Rabu, 26 Februari 2014

Canon 400D DSLR Pertamaku

Saya menuliskan tentang sesuatu barang, biasanya ketika barang tersebut sudah tidak lagi berada di tangan. 

Entah karena kebiasaan atau memang saya lebih bisa menuliskan dengan detil ketika sudah cukup lama memegang barang tersebut. 


Sama seperti kamera saya sebelumnya, saya membuat tulisan review ketika kamera tersebut sudah laku terjual dan di gantikan dengan kamera yang lain.

Kali ini adalah tentang sebuah kamera DSLR besutan Canon, yakni EOS 400D. Kamera ini di daulat sebagai penerus dari seri sebelumnya 350D. Alasan klasik kenapa saya memilih kamera ini adalah "kantong", karena memang anggarannya cukup sampai pada kamera ini.hahaha... 

Tapi walaupun demikian, ini sudah menjadi impian saya sejak lama bahkan sampai masuk dalam list 50 target yang ingin saya capai dalam hidup ini. Dan setelah mencapainya saya menemukan bahwa tidak semua yang saya kejar dan perjuangkan itu memang hal yang paling penting dalam hidup. Ah, terlalu ngelantur kemana mana. Mari fokus ke kamera. 

Ulasan saya sebagai pengguna, terkhusus pengguna dalam kondisi bekas dengan segala kekurangan dan kelebihannya. 

Sebelumnya saya pernah memakai kamera jenis prosummer yakni Fujifilm Finepix S2950 sebagai batu loncatan untuk belajar pengaturan manual sebelum akhirnya meminang DSLR. Banyak poin plus yang saya dapatkan dari DSLR di level ini. 


Yang paling utama adalah ketajaman gambar, bokeh yang mantap, noise yang terkontrol dan kemampuan frezze yang oke. Untuk kebutuhan dokumentasi acara indoor ataupun outdoor oke tak masalah. Di ruang minim cahaya noise masih terkontrol, biasa saya pake maksimal berada di ISO 800. Masih cukup terkendali dan dengan gambar yang lumayan. Untuk mendapatkan efek bokeh yang mantap tak masalah, walaupun tanpa lensa fix 50mm lumayan lah. Dengan kemampuan ini untuk mendapatkan DOF yang maksimal bisa di dapatkan, lagi-lagi sebatas kekuatan lensa kit. 
Keuntungan lain yang saya dapatkan adalah untuk mendokumentasikan semisal acara demo di jalan raya, orasi, dan kegiatan lainnya kemampuan frezze dengan shutter speed yang tinggi dapat didapatkan dengan mudah. 

Dengan shutter speed yang tinggi meminimalkan gambar blur karena objek bergerak. Satu lagi, sesuai dengan mindset orang awam fotografi atau masyarakat kebanyakan DLSR adalah rajanya kamera, entah dia seri berapapun selalu mendapatkan anggapan dan apresiasi yang luar biasa - yang menurut saya cenderung berlebihan. Dengan memegang DSLR pasti dia sangat terampil memotret, sangat bagus hasilnya, dsb. Padahal tidak selalu demikian. Orang awam sampai saat ini masih dominan berpikir seperti itu, kamera DSLR adalah se keren-keren kamera, apalagi dipasangi lensa tele.


Kembali fokus ke 400D ini, kali ini akan saya kupas kelemahannya (kamera yang saya pegang). Sebelum 400D saya adalah pengguna Finepix S2950 yang sudah video HD (HD sekelas kamera poket), dengan beralih ke 400D yang belum bisa untuk video adalah satu kehilangan yang amat sangat sebenarnya. 

Yang saya lakukan untuk menghibur diri adalah, belajar fotografi kan untuk foto yang bagus kalau pingin video yang beli camcorder saja. Itu cukup bisa menghibur, namun tidak terlalu lama. Saya butuh yang bisa untuk video.

Minus selanjutnya adalah, ketiadaan live view di LCD. Satu point yang cukup mengganggu, walaupun sudah ada optical view finder namun tetap saja dalam kondisi pemotretan tertentu kita butuh live view. Contohnya untuk pengambilan gambar dengan angle rendah menempel tanah, sangat tidak enak jika harus mengintip. 

Jaman sudah berubah, lcd sudah bisa ditekuk kesana kemari kalo ngambil gambar dengan angle rendah kok ngintip bisa jadi orang norak. Tambah lagi kemampuan AF lensa yang sudah tidak terlalu cepat mengunci fokus menjadikan harus sering beralih ke MF. Dan itu artinya "tidak praktis" itu saja.

Minus selanjutnya, semoga yang terakhir di ruangan yang amat minim cahaya maka lensa akan susah menangkap autofokus dengan cepat, butuh bantuan blitz yang kedipnya kayak serentetan tembakan. Hal seperti ini sangat mengganggu objek jika itu manusia atau makhluk hidup. Apalagi di dukung dengan AF lensa yang sudah lemah, dijamin bakal lebih sering di kecewakan daripada dipuaskan saat mentransfer hasil foto ke komputer. 

Dengan segala pertimbangan yang ada ditambah ukuran yang terbilang tidak praktis untuk travelling maka saya putuskan untuk dijual saja. Saat itu yang terpikir pingin ganti kamera mirrorless kecil seperti Fuji seri X. Namun karena masih jauh dari anggaran maka turun kelas saja ke prosummer canon yang bentuknya mendekati poket, biar asik dibawa travelling.

Narasi singkat ini mungkin terlalu personal dan sangat subyektif, tapi tak apalah saya ingin menuliskan tentang yang saya alami. Mungkin ada pembaca yang mampir di blog ini pernah memimpikan DSLR namun dengan harga yang terjangkau akhirnya memilih kamera dengan kondisi yang sudah agak udzur, mari berpikir realistis, semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan gambaran.