Jawa Barat
  3. Situs Goa Pawon, Bandung, Jawa Barat
  4. Situs Gunungpadang, Cianjur, Jawa Barat
  5. Situs Gilimanuk, Jembrana, Bali
  6. Liang Bua, Pulau Flores
  7. Gua Leang-leang, Sulawesi
  8. Situs Gua Perbukitan Sangkulirang, Kutai Timur
  9. Situs Pasemah di Lampung
  10. Gua Babi di Gunung Batu Buli, desa Randu, Muara Uya, Tabalong
  11. Situs Gua-gua Biak, Papua [40. 000-30. 000 SM]
  12. Situs Lukisan tepi pantai di Raja Ampat, Papua Barat
  13. Situs Tutari, Kabupaten Jayapura, [periode Megalitikum]
  14. Situs Gua Putri, Baturaja, Sumatera Selatan
  15. Lembah Sangiran, sekarang menjadi Taman Purbakala Sangiran
  16. Situs Purbakala Wajak, Tulungagung
Sejarah geologi Nusantara memengaruhi flora & fauna, termasuk makhluk mirip manusia yg pernah menghuni wilayah ini. Sebagian daratan Nusantara dulu merupaken dasar laut, seperti wilayah pantai selatan Jawa & Nusa Tenggara. Aneka fosil hewan laut ditemukan di wilayah ini. Daerah ini dikenal sebagai daerah karst yg terbentuk dari endapan kapur terumbu karang purba.
Endapan batu bara di wilayah Sumatera & Kalimantan memberi indikasi pernah adanya hutan dari masa Paleozoikum.
Laut dangkal di antara Sumatera, Jawa [termasuk Bali], & Kalimantan, serta Laut Arafura & Selat Torres ialah perairan muda yg baru mulai terbentuk kala berakhirnya Zaman Es terakhir [hingga 10. 000 tahun sebelum era moderen]. Inilah yg menyebabkan mengapa ada banyak kemiripan jenis tumbuhan & hewan di antara ketiga pulau besar tersebut.
Flora & fauna di ketiga pulau tersebut memiliki kesamaan dengan daratan Asia [Indocina, Semenanjung Malaya, & Filipina]. Harimau, gajah, tapir, kerbau, babi, badak, & berbagai unggas yg hidup di Asia daratan banyak yg memiliki kerabat di ketiga pulau ini.
Makhluk mirip manusia [hominin] yg menghuni Nusantara yg diketahui ialah manusia Jawa. Fosil dari satu bagian tengkorak Pithecanthropus erectus ditemukan pada tahun 1891 oleh Eugene Dubois di Trinil, Kabupaten Ngawi. Sejak 1934, G. H. R. von Koenigswald beserta timnya menemukan serangkaian fosil hominin di lembah sepanjang Bengawan Solo, yaitu di Sangiran & Ngandong serta di tepi Sungai Brantas di dekat Mojokerto. Para ahli paleontologi sekarang kebanyakan berpendapat bahwa semua fosil temuan dari Jawa ialah Homo erectus & merupaken bentuk yg primitif. Semula diduga berumur 1. 000. 000 sampai 500. 000 tahun [pengukuran karbon tak memungkinkan], kini berdasarkan pengukuran radiometri terhadap mineral vulkanik pada lapisan penemuan diduga usianya lebih tua, yaitu 1,7-1,5 juta tahun.
Homo sapiens moderen pertama masuk ke Nusantara diduga sekitar 100. 000 tahun lalu, melalui India & Indocina. Fosil Homo sapiens pertama di Jawa ditemukan oleh van Rietschoten [1889], anggota tim Dubois, di Wajak, dekat Campurdarat, Tulungagung, di tepian Sungai Brantas. Ia ditemukan bersamaan dengan tulang tapir, hewan yg pada masa kini tak hidup di Jawa. Fosil Wajak dianggap bersamaan ras dengan fosil Gua Niah di Sarawak & Gua Tabon di Pulau Palawan. Fosil Niah diperkirakan berusia 40. 000-25. 000 tahun [periode Pleistosen] & menunjukkan fenotipe “Australomelanesoid”. Mereka ialah pendukung budaya kapak perimbas [chopper] & termasuk dlm kultur paleolitikum [Zaman Batu Tua].
Pengumuman pada tahun 2003 tentang penemuan Homo floresiensis yg dianggap sebagai spesies Homo primitif oleh para penemunya memantik perdebatan baru mengenai kemungkinan adanya spesies mirip manusia yg hidup dlm periode yg bersamaan dengan H. sapiens, karena hanya berusia 20. 000-10. 000 tahun sejak era moderen & tak terfosilisasi. Hal ini bertentangan dengan anggapan sebelumnya yg menyatakan bahwa hanya H. sapiens yg bertahan di Nusantara pada masa itu. Perdebatan ini belum tuntas, karena penentangnya menganggap H. floresiensis ialah H. sapiens yg menderita penyakit sehingga berukuran katai.
Diorama di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, menampilkan model ukuran sebenarnya pemburu bersenjata alat batu, keluarga Homo erectus hidup di Sangiran sekitar 900. 000 tahun yg lalu. Bukti-bukti Homo sapiens pertama diketahui dari tengkorak & sisa-sisa tulang hominin di Wajak, Gua Niah [Serawak], serta temuan-temuan baru di Pegunungan Sewu sejak awal paruh kedua abad ke-20 sampai sekarang, membentang dari Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, sampai kawasan Teluk Pacitan, Kabupaten Pacitan. Temuan di Wajak, yg pertama kali ditemukan sulit ditentukan penanggalannya, namun fosil di Gua Niah menunjukkan usia sekitar 40. 000 tahun yg lalu. Usia fosil utuh di Gua Braholo [Gunungkidul, ditemukan tahun 2002] & Song [Gua] Keplek & Terus [Pacitan] berusia lebih muda [sekitar 10. 000 tahun sebelum era moderen atau tahun 0 Masehi]. Pendugaan ini berasal dari bentuk perkakas yg ditemukan menyertainya.
Walaupun berasal dari masa budaya yg berbeda, fosil-fosil itu menunjukkan ciri-ciri Austromelanesoid, suatu subras dari ras Negroid yg sekarang dikenal sebagai penduduk asli Pulau Papua, Melanesia, & Benua Australia. Teori mengenai asal-usul ras ini pertama kali dideskripsikan oleh Fritz & Paul Sarasin, dua sarjana bersaudara [sepupu satu sama lain] asal Swiss di akhir abad ke-19. Dalam kajiannya, mereka melihat kesamaan ciri antara orang Vedda yg menghuni Sri Lanka dengan beberapa penduduk asli berciri sama di Asia Tenggara kepulauan & Australia.

Neolitik

Batu yg diasah ialah bukti peradaban neolitik, misalnya mata kapak batu & mata cangkul batu yg diasah. Batu yg diasah & dihaluskan ini dikembangkan oleh orang-orang Austronesia yg menghuni kepulauan Indonesia. Pada periode ini pula berkembang struktur batu besar atau megalitik di Nusantara.

Paleolitik

Homo erectus diketahui menggunakan alat batu kasar khas paleolitik & juga alat yg terbuat dari cangkang kerang, hal ini berdasarkan temuan di Sangiran & Ngandong. Analisis bekas irisan pada fosil tulang mamalia yg berasal dari era Pleistosen mencatat 18 luka bekas irisan akibat alat serpihan cangkang kerang saat menyembelih lembu purba, ditemukan pada formasi Pucangan di Sangiran yg berasal dari kurun 1,6 sampai 1,5 juta tahun lalu. Tanda bekas irisan pada tulang ini menunjukkan penggunaan alat batu pertama yg menunjukkan bukti tertua penggunaan alat serpihan cangkang kerang yg ditajamkan di dunia.

Megalitik

Masyarakat di pulau Nias di Indonesia tengah memindahkan sebuah megalit ke kawasan pembangunan, sekitar tahun 1915.
Monolitik Toraja sekitar tahun 1935. Nusantara ialah rumah bagi banyak situs megalitik bangsa Austronesia pada masa lalu sampai masa kini. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan, misalnya menhir, dolmen, meja batu, patung nenek moyang, & piramida berundak yg lazim disebut Punden Berundak. Struktur megalitik ini ditemukan di Jawa, Sumatera, Sulawesi, & Kepulauan Sunda Kecil. Punden berundak & menhir ditemukan di situs megalitik di Pagguyangan, Cisolok & Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yg juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, & sarkofagus. Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara & merupaken rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara sesudah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Candi Borobudur dari abad ke-8 & candi Sukuh dari abad ke-15 tak ubahnya ialah struktur punden berundak.
Di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, ditemukan beberapa relik megalitik yg menampilkan patung nenek moyang. Kebanyakan terletak di lembah Bada, Besoa, & Napu. Tradisi megalitik yg hidup tetap bertahan di Nias, pulau yg terisolasi di lepas pantai barat Sumatera, Kebudayaan Batak di pedalaman Sumatera Utara, pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, serta kebudayaan Toraja di pedalaman Sulawesi Selatan. Tradisi megalitik ini tetap bertahan, terisolasi, & tak terusik sampai akhir abad ke-19.

Zaman Perunggu

Kebudayaan Dong Son menyebar ke Indonesia membawa teknik peleburan & pembuatan alat logam perunggu, pertanian padi lahan basah, ritual pengorbanan kerbau, praktik megalitik, & tenun ikat. Praktik tradisi ini ditemukan di masyarakat Batak & Toraja serta beberapa pulau di Nusa Tenggara. Artifak peradaban ini ialah gendang perunggu Nekara yg ditemukan di seantore Nusantara serta kapak perunggu upacara.

Sistem kepercayaan

Warga Indonesia purba ialah penganut animisme & dinamisme yg memuliakan roh alam & roh nenek moyang. Arwah Leluhur yg telah meninggal dunia dipercaya masih memiliki kekuatan spiritual & mempengaruhi kehidupan keturunannya. Pemuliaan terhadap arwah nenek moyang menyebar luas di masyarakat kepulauan Nusantara, mulai dari masyarakat Nias, Batak, Dayak, Toraja, & Papua. Pemuliaan ini misalnya diwujudkan dlm upacara sukuran panen yg memanggil roh dewata pertanian, sampai upacara kematian & pemakaman yg rumit untuk mempersiapkan & mengantar arwah orang yg baru meninggal menuju alam nenek moyang. Kuasa spiritual tak kasat mata ini dikenali sebagai hyang di Jawa & Bali & sampai kini masih dimuliakan dlm agama Hindu Dharma Bali.
Mata pencaharian & penghidupan masyarakat prasejarah di Indonesia berkisar antara kehidupan berburu & meramu masyarakat hutan, sampai kehidupan pertanian yg rumit, dengan kemampuan bercocok tanam padi-padian, memelihara hewan ternak, sampai mampu membuat kerajinan tenun & tembikar. Kebudayaan Buni berupa budaya tembikar berkembang di pantai utara Jawa Barat & Banten sekitar 400 SM sampai 100 M. Kebudayaan Buni mungkin merupaken pendahulu kerajaan Tarumanagara, salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia yg menghasilkan banyak prasasti yg menandai awal berlangsungnya periode sejarah di pulau Jawa.
Kondisi pertanian yg ideal memungkinkan upaya bercocok tanam padi lahan basah [sawah] mulai berkembang sekitar abad ke-8 SM. memungkinkan desa & kota kecil mulai berkembang pada abad pertama Masehi. Kerajaan ini yg lebih mirip kumpulan kampung yg tunduk kepada seorang kepala suku, berkembang dengan kesatuan suku bangsa & sistem kepercayaan mereka. Iklim tropis Jawa dengan curah hujan yg cukup banyak & tanah vulkanik memungkinkan pertanian padi sawah berkembang subur. Sistem sawah membutuhkan masyarakat yg terorganisasi dengan baik dibandingkan dengan sistem padi lahan kering [ladang] yg lebih sederhana sehingga tak memerlukan sistem sosial yg rumit untuk mendukungnya.

Sumber:
http://www.sejarahnusantara.com/periode-prasejarah/jejak-prasejarah-nusantara-paleolitik-neolitik-megalitik-dan-zaman-perunggu-10013.htm

Sinkhole Raksasa Terbentuk di Inggris, Akibat Tambang Tua Runtuh?

Sinkhole Raksasa Terbentuk di Inggris, Akibat Tambang Tua Runtuh?

  •  31 Des 2013 09:51

sinkhole-inggris-131231b.jpg
Sebuah sinkhole raksasa muncul di wilayah Distrik Peak, Derbyshire, Inggris. Saksi mata menyebut, lubang runtuhan sepanjang 49 meter dan lebar 39 meter mendadak menganga di Desa Foolow. 

Caver Mark Noble (58) dari wilayah Eyam mengatakan, ia melihat keberadaan lubang itu saat sedang berjalan kaki bersama istrinya, Wendy pada Hari Natal. Namun, pria paro baya itu yakin, tanah tersebut sudah runtuh sehari sebelumnya. 

"Lubang itu cukup besar dan makin bertambah besar. Mungkin bertambah 10 persen sejak ia terbentuk," kata dia seperti dimuat BBC, 30 Desember 2013. 

Caver mengatakan, di masa lalu, ia pernah menyaksikan sinkhole muncul di Foolow, yang diyakini sebagai akibat dari tambang timah tua yang ambrol. 

"Sangat menarik, namun pernah ada dua lubang besar serupa lainnya yang muncul sekitar setengah mil jauhnya pada tahun 1970-an, jadi bukan hal yang baru," tambah Caver.

Diduga kuat sinkhole yang terbentuk di Desa Foolow diakibatkan hujan deras selama periode Natal. 

Warga setempat percaya bahwa lubang aneh tersebut dipicu hujan lebat yang membuat bagian dari tambang timah tua Mill Dam runtuh. 

Petugas layanan listrik langsung mendatangi lokasi sinkhole, setelah mendengar laporan 2 tiang listrik terhuyung dan oleng di kedua sisi lubang. 

Meski belum ada kepastian soal penyebab, menurut British Geological Society, pertambangan dapat menjadi faktor penyebab sinkhole. 

Sinkhole Telan Truk di Hawaii



Sinkhole juga terbentuk di Hawaii, Amerika Serikat. Lubang runtuhan yang terbentuk di tengah jalanan Big Island pada Senin pagi, menyusul cuaca buruk yang terjadi malam sebelumnya. 

Seperti dimuat Hawaii News Now, Selasa (31/12/2013), petugas Pertahanan Sipil masih berada di lokasi dan memblokir ruas jalan  Pohakea Mauka. 

Petugas masih melakukan perbaikan jalan, yang menjadi akses penghubung utama bagi sejumlah wilayah di sekitarnya.

Sementara, pengemudi truk pikap yang jatuh ke lubang sinkhole tidak terluka. "Namun, ia masih shock berat oleh insiden yang menimpanya," kata petugas. (Ein/Riz)




Sumber: 
http://news.liputan6.com/read/788416/sinkhole-raksasa-terbentuk-di-inggris-akibat-tambang-tua-runtuh

Fenomena Unik Trovant, Batu `Bernyawa` dari Rumania

Fenomena Unik Trovant, Batu `Bernyawa` dari Rumania

  •  31 Des 2013 14:26

batu-trovant-131231b.jpg
Batu trovant yang aneh. Berbentuk bulat, elips, atau menyerupai angka 8, ukurannya beragam dari beberapa centimeter sampai hitungan meter. Yang luar biasa, ia seakan 'bernyawa', terus bertumbuh saat diguyur hujan, bahkan bisa berpindah tanpa bantuan siapapun. 

Namun, trovant tak ada kaitannya dengan cerita fiksi sains apapun, pun tak ada kaitan dengan makhluk ekstrateresterial. Melainkan fenomena geologi yang mengagumkan. 

Batuan itu ditemukan di sebuah desa di Rumania, Costesti. Kata 'trovan' adalah sinonim dari istilah Jerman "Sandsteinkonkretionen" -- yang berarti 'pasir yang disemen'. 

Seperti dimuat Oddity Central, 30 Desember 2013, trovant adalah bentuk bola pasir yang muncul di bumi setelah aktivitas seismik yang kuat. Dari periode Tersier sekitar 6 juta tahun lalu.

Trovant 'tumbuh' saat kontak dengan air. Batuan yang kecilnya hanya 6-8 milimeter bisa menjadi sebesar 6-10 meter. Beberapa dari mereka bahkan bisa bergerak sendiri. 

Ketika dipotong, bagian dalam trovan menampilkan cincin pertumbuhan melingkar -- yang mirip dengan bagian dalam batang pohon. Itu mengapa mereka disebut 'batu tumbuh'.



Ada sejumlah teori soal trovant: ilmiah atau sebaliknya, fantastis -- yang menjelaskan asal-usul dan keanehan trovant. 

Para ilmuwan bahkan dibuat bingung karenanya. Sebagian dari mereka meyakini, di bawah tempurungnya, batu tersebut mengandung mineral tinggu. Saat permukaannya basah, mineral tersebut menyebar, dan memaksa pasir berkembang. 

Namun, itu baru teori. Sejauh ini belum ada riset atau percobaan ilmuan yang  pernah dilakukan pada batu-batu 'ajaib' itu. 

Bebatuan trovant kini menjadi daya tarik di  Museum Trovanti, museum terbuka seluas 1,1 hektar di Rumania dan dilindungi UNESCO. (Ein/Ism)


Sumber: 
http://news.liputan6.com/read/788607/fenomena-unik-trovant-batu-bernyawa-dari-rumania

Menguak Misteri Crop Circle `192` yang Mendadak Muncul di AS


Menguak Misteri Crop Circle `192` yang Mendadak Muncul di AS

  •  02 Jan 2014 09:46


crop-circle-140102b.jpg

Sebuah lingkaran tanaman (crop circle) berpola rumit mendadak muncul di area pertanian yang letaknya dua jam dari San Francisco. Penampakannya, yang tak sekadar melingkar, membuat ratusan orang berbondong-bondong datang. 

Merasa terganggu, sang pemilik, Scott Anthony (58), akhirnya menghapus crop circle tersebut. Ia memerintahkan sejumlah pekerja membajak ladang jelainya. Pada Selasa sore lingkaran tanaman itu lenyap. 

Debra Falanga, pengggemar crop circle yang yakin benar pola itu dibuat bukan oleh manusia mengaku kecewa dengan keputusan pemilik ladang. Crop circle yang tak lagi utuh, kata dia, menghalangi orang masuk dan merasakan energinya. 

"Saat hal tak biasa terjadi seperti ini, mengapa tak membiarkan orang untuk mengalaminya," kata Debra Falanga, seperti dikutip dari CNN, 1 Januari 2014. Ia berspekulasi, pemilik tanah hanya ingin hidupnya 'kembali normal'. 

Debra mengklaim, pola dalam crop ciorcle tersebut sangat detil. Dengan menggambarkan angka 192 ditulis berulang dalam huruf Braille, sedemikian rupa untuk mengarah ke bagian atas dan bawah lingkaran. 

"Angka Braille itu begitu akurat digambarkan. Itu sulit dilakukan secara manual...apalagi dalam sebuah crop circle," kata Debra, yang punya sertifikat penerjemah Braille dari New Jersey. "Seperti pita bertuliskan 192, 192, 192." 

Dan jika benar maksud crop circle itu adalah 192, misteri lain menunggu untuk diungkap. Sejumlah orang berspekulasi itu terkait dengan angka 192 dalam Internet Protocol , atau IP -- fakta yang familiar bagi mereka yang tinggal di dekat dengan Silicon Valley. Atau spekulasi lain, itu mungkin mengarah pada iridium radioisotop, yang memiliki simbol 192. 

Sementara, pemilik ladang, Scott Anthony mendeskripsikan, desain rumit itu dibuat di 1-2 hektar ladang barley atau jelai. Dari dekat bentuknya berupa banyak kotak dan persegi panjang dalam lingkaran besar.

"Bagi saya, itu seperti chip komputer atau sesuatu seperti itu," kata Anthony. "Dengan desain serumit itu, terus terang saya bingung, bagaimana cara melakukannya."

Anthony mengaku terganggu dengan banyaknya orang yang muncul di ladang pertaniannya. Ia meminta aparat mencegah orang menyeberang ke lahan pertaniannya, di mana ia juga menanam brokoli, kacang polong, dan selada. "Ini terkait masalah keamanan pangan," kata dia. 

Keberadaan crop circle ditemukan tak sengaja pada Senin pagi oleh seorang fotografer, Julie Belanger. Saat itu, ia dan suaminya sedang terbang naik helikopter. "Apa itu?" demikian yang ia pikirkan saat kali pertama melihatnya, seperti dituturkan pada KSBW. "Bentuknya sangat cantik." 

Namun, Julie mengaku skeptis bahwa crop circle adalah bukti sesuatu dari keberadaan 'dunia lain'. "Aku percaya soal kemungkinan keberadaan alien. Tapi, tak sampai menyangka bahwa mereka mau repot-repot membuat crop circle untuk memberi kita pesan tertentu," kata dia. 

Alien atau Kerja Manusia? 

Berbagai teori berseliweran soal crop circle tersebut. "Seperti kerjaan alien," kata  salah satu warga, Manuel Madrid. 

"Pasti kerjaan orang iseng," kata Brandon Brooks. "Ini bukan tempat aneh di mana hal-hal luar biasa terjadi." 

Sementara, Jim Gillott mengaku melihat 20-30 orang membawa tangga di ladang, sehari setelah penampakan ditemukan. Demikian pula dengan Jake Gain yang mengaku punya bukti manusialah biang keladinya. "Saat aku mengemudi, aku melihat mereka parkir di situ," kata dia menambahkan, orang-orang tersebut membawa semacam GPS. 

Pendiri majalah Skeptic juga tidak terkesan dengan crop circle tersebut. "Seperti kerjaan anak-anak," kata Michael Shermer. 

"Kami sama sekali tak punya bukti alien mendarat di mana saja di area itu, sebaliknya, kita punya banyak bukti kerjaan orang iseng yang menyebar kabar bohong alias hoax," kata dia. 

Crop circle, dia menambahkan,  dapat dibuat hanya dengan menarik tali yang terikat ke papan atas rumput atau tanaman.

Namun, kata dia, cerita tentang keisengan manusia tak menarik bagi banyak orang. "Mereka lebih senang dengan dugaan alien,  sebuah cerita yang menarik bagi orang yang berpikir bahwa kita tidak sendirian," kata dia. 

Crop Circle Menurut NASA

Sejarah mencatat, crop circle kali pertama dilaporkan keberadaannya pada 1686, oleh ilmuwan Inggris Robert Plot. Kala itu terbentuk karena faktor cuaca. Kemunculannya marak sejak tahun 1970-an. 

Pertanyaan soal apakah penyebab crop circle terkait dengan makhluk ekstraterresterial pernah dilayangkan kepada Badan Antariksa AS, NASA.  Apa jawaban NASA?

"Crop circle dibuat oleh manusia sebagai lelucon," jawab ilmuwan senior NASA, David Morrison seperti dimuat laman astrobiology.nasa.gov.

Kata Morrison, itu adalah pertanyaan yang mudah dijawab. "Karena pelaku aslinya telah mengaku dan menunjukkan bagaimana mereka melakukannya," tambah dia.

Sementara, seperti dimuat situs Bizarrebytes.com, sekitar 80 persen formasi crop circle secara ilmiah terbukti adalah buatan manusia atau hanya kabar bohong (hoax). Sementara 20 persennya belum diketahui penyebab pastinya -- apakah ulah alien, konspirasi pemerintah, atau karena faktor cuaca.

Fenomena serupa juga pernah muncul di Indonesia. Pola sirkuler misterius itu terbentuk secara misterius di Dusun Jogomangsan, Jogotirto, Berbah, Sleman, DIY. Berbagai spekulasi berseliweran soal penyebab crop circle itu. Ada yang menduga itu diakibatkan oleh puting beliung, saluran udara tegangan ekstra tinggi atau Sutet, bahkan dikaitkan dengan UFO. Jawaban akhirnya: ulah manusia. 
 
(Ein/Yus)


Sumber:
http://news.liputan6.com/read/789716/menguak-misteri-crop-circle-192-yang-mendadak-muncul-di-as

Terkuak, Misteri Letusan `Gunung Monster` Yellowstone dan Toba


Terkuak, Misteri Letusan `Gunung Monster` Yellowstone dan Toba



  • 06 Jan 2014 10:43


supervolkano-140106b.jpg

Selain gunung api yang ditandai dengan bentuknya yang mengerucut, Bumi juga memiliki sejumlah gunung api raksasa (supervolkano) yang bisa menghasilkan letusan vulkanis dengan ejekta lebih besar dari 1.000 kilometer kubik. 

Kini ada 20 supervulkano yang diketahui di muka Bumi -- termasuk Danau Toba di Indonesia, Danau Taupo di Selandia Baru, Kaldera Yellowatone di Amerika Serikat, dan yang ukurannya lebih kecil --  Phlegraean Fields di Naples, Italia. Para 'raksasa tidur'. 


(Foto: Danau Toba Indonesia)

Meski jumlahnya segelintir, letusan gunung monster itu bisa menyebabkan perubahan iklim yang drastis, yang dapat mengancam spesies di dunia. Termasuk manusia. 

Supervolkano dan dampaknya yang luar biasa itu terus jadi obyek penelitian para ilmuwan. Baru-baru ini, para ahli menemukan bahwa gunung 'monster' seperti Yellowstone bisa meletus tanpa gempa bumi atau pemicu eksternal lainnya. 

Volume tipis magma cairnya cukup untuk menyebabkan letusan super katastropik, yang menimbulkan malapetaka. Demikian ditunjukkan sebuah eksperimen European Synchrotron Radiation Facility (ESRF) di  Grenoble. Studi yang dilakukan tim Swiss dari ETH Zurich itu dimuat di jurnal ilmiah Nature Geoscience.

Kepala penulis studi, Wim Malfait dari ETH Zurich mengatakan, belum banyak misteri yang terungkap dari supervolkano. "Kita mengetahui jam terus berdetak, namun sama sekali tak punya petunjuk seberapa cepat. Dan apa yang dibutuhkan untuk memicu letusan super," kata dia, seperti dikutip dari BBC, Minggu 5 Januari 2014. 

"Dan kini kami tahu, tak butuh faktor luar -- sebuah supervulkano bisa meletus karena ukuran raksasanya itu sendiri," tambah Malfait. "Sekali punya cukup lelehan (magma), ia bisa mulai meletus. Hanya itu."

Erupsi raksasa jarang terjadi -- mungkin hanya sekali dalam 100 ribu tahun. Namun sekali terjadi, dampaknya bakal luar biasa pada ekologi dan iklim Bumi. 

Saat supervulkano meletus 600 ribu tahun di Wyoming -- yang saat ini menjadi Taman Nasional Yellowstone, ia melontarkan 1.000 kilometer kubik abu dan lava ke atmosfer. Cukup untuk mengubur sebuah kota besar hingga kedalaman beberapa kilometer. Terhapus dari peta untuk selamanya.

Letusannya 100 kali lipat lebih dahsyat dari erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1992, bahkan 'mengerdilkan' letusan bersejarah seperti Krakatau pada 1883. 

"Itu adalah sesuatu yang bakal kita hadapi di masa depan," kata Dr Malfait. 

"Anda bisa membandingkannya dengan tabrakan asteroid -- secara jangka waktu risikonya kecil, namun sekali terjadi, dampaknya katastropik." 

Itu mengapa, kemampuan memprediksi bencana menjadi sangat penting. Namun, dalam kasus gunung raksasa, faktor pemicu tetap sulit dipahami, karena prosesnya berbeda dari gunung api biasa. 

Salah satu mekanisme yang dipahami sejauh ini adalah tekanan berlebihan pada kamar magma yang dipicu perbedaan antara magma yang meleleh atau cair secara parsial dan batuan di sekitarnya yang lebih padat.

"Efeknya seperti memegang bola di bawah air. Saat dilepas, bola berisi udara dipaksa ke atas oleh air padat di sekitarnya," kata Wim Malfait, dari ETH Zurich.

Namun, apakah efek daya apung  tersebut cukup, belum diketahui. Sebab, bisa jadi ada pemicu tambahan yang dibutuhkan-- seperti injeksi magma tiba-tiba, masuknya uap air, atau gempa.

Pertanda Penting



Untuk mensimulasi tekanan intensif dan panas di kaldera supervolcano, para ilmuan mendatangi ESRF di Grenoble, di mana mereka menggunakan stasiun eksperimental yang disebut high pressure beamline.

Mereka mengisikan magma sintetis ke dalam kapsul berlian dan menembakkan sinar-X berenergi tinggi ke dalamnya -- untuk menyelidiki perubahan saat campuran itu mencapai tekanan tinggi yang kritis.

"Jika kita mengukur perbedaan kepadatan dari padat menjadi magma cair, kita dapat menghitung tekanan yang dibutuhkan untuk memicu letusan spontan," kata Mohamed Mezouar, ilmuwan ESRF, seperti Liputan6.com kutip dari BBC News.

"Untuk menciptakan kembali kondisi di kerak Bumi bukan persoalan sepele, namun dengan perangkat yang tepat kita bisa menjaga tekanan magma cair stabil hingga 1.700 C dan 36.000 atmosfer."

Penelitian menunjukkan bahwa transisi dari padat ke magma cair menciptakan tekanan yang bisa memecahkan kerak bumi sejauh lebih dari 10 kilometer di atas kamar gunung berapi.

"Magma menembus ke celah-celahnya, dan pada akhirnya akan mencapai permukaan Bumi. Saat naik, ia akan mengembang tanpa kendali. Menyebabkan ledakan," kata Carmen Sanchez - Valle, juga dari ETH Zurich.

Namun,  jika Yellowstone kebetulan berada di ambang letusan, kabar baiknya, manusia bisa melihat pertandanya. 

"Tanah mungkin akan naik ratusan meter, jauh lebih banyak ketimbang sekarang," kata Dr Malfait kepada BBC News.

Saat ini, dia menambahkan, Yellowstone saat ini memiliki 10-30% lelehan magma parsial. Sementara, agar tekanan bisa memicu letusan, setidaknya magma cair harus mencapai 50 persen. 

Dalam studi terpisah di jurnal yang sama, sebuah tim yang dipimpin oleh Luca Caricchi dari University of Geneva menggunakan model matematis untuk menjelaskan perbedaan antara supervolcano dan gunung api konvensional .

Salah satu temuannya, gunung api biasa yang kini 'hiperaktif', dengan berlalunya waktu, bisa menjadi gunung api super yang  'tidur'. (Ein/Yus)
 
 
Sumber:
http://news.liputan6.com/read/792766/terkuak-misteri-letusan-gunung-monster-yellowstone-dan-toba

Letusan Gunung Toba Paling Dahsyat Sedunia

Letusan Gunung Toba Paling Dahsyat Sedunia

Letusan Gunung Toba Paling Dahsyat Sedunia
Gunung Sinabung yang masih mengeluarkan debu vulkanik, pasca mengeluarkan lava pijar, di Kabupaten Karo, Sumatera Utara (29/8). Gunung sinabung pada Minggu (29/8) dini hari menyemburkan lava pijar, sehingga belasan ribu warga mengungsi ke tempat yang lebih aman. ANTARA/Irsan Mulyadi
TEMPO.CO Jakarta - Para ahli mengelompokkan besar letusan gunung api berdasarkan skala letusan gunung api atau disebut sebagai VEI (Volcanic Explosivity Index). Indeks ini diurutkan ke dalam delapan skala letusan. Semakin besar angka indeks, letusannya juga kian hebat.

Laman Smithsonian National Museum of Natural History menyebutkan letusan dikelompokkan ke dalam delapan tingkatan. Setiap tingkat dikelompokkan berdasarkan jumlah material yang dimuntahkan gunung api.

Letusan Gunung Toba yang terjadi 77 ribu tahun lalu, misalnya, menyemburkan 3.000 kilometer kubik material dari perut Bumi, membuat letusan ini sebagai yang terbesar dalam sejarah manusia, sekaligus menempatkannya pada indeks 8.

Tujuh letusan kolosal pada Sumatera purba memiliki volume letusan minimal antara 0,6-18,0 kilometer kubik. Karena itu, letusan-letusan Sumatera berada setidaknya pada indeks 5. Tapi, peneliti gunung api dari Oregon State University, Morgan Salisbury, memperkirakan jumlah material yang dimuntahkan bisa lebih besar.

Letusan kolosal di Sumatera, tempat tumbuh 35 gunung api, tak banyak diketahui peneliti gunung api. "Sumatera adalah daerah gunung api paling aktif di planet ini," kata Salisbury kepada Tempo. "Tapi, sedikit sekali penelitian sejarah letusan di daerah ini."

Dengan skala letusan yang hanya satu tingkat di bawah letusan Krakatau, letusan besar berikutnya bisa terjadi dalam waktu dekat. Dia percaya peneliti bisa menaksir masa letusan berikutnya jika penelitian gunung api Sumatera lebih intensif.


Volcanic Explosivity Index (VEI)

Skala 0 : Nikaragua pada 1570
Skala 1 : Poás (Kosta Rika) pada 1991
Skala 2 : Ruapehu (Selandia Baru) pada 1971
Skala 3 : Nevado del Ruiz (Kolombia) pada 1985
Skala 4 : Pelée (West Indies) pada 1902
Skala 5 : Saint Helens (Amerika Serikat) pada 1980
Skala 6 : Krakatau (Indonesia) pada 1883
Skala 7 : Tambora (Indonesia) pada 1815
Skala 8 : Toba (Indonesia), Plestosen, 77 ribu tahun lalu


ANTON WILLIA


Sumber:
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/26/061425549/Letusan-Gunung-Toba-Paling-Dahsyat-se-Dunia

Saat Toba Meletus, Malapetaka Melanda Bumi

Saat Toba Meletus, Malapetaka Melanda Bumi


Dampak letusan Toba tak sebatas luncuran awan panas dan timbunan abu yang mematikan. Letusan itu menimbulkan perubahan (kekacauan) iklim.

Saat Toba Meletus, Malapetaka Melanda BumiIma Lolaita/FK
Di balik permai Danau Toba yang menghampar di Sumatera Utara, sebuah daya rusak mahadahsyat tersembunyi di dalamnya. Terakhir, sekitar 74.000 tahun lampau, Gunung Toba meletus hebat dan nyaris menamatkan umat manusia. 


Letusan yang dikenal sebagai Youngest Toba Tuff (YTT) itu adalah terdahsyat dan membentuk danau (kaldera) seperti sekarang. Melepaskan sedikitnya 2.800 kilometer kubik magma ke udara, letusan YTT menjadi yang terbesar di Bumi dalam dua juta tahun terakhir.


Dampak letusan Toba tidak sebatas pada luncuran awan panas dan timbunan abu yang mematikan. Bencana terbesar dan berskala global dari letusan Toba adalah perubahan iklim. 


Rekaman tentang petaka Toba itu awalnya terbaca pada lapisan es beku di sudut Bumi. Pada awal 1990-an, Gregory A. Zielinski, geolog dari University of Massachusetts, menemukan lapisan asam belerang sebanyak 2-4 megaton dalam inti es di Greenland. Zielinski ahli dalam menemukan rahasia yang terkubur di dalam lapisan es kuno.


Dengan menganalisis komposisi lapisan inti es yang terbentuk tiap tahun, dia menemukan perubahan kimia terkecil yang bisa menjelaskan kondisi iklim dan besaran suhu. Temuan itu sangat mengejutkan.


Volume asam belerang tersebut setara 25 kali tingkat polusi yang disebabkan seluruh industri dunia saat ini. Lalu setelah menganalisis usia lapisan, dia menemukan, timbunan asam belerang itu terbentuk dalam kurun waktu enam tahun pada periode 71.000-75.000 tahun lampau!


Dalam tulisannya di Geophysical Research Letter (1996), Zielinski memperkirakan, bahwa saat itu seluruh Bumi diselimuti lapisan kuning beracun—dari asam belerang—yang kemudian luruh dan sebagian terendapkan di Greenland. Peluruhan itu berlangsung selama enam tahun.


Di sudut lain Bumi, Michael Rampino, geolog New York University, mengebor dasar laut untuk melacak iklim pada masa lalu. Dengan menganalisis dua isotop oksigen (Oksigen-16 dan Oksigen-18) yzng terdapat dalam cangkang mini yang disebut foraminifera, dia bisa mengetahui suhu lautan pada masa lalu.


Rampino tersentak kaget saat mengetahui pada suatu masa suhu lautan tiba-tiba turun drastis, hingga 5 derajat celcius. Dan perubahan itu terjadi tiba-tiba.


"Sistem iklim global seperti diputar tombolnya, tiba-tiba, dari panas menjadi dingin," katanya. Rampino kemudian melacak kurun peristiwa itu terjadi. Dia menemukan penanda waktu yang nyaris sama dengan saat hujan asam belerang di Greenland yang ditemukan Zielinski.


Dua peneliti independen, menggunakan metode berbeda, dipertemukan oleh temuan serupa. Sesuatu yang luar biasa terjadi. Ada apa dengan Bumi pada kurun waktu itu?


Sementara Zielinski dan Rampino masih diliputi teka-teki, John Westgate, ahli dari University of Toronto, sudah menemukan abu vulkanik berusia 74.000 tahun. Bertahun-tahun lamanya Westgate bekerja layaknya detektif gunung api, melacak sumber abu vulkanik dari berbagai belahan dunia.


Tahun 1994, dia mendapat sampel abu yaang dikirimkan seorang kolega, Craig Chesner, dari sekitar Danau Toba dan... eureka! Setelah bertahun pencarian, penyebab kekacauan iklim di masa lalu itu akhirnya ditemukan. Gunung itu mengirimkan abunya nyaris ke seantero Bumi, menimbulkan partikel asam belerang di inti es, serta mendinginkan samudra.


Saat Toba meletus, jutaan ton asam sulfat dilepaskan ke stratosfer sehingga menciptakan kegelapan total selama enam tahun dan suhu beku sedikitnya 1.000 tahun, lalu diikuti cuaca dingin ribuan tahun. Fotosintesis melambat, bahkan hampir mustahil terjadi, menghancurkan sumber pakan manusia dan hewan. Vulkanolog mengadopsi istilahhumongous untuk letusan Toba guna menggambarkan bencana global yang nyaris memunashkan spesies manusia di Bumi ini.


Walaupun para ahli masih belum bersepakat dengan skala besaran letusannya, semua sepakat: kehidupan manusia tak lagi mudah setelah Toba meletus.


Namun merekonstruksi kehidupan manusia setelah YTT bukanlah pekerjaan mudah. Jejak arkeologis sangat terbatas, ditelan Bumi yang terus berubah.


(Ahmad Arif, Sumber: Ekspedisi Kompas/"Hidup Mati di Negeri Cincin Api", pada Bab Letusan-Letusan yang Mengubah Dunia)

http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/12/saat-toba-meletus-malapetaka-terjadi-di-bumi

Genom 45 Ribu Tahun Lalu Keturunan Neanderthal

Genom 45 Ribu Tahun Lalu Keturunan Neanderthal

Genom 45 ribu tahun lalu keturunan Neanderthal (Foto: Nytimes)
Genom 45 Ribu Tahun Lalu Keturunan Neanderthal
ALBANY – Para ilmuwan telah berhasil merekonstruksi keseluruhan informasi genetik yang dimiliki suatu sel atau organisme (genom) yang hidup 45 ribu tahun lalu. Hasilnya pun menyatakan ada perkawinan antara manusia purba dengan neanderthal (klasifikasi subspesis manusia atau keturunan kera besar).

Hasil catatan genom tersebut didapat dari sebuah fosil tulang paha yang ditemukan di Siberia. Hal ini turut menjadi pendukung kuat atas kehadiran neanderthal sebagai subspesies manusia yang berasal dari kera besar. Demikian seperti dikutip dari Nytimes, Kamis (23/10/2014). 

“Ini bukti yang tak tergantikan dari apa yang pernah ada bahwa kita tidak bisa merekonstruksi dari apa yang ada sekarang. Hal ini juga menjadi bukti kepada kita sebagai informasi dari subspesies manusia yang hilang dari kita,” ujar John Hawks, ahli paleontropologi di University of Wisconsin. 

Penemuan yang dibuat oleh tim ilmuwan yang dipimpin oleh Svante Paabo, salah satu ahli genetika dari Institut Max Planck untuk Antropoli Evolusi di Leipzig, Jerman, telah berhasil mengembangkan alat untuk mencabut fragmen DNA dari fosil guna membaca keturunan mereka. 

Proses penemuan yang dilakukan sejumlah ilmuwan itu sendiri dikatakan berawal dari metode baru yang ditemukan. Potongan kecil dari gen kuno digabungkan dan dilakukan fragmen tumpang tindih, dan perakitan potongan yang lebih besar dari genom telah memberi petunjuk baru pada evolusi manusia dan kerabat mereka. (amr)
Sumber:
http://techno.okezone.com/read/2014/10/23/56/1055901/genom-45-ribu-tahun-lalu-keturunan-neanderthal